H. Tb. Sjoe'aib Sastradiwirja : Ulama Yang Berjuang Lewat Seni

 

 Tb. Sjoe'aib Sastradiwirja

Nicolaas Pieneman, seorang pelukis Belanda, diberi tugas oleh pemerintahnya untuk mengabadikan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan yang dihasilkan, berjudul "Penyerahan Diri Diponegoro", menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro, seorang kesatria dan pemimpin perang Jawa yang heroik, dengan wajah lesu dan pasrah.

Tak puas dengan karya seni lukis yang memberikan sentuhan propaganda Belanda, Raden Saleh, yang saat itu berada di Jerman, merespons dengan membuat karya seni yang serupa sebagai tanggapan terhadap lukisan Nicolaas Pieneman. Bagi Raden Saleh, peristiwa penangkapan di Magelang dilakukan secara licik dan curang. Menurutnya, Belanda menyamarinya sebagai pertemuan perundingan pasca kesepakatan gencatan senjata, padahal sebenarnya merupakan jebakan penangkapan.

Sosok Pangeran Diponegoro digambarkan oleh Raden Saleh dengan raut wajah yang tegas, menampilkan karakter seorang kesatria yang sedang menahan amarah. Lukisan itu diberi judul "Penangkapan Diponegoro". Dalam karya Raden Saleh, bendera Belanda yang terdapat dalam lukisan Pieneman tidak ditampilkan. Peristiwa sebenarnya yang terjadi pada 28 Maret 1830 diabadikan dalam salah satu karya mahakarya Raden Saleh ini.

Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dianggap sebagai lukisan pertama yang menggambarkan peristiwa bersejarah perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan penjajah yang diabadikan lewat goresan seni. Seniman berdarah Arab - Jawa ini menjadi pionir sebuah perjuangan melalui karya seni rupa untuk mengekspresikan perlawanan kepada penjajah dan penguasa pada masanya.

Lukisan karya Nicolaas Pieneman
"Penyerahan Diri Diponegoro"

Lukisan Karya Raden Saleh
"Penangkapan Diponegoro"

Ekspresi serupa dalam dunia seni rupa juga terjadi di Indonesia, dengan semangat nasionalisme yang kental dalam gerakan kesadaran akan kebangsaan yang bergelora dan terorganisir. Pada tanggal 23 Oktober 1938, para perupa Indonesia membentuk Persatuan Ahli Gambar Indonesia, yang lebih dikenal dengan singkatan Persagi. Agus Djaja menjadi ketua organisasi ini, namun inspirasi pembentukannya didasari oleh S. Soedjojono, yang kemudian diakui sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern. Soedjojono terkenal dengan karyanya yang mencakup "Kawan-Kawan Revolusi" dan "Di Depan Kelambu Terbuka".

Salah satu ilustrasi cover buku yang dibuat oleh Sjoe'aib Sastradiwirja

Selain sebagai wadah ekspresi bagi para seniman yang menghasilkan karya-karya melalui goresan kuas, Persagi juga memandang jauh ke depan dengan mendorong para perupa untuk menciptakan karya seni yang mencerminkan lingkungan, individu, dan identitas bangsa Indonesia. Dalam memajukan lahirnya kreativitas seni lukis, Persagi berhasil menyelenggarakan pameran seniman pribumi di gedung Kolf dan Kunstring di Batavia. Sebelumnya, gedung tersebut biasanya digunakan oleh pelukis Barat yang menganggap diri mereka sebagai seniman kelas satu. Ini menunjukkan upaya Persagi dalam memberikan ruang yang setara bagi seniman pribumi untuk berkreasi dan menunjukkan potensi seni mereka.

Lahirnya Persagi dianggap sebagai tonggak awal dalam sejarah seni lukis modern dengan ciri khas Indonesia. Salah satu perintis dan pendiri organisasi ini adalah Sjoe'aib Sastradiwirja, seorang ulama yang lahir di Serang, Banten, pada tanggal 8 Februari 1894. Selain sebagai perupa, beliau juga dikenal sebagai seorang ilustrator yang banyak menciptakan karya untuk sampul buku dan majalah pada masa lalu.

Meskipun fokusnya terbagi antara seni dan karya ilustrasi, Sastradiwirja tetap mengembangkan hasrat seninya melalui lukisan, termasuk kemampuannya dalam membuat potret manusia. Lukisan potret, sebagai salah satu genre seni lukis yang bertujuan untuk menggambarkan subjek secara visual, menjadi bagian yang penting dalam pengembangan karya seninya.

Lukisan potret karya T.H.Sjoe'aib Sastradiwirja

Dalam sebuah situs family tree, T.M. Musa Zakaria, salah satu cucu Sjoe'aib Sastradiwirja, pernah menceritakan pengalamannya ketika masih berusia di bawah sebelas tahun, tinggal bersama kakeknya di kawasan Petodjo Melintang, Jakarta Pusat. Sastradiwirja, sang kakek, memiliki bakat luar biasa dalam seni lukis potret. Dia mampu menggambarkan wajah ayah T.M. Musa Zakaria, Toebagoes Ismail Sastradiwirja, yang telah meninggal puluhan tahun sebelumnya, dengan menggunakan imajinasinya sendiri. Lukisannya dinilai sempurna dan sangat mirip dengan wajah asli sang ayah.

Sjoe'aib Sastradiwirja memiliki latar belakang ningrat dari Banten, dan dikenal dengan sebutan Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, gelar yang juga disandang oleh ayahnya. Gelar "Toebagoes," yang kini dieja sebagai "Tubagus," dikutip dari berbagai sumber memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan Kesultanan Banten, dan telah digunakan sejak masa Maulana Yusuf, Sultan Banten ke-2.

Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, konon Tubagus sebenarnya merupakan gelar sayyid, yang menunjukkan silsilahnya yang terhubung dengan para pendakwah Islam yang berasal dari Arab, khususnya Hadramaut, yang kemudian menjadi penguasa di Banten. Gelar Tubagus biasanya digunakan oleh kaum laki-laki, sementara untuk kaum perempuan mereka disebut sebagai Ratu.

Dari garis ibunya, kakek Raden Entol Musa adalah pejabat Demang di Menes yang sebelumnya bertugas di Caringin, tetapi dipindahkan karena hancur akibat tsunami setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883. Nji Raden Ajoe Soewanda, putra Raden Entol Mantri Yasin, merupakan keturunan Demang Menes di Banten. Ayahnya meninggal muda sebelum mampu mewarisi jabatan Demang untuk menggantikan kakeknya, Raden Entol Musa, yang hidup pada masa yang sama dengan Dalem Bontjel atau Raden Tumenggung Adipati Wiriadidjaja, Bupati Caringin sejak 1839.

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja adalah salah satu dari empat bersaudara, anak dari Tubagoes Ismail Sastradiwirja dan Raden Ajoe Soewanda. Ia menempuh pendidikan dasarnya di perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia, sebuah lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan oleh ulama terkemuka Indonesia, Syaikh Ahmad Surkati, pada 6 September 1914. Di lembaga pendidikan tersebut, ia mendapatkan pendidikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan hingga lulus setingkat muallimin.

Setelah lulus dan mengajar di almamaternya, Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja terlibat dalam gerakan dakwah pembaharuan Islam yang dipromosikan oleh organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Gerakan ini dimulai atas dorongan guru besar, Syaikh Ahmad Surkati, seorang ulama pembaharu yang disebut oleh Hamka dalam pidatonya saat menerima gelar doktor honoris causa sebagai pembawa pemikiran Abduh ke Indonesia. Sastradiwirja terlibat dalam menyebarkan ajaran-ajaran pembaharuan Islam yang menekankan pada pembaruan pemikiran dan praktik keagamaan.

Bersama Hamka dan sahabatnya, Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, serta beberapa tokoh lainnya, turut serta dalam pendirian Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dan pembangunan Masjid Agung Al-Azhar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, pada tanggal 19 November 1953. Menurut sumber Wikipedia, nama Al-Azhar tersebut diberikan oleh Imam Besar Al-Azhar, Mahmud Syaltut, saat berkunjung ke Indonesia pada tahun 1960. Penamaan tersebut merupakan penghargaan atas kontribusi Imam Besar masjid, Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Hamka, seorang ulama dan aktivis Islam yang menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada tahun 1958.

Masjid Agung Al-Azhar dahulu diakui sebagai masjid terbesar di Jakarta sebelum pembangunan Masjid Istiqlal selesai pada tahun 1978. Seiring berjalannya waktu, masjid ini berkembang menjadi kompleks lembaga pendidikan, termasuk didalamnya Universitas Al Azhar Indonesia. Dari 14 tokoh yang tercatat sebagai pendiri Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dan Masjid Agung Al-Azhar, lima di antaranya berasal dari kalangan Al-Irsyad. Selain Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja sendiri, mereka adalah Hasan Argoebi, Rais Chamis, Abdullah Salim, dan Faradj Said Martak.

Kiprah Wak Mantri di Al-Irsyad

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, yang akrab disapa Wak Mantri oleh orang-orang terdekatnya, telah menjadi seorang guru di almamaternya sejak zaman Hindia Belanda. Bersama para guru lainnya, ia dikenal sebagai guru republikein karena semangat nasionalismenya yang menggebu. Kesannya yang menginspirasi ini diabadikan oleh salah satu muridnya dalam sebuah otobiografi:

"Saya teringat dalam menghadapi Pemerintah Pendudukan Belanda, Al-Irsyad Jakarta termasuk sekolah yang bersikap non kooperatif, artinya tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Belanda. Dalam keadaan kurang persiapan untuk ujian akhir, Al-Irsyad dibantu oleh seorang guru yang berjiwa republikein 24 karat. Guru ini mempersiapkan bahan-bahan ujian masuk sekolah lanjutan yang sudah matang yang ditulis dengan tangannya pada buku tulis. Buku ini dipinjamkan secara bergilir kepada murid-muridnya untuk disalin".

"Waktu itu Penilik Sekolah Al-Irsyad adalah Bapak H.Dahlan Abdullah yang setelah kedaulatan RI pulih, diangkat sebagai Duta Besar pertama RI untuk Irak, kemudian hari ia wafat dalam tugas dan dimakamkan di Bagdad. Kedua tokoh inilah (Bapak Dahlan Abdullah dan Bapak Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja) yang menjadikan anak-anak Al-Irsyad dan madrasahnya menjadi republikein sejati".
Hussein Badjerei, Anak Krukut Menjelajah Mimpi, penerbit LSIP th.2003.

Dahlan Abdullah, nama lengkapnya H. Bagindo Dahlan Abdullah (15 Juni 1895 – 12 Mei 1950), adalah seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia. Pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Dahlan Abdullah diangkat sebagai Tokubetsu Sicho atau Walikota Kota Istimewa Jakarta. Dalam posisinya sebagai Tokubetsu Sicho, ia dianggap memiliki peran yang signifikan dalam persiapan dan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Selain menjadi tenaga pengajar, Wak Mantri selama dalam masa revolusi kemerdekaan, pernah menjadi Ketua Majelis Pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Dimasa yang serba sulit itulah, dalam ancaman teror agresor Belanda, semua kegiatan belajar mengajar di Al-Irsyad tetap dapat dikendalikannya, meski pada situasi yang amat mencekam. Kepiawiannya dalam menyelesaikan masalah dunia pendidikan di internal Al-Irsyad, dinilai paling mumpuni, termasuk saat terjadinya kemelut yang pernah melanda perguruan Al-Irsyad Cabang Bogor pada era tahun 60-an. Wak Mantri mampu mengatasi gejolak dalam gelombang aksi protes warga Al-Irsyad Bogor, antara generasi tua dan muda saat dilakukan pembaharuan manajemen sekolah dari cara lama menjadi aturan yang baru, termasuk penggantian hari libur sekolah dari hari Jumat menjadi hari Minggu, mengikuti aturan yang dibuat oleh pemerintah.

Setelah Muktamar Al-Irsyad ke-27 yang diselenggarakan di kota Surakarta pada bulan Desember 1951, Wak Mantri duduk sebagai Anggota Pengurus Besar (PB) Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Pada saat itu, organisasi tersebut dipimpin oleh Ali Hubeis sebagai Ketua Umum. Pada periode ini, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia dan mantan Ketua Umum Masyumi, Bapak DR. M. Natsir, secara resmi diangkat sebagai penasehat organisasi. Kehadiran Bapak DR. M. Natsir sebagai penasehat memberikan kontribusi yang berharga bagi arah dan kebijakan organisasi, serta memberikan arahan yang berharga bagi pengurus dan anggota Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Reuni Wak Mantri bersama teman seperguruan

Wak Mantri dan rekan-rekannya, alumni madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, pada tanggal 24 November 1962, bertemu kembali di bekas gedung sekolah tempat mereka dulunya menerima pendidikan, didikan, dan bimbingan dari guru utama mereka, Syaikh Ahmad Surkati. Pertemuan tersebut diselenggarakan sebagai bentuk reuni untuk mengenang masa lalu dan merefleksikan kembali perjuangan mereka bersama Al-Irsyad. Acara tersebut menjadi momen yang sangat berarti, mengingat bahwa itu menjadi pertemuan terakhir bagi banyak dari mereka, karena kemudian satu persatu dipanggil oleh Allah SWT.

Wak Mantri hadir bersama dengan sejumlah tokoh seperti Prof. KH Farid Ma'ruf, H.M. Yunus Anis, H.Moh. Saleh Syu'aidy, H. Moh.Akib, H.Iskandar Idris, Ali Hubeis, Said Mangun, dan lainnya. Dalam suasana yang penuh nostalgia, mereka saling berbagi kenangan, mengingat perjalanan hidup mereka dan perjuangan bersama selama bertahun-tahun di bawah bimbingan guru-guru terkemuka seperti Syaikh Ahmad Surkati. Acara reuni tersebut menjadi kesempatan untuk mempererat silaturahmi, serta menyatukan kembali ikatan persaudaraan dan pengabdian mereka kepada pendidikan Islam dan perjuangan bangsa.

Reuni Wak Mantri dengan rekan-rekan seperguruannya diadakan secara istimewa di tengah-tengah Muktamar Muhammadiyyah ke-35 di Jakarta. Acara ini menjadi momen yang sangat berarti, karena sebagian besar dari alumni Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang hadir pada reuni tersebut kemudian menjelma menjadi ulama dan kader terbaik Muhammadiyah. Mereka menjadi tokoh-tokoh yang mengemban peran penting dalam Persyarikatan Muhammadiyah, baik dalam ranah pendidikan, dakwah, maupun kepemimpinan.

Para alumni tersebut telah melalui perjalanan panjang dalam meniti karier dan pengabdian mereka dalam bidang keislaman. Dari proses pendidikan dan pembinaan yang mereka terima di Al-Irsyad Al-Islamiyyah, mereka mampu mengembangkan diri menjadi tokoh-tokoh yang dihormati dan diakui dalam gerakan Muhammadiyah. Keberhasilan mereka mencerminkan kontribusi luar biasa dari lembaga pendidikan seperti Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mencetak kader-kader yang berkualitas dan berkomitmen dalam perjuangan Islam.

Wak Mantri wafat di Jakarta, 1 September 1972, setelah sebelumnya menderita sakit paru-paru yang cukup lama. Dari pernikahannya dengan Nyi Raden Entin Chatarina, Wak Mantri memiliki tujuh orang anak. Dua nama diantaranya yang diketahui oleh penulis ialah Tubagus Mohammad Sulaiman Sastradiwirja dan Toebagoes Adam Sastradiwirja.

Wak Mantri meninggal dunia pada 1 September 1972 di Jakarta, setelah melawan sakit paru-paru yang dideritanya cukup lama. Dalam perjalanannya sebagai seorang suami dan ayah, Wak Mantri memiliki peran yang tak ternilai dalam membesarkan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Nyi Raden Entin Chatarina, Wak Mantri diberkahi dengan tujuh orang anak yang menjadi kebanggaan dan warisan hidupnya. 

Anak-anaknya, dua diantaranya adalah Tubagus Mohammad Sulaiman Sastradiwirja dan Toebagoes Adam Sastradiwirja, membawa jejak-jejak kearifan dan ketulusan yang pernah dimiliki oleh sang ayah. Mereka meneruskan warisan intelektual dan spiritual yang ditanamkan oleh Wak Mantri, menggambarkan kegigihan dan semangat dalam menjalani kehidupan.

Dimata anak dan cucunya, Wak Mantri adalah sosok yang menjadi panutan, hidupnya sederhana dan bersahaja. Pribadi yang taat dalam beribadah. Kebiasaan rutinnya selepas sholat adalah mengaji Al-Qur'an, terutama dikala fajar usai shalat subuh yang tak pernah ia lewatkan setiap harinya.

Bagi anak dan cucu-cucunya, Wak Mantri bukan sekadar seorang kakek atau ayah, tetapi juga menjadi sosok yang dihormati dan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap sederhana dan rendah hati yang dimilikinya memberikan inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya untuk hidup dengan penuh kesederhanaan dan keikhlasan.

Ketaatan dalam beribadah, terutama dalam ketaatan dalam membaca Al-Qur'an, menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Setiap hari, tak lupa setelah menunaikan shalat subuh, Wak Mantri akan menyempatkan waktu untuk membaca Al-Qur'an. Saat fajar mulai menyingsing, suara bacaannya mengalir merdu, menjadi pengingat akan kekuatan iman dan ketekunan dalam beribadah. Kesetiaannya pada rutinitas ini mengilhami keluarga dan orang-orang di sekitarnya untuk mengikuti jejaknya dalam mencari ketenangan dan keberkahan dalam ibadah.

Salah satu karya tulisnya adalah buku  "Panduan Cara Membaca Al-Qur'an". Meskipun tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, namun penerbitan buku tersebut sepenuhnya dibiayai oleh koceknya sendiri, menggunakan uang dari kocek pribadinya. Kesediaannya untuk membagikan buku tersebut secara cuma-cuma menunjukkan keikhlasan dan ketulusan hatinya dalam menyebarkan ilmu agama.

Tidak hanya dalam penulisan karya tulis, tetapi Wak Mantri juga memberikan pengarahan dan nasihat kepada siapa pun yang membutuhkannya. Dengan kesabaran dan ketelatenannya, beliau selalu siap memberikan bimbingan kepada siapa saja yang datang mencarinya, tidak terkecuali para pengemudi becak yang menemuinya, atau orang-orang yang sengaja mengunjungi ke rumahnya di bilangan petojo melintang. Setiap pertemuan dengan Wak Mantri tidak pernah sia-sia, karena beliau selalu menyampaikan pesan-pesan yang mendalam dan bermanfaat bagi kehidupan spiritual dan sosial masyarakat sekitarnya.

Tulisan lama yang diperbaharui kembali pada 13 Maret 2024



Abdullah Abubakar Batarfie


Belum ada Komentar untuk "H. Tb. Sjoe'aib Sastradiwirja : Ulama Yang Berjuang Lewat Seni"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel