"Melodi Elegi Mahfud Marfadhi: Kisah Seorang Musisi Legendaris" dari Embong Arab di kota Malang

 


Menurut pandangan Muhammad Saleh, SH.MH, yang lebih dikenal dengan sapaan Sholeh UG, seorang novelis terkemuka, serta berdasarkan opini sejumlah pengamat sastra lainnya, kemampuan berimajinasi orang-orang Arab diperkirakan memiliki tingkat yang sangat tinggi. Keyakinan ini mendapatkan bukti nyata melalui karya-karya lirik lagu yang telah dihasilkan oleh para seniman orkes melayu keturunan Arab. Beberapa nama yang menonjol dalam daftar ini antara lain Hussein Bawafie, Hussein Aidit, Said Effendi, M. Mashabi, Munif Bahasuan, Ahmad Syihabuddin, A. Kadir, Mahfud Marfadhi, Ami Hadi, dan masih banyak lagi yang lain, yang semuanya telah memberikan kontribusi signifikan pada dunia musik, khususnya dalam genre orkes melayu.

Dalam suasana kota Malang yang terkenal dengan udara sejuknya dan keindahan alam yang memikat, saya mendapatkan kesempatan langka untuk bertemu dengan salah satu tokoh tersebut, Mahfud Marfadhi. Beliau tidak hanya dikenal sebagai pencipta, tapi juga sebagai pelantun dari lagu "Rembulan Dalam Pelukan," sebuah karya musik yang telah mendapatkan popularitas luas dan seringkali dinyanyikan ulang oleh berbagai penyanyi orkes melayu atau dangdut di Indonesia. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya pengertian saya tentang kedalaman imajinasi dalam seni penciptaan lagu, tapi juga menegaskan kembali betapa seni dapat menjadi jembatan penghubung antarbudaya, mengangkat dan merayakan keberagaman melalui harmoni nada dan lirik.

Mahfud Marfadhi, yang kini telah mencapai status sebagai salah satu musisi senior yang sangat dihormati dalam kancah musik melayu Indonesia, membawa latar belakang yang unik dan mengesankan. Lahir dan dibesarkan di kota Malang, sebuah kota yang dikenal akan keindahan alam dan kekayaan budayanya, Mahfud memiliki ikatan yang mendalam dengan tanah kelahirannya. Tidak hanya itu, tanggal kelahirannya, 17 Agustus 1945, bersamaan dengan momen penting dalam sejarah Indonesia—proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia—menambahkan dimensi simbolis pada narasi kehidupannya.

Ayahnya, Salim Marfadhi, adalah sosok yang tidak kalah mengagumkan. Dikenal sebagai perwira militer dengan pangkat Kapten, Salim Marfadhi tidak hanya berpartisipasi dalam revolusi kemerdekaan Indonesia tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan tersebut. Pengabdiannya kepada negara dan keberanian dalam menghadapi tantangan selama masa-masa sulit revolusi telah mendapat pengakuan tinggi dari Pemerintah Republik Indonesia, yang diwujudkan dalam penganugerahan Bintang Gerilya, sebuah penghargaan prestisius yang diberikan kepada individu yang menunjukkan keberanian luar biasa dalam gerakan perlawanan.

Latar belakang keluarga Mahfud, dengan ayahnya sebagai pahlawan nasional dan tanggal lahirnya yang bertepatan dengan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, tidak diragukan lagi telah membentuk dan menginspirasi dirinya dalam berkarya dan berkontribusi pada dunia musik melayu. Semangat perjuangan dan kecintaannya pada tanah air, terpatri dalam diri Mahfud Marfadhi. Kisah hidupnya merupakan bukti nyata tentang bagaimana sejarah, budaya, dan musik dapat terjalin secara harmonis, menciptakan karya-karya yang tidak hanya menyentuh hati masyarakat Indonesia tetapi juga mengukir jejak dalam sejarah musik di tanah air.

Dalam diri Mahfud, mengalir darah seni yang kuat dari ibunya yang mahir dalam memainkan piano. Muznah, ibu yang membesarkannya, adalah sosok langka di zamannya—seorang wanita Arab yang tidak hanya memainkan alat musik, tetapi juga memiliki keahlian yang luar biasa di dalamnya. Dari pernikahan antara Salim bin Abdullah Marfadhi dan Muznah Salim Marfadhi, lahirlah sepuluh anak yang membawa berkah dalam keluarga mereka. Di antara mereka, Mahfud, yang menempati urutan keempat, menonjol dengan bakatnya dalam dunia musik. Keseluruhan keluarga ini, dengan segala keunikannya, menambah warna dan kekayaan dalam kisah hidup Mahfud, menciptakan landasan yang kokoh bagi perjalanan kreatifnya di dunia musik.

Sebagai seorang tentara, ayahnya terbiasa sering berpindah tugas dari satu daerah ke daerah lain dalam rangka menjalankan misi-misi operasi militer. Namun, di tengah dinamika itu, Mahfud dan saudara-saudaranya—di antaranya—tetap menemukan kestabilan dan cinta kasih dalam lingkungan keluarga, terutama di bawah asuhan ibu mereka, di kota Malang dan Lawang.

Sejak masa remajanya, Mahfud telah menunjukkan minat dan bakat yang besar dalam dunia musik. Mulai dari belajar dan mengasah kemampuan memainkan alat musik drum hingga merambah ke berbagai jenis alat musik lainnya, seperti piano dan gitar, Mahfud telah menemukan panggilan seninya. Bergabung dengan kelompok musik jazz "Darma Putra" di kota Malang memberikan Mahfud kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengasah bakatnya lebih lanjut. Tidak hanya itu, di kota yang sama, Mahfud berada di tengah-tengah lingkungan yang kreatif dan inspiratif, di mana bermunculan juga para musisi jazz lainnya, termasuk Abadi Susman, yang kelak menjadi salah satu tokoh utama dalam dunia musik jazz Indonesia. Dalam suasana yang penuh semangat dan antusiasme ini, Mahfud menemukan dirinya terlibat dalam sebuah perjalanan yang penuh warna dalam dunia musik, mengejar impian dan passion-nya dengan tekad yang kuat.

Pada masa itu, bagi Mahfud, menekuni musik jazz bukanlah hal yang mudah. Selain tantangan finansial karena alat musik yang mahal, dia juga harus menghadapi stigma politis yang melekat pada genre musik tersebut. Di bawah rezim orde lama, jazz dan pop sering diidentifikasi sebagai musik "Barat" yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalis dan sulit untuk diterima atau dikembangkan. Bahkan, para seniman yang terikat pada kekuasaan saat itu sering mengejek jazz dan pop. Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkemuka yang aktif dalam organisasi "Lekra" yang mendukung pemerintah pada masa itu, menjelaskan dalam bukunya yang berjudul 'Saya Terbakar Amarah Sendirian', bahwa Presiden Soekarno sangat menentang musik "ngak-ngik-ngok" dari Amerika. Istilah "ngak-ngik-ngok" mengacu pada musik rock 'n roll ala Barat, seperti Elvis Presley dan The Beatles, yang pada saat itu sangat populer. Musik semacam itu dianggap mewakili semangat neo-kolonialisme dan imperialisme. Di sisi lain, kaum kiri cenderung memandang musik Melayu atau dangdut, sering dianggap sebagai jenis musik yang identik dengan "Islam" serta dianggap sebagai musik yang "murahan".

Pada dekade tahun 1960-an, Mahfud mengambil langkah besar dengan memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Keputusan ini tidak hanya bertujuan untuk mempertajam bakat musiknya, tetapi juga untuk mengembangkan karirnya dalam dunia seni musik yang ia geluti. Jakarta, sebagai pusat aktivitas seni dan hiburan, menjadi pilihan yang tepat bagi Mahfud untuk mengejar impian dan mengukir nama dalam dunia musik.

Setibanya di Jakarta, Mahfud memilih tinggal di Pekojan, sebuah pemukiman yang kaya akan sejarah dan budaya, terutama sebagai tempat berdiamnya komunitas keturunan Arab sejak zaman kolonial Belanda, ketika kota itu masih dikenal sebagai Batavia. Lingkungan ini tidak hanya memberikan Mahfud kenyamanan dan keakraban dengan suasana yang mirip dengan daerah kelahirannya, Jagalan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Embong Arab di kota Malang, tetapi juga membuka peluang baru bagi pertumbuhan dan eksplorasi dalam kariernya sebagai musisi. Dalam atmosfer yang sarat dengan inspirasi sejarah dan keberagaman budaya, Mahfud mengharapkan dirinya semakin terinspirasi dan termotivasi untuk mencapai kesuksesannya dalam dunia musik.

Di Pekojan, Jakarta, Mahfud menempuh berbagai cara untuk menghidupi dirinya, termasuk bekerja di pabrik ubin yang dimiliki oleh seorang sahabat ayahnya. Meskipun harus beradaptasi dengan lingkungan baru, Mahfud tidak merasa canggung karena kemiripan budaya dan kultur dengan lingkungan di kota kelahirannya, Malang. Namun, meskipun lingkungan sekitarnya tidak asing baginya, arah musik Mahfud mengalami perubahan besar. Dari seorang musisi yang terbiasa dengan jazz, ia beralih 180 derajat dan terjun ke dalam dunia seni musik orkes melayu. Keputusan ini dipengaruhi oleh pergaulannya dengan para pemuda keturunan Arab yang sangat akrab dengan musik melayu saat itu. Pertemuan dengan tokoh-tokoh seperti Ali Amri dan sejumlah musisi melayu lainnya seperti Hussein Aidit, Husein Bawafie, Syihabudin Shahab, dan Husein Audah membawa Mahfud ke dalam aliran musik yang baru baginya.

Ketika Mahfud menarik perhatian Ali Amri dengan kepiawaiannya dalam memainkan gitar, tak disangka-sangka itu menjadi titik awal dari sebuah perjalanan baru baginya. Ali Amri, yang ayahnya memiliki hubungan akrab dengan ayah Mahfud, Salim bin Abdullah Marfadhi, tidak hanya melihat bakat musik Mahfud, tetapi juga melihat potensi persahabatan yang lebih dalam di antara mereka.

Dengan ramahnya, Ali Amri membujuk Mahfud untuk bergabung dengan kumpulan orkes melayu yang dipimpinnya. Tawaran ini tidak hanya menandai awal dari karier Mahfud dalam dunia musik orkes melayu, tetapi juga memperkuat ikatan persahabatan antara mereka. Dalam perpaduan antara musik dan persahabatan, Mahfud menemukan panggilan baru yang membawanya menjelajahi warna-warni dunia musik dengan lebih dalam dan menginspirasi.


Machfud bersama musisi senior Indonesia


Sejak memulai perjalanan dalam kumpulan orkes melayu, Mahfud tidak hanya menjadi seorang pemain musik, tetapi juga menemukan bakatnya sebagai pencipta lagu dan vokalis. Suaranya yang merdu dengan mudah menyesuaikan diri dengan cengkok melayu, memberinya keunggulan yang khas. Karirnya dalam menciptakan lagu-lagu melayu dimulai ketika ia bergabung dengan orkes melayu Purnama di bawah pimpinan Awab Haris yang banyak menelorkan artis-artis dangdut papan atas dalam industri musik dangdut Indonesia, seperti Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, Muchsin Alatas, Mansyur S, Meggy Z, dan masih banyak lagi.

Salah satu lagu ciptaan Mahfud Marfadi yang terkenal, "Pertama Kali Kujumpa," dibawakan oleh Ahmad Alatas, menjadi hit besar dan mendapat banyak penggemar di kalangan pecinta musik dangdut Indonesia pada masanya. Kesuksesan ini membuka pintu bagi Mahfud untuk menciptakan puluhan lagu lainnya bersama O.M. Purnama. Beberapa di antaranya adalah 'Pelukan Mesra', 'Kenangan Manis', 'Getaran Cinta', dan 'Pertemukan Aku Kembali'. Dengan setiap karya yang dilahirkan, Mahfud terus mengukir jejaknya sebagai salah satu pengaruh utama dalam musik dangdut Indonesia, memberikan kontribusi yang tak terbantahkan pada kekayaan budaya musik Indonesia.

Meskipun telah memasuki usia yang tidak lagi muda, Mahfud, yang kini berusia 78 tahun pada tahun 2023, tetap menunjukkan kebugaran dan semangat yang luar biasa. Dengan penuh energi dan dedikasi, ia terus mengabdikan dirinya pada karya seni. Di rumahnya yang sederhana, di jantung kampung Arab Jagalan di kota Malang, Mahfud, sang pencipta dan pelantun lagu melayu (dangdut) Indonesia, bersiap-siap untuk merilis album terbarunya yang berjudul 'Dimanakah Aku Harus Mencari', serta beberapa judul lainnya. Dengan setiap lagu yang diciptakannya, Mahfud terus menunjukkan bahwa bakat dan semangat seninya tidak pernah pudar, bahkan seiring dengan berjalannya waktu.

Untuk mendengarkan lebih banyak lagunya, kita bisa mengunjungi akun YouTube resminya dengan nama 'Album Mahfud Marfadhi'. Tak hanya itu, alur cerita yang terkandung dalam lirik lagu-lagunya, seperti 'Rembulan Dalam Pelukan', yang telah membawa vokalis Fuad Balfas ke puncak kejayaan melalui Jakarta Melayu Festival, hingga 'Gaun Merah', telah menarik perhatian produser untuk diadaptasi ke layar lebar.

Semoga Mahfud Marfadhi terus berkarya dengan semangat yang tak pernah padam, dan semoga selalu diberi kesehatan untuk terus memberikan warna pada corak musik dangdut Indonesia.

BOGOR, 21 Febuari 2024, sebuah tulisan yang diperbaharui kembali dari tulisan lama yang ditulis di kota Malang pada 22 Agustus 2023



Abdullah Abubakar Batarfie





Belum ada Komentar untuk ""Melodi Elegi Mahfud Marfadhi: Kisah Seorang Musisi Legendaris" dari Embong Arab di kota Malang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel