HUSSEIN BADJEREI, TOKOH AL-IRSYAD YANG MELEGENDA (Bagian ke-2)

HUSSEIN BADJEREI menjadi Peserta Termuda Muktamar Masyumi ke-VIII di Bandung


HUSSEIN BADJEREI : SEBUAH AWALAN MENJADI AKTIVIS

Pada bulan Desember 1956, Hussein dipilih oleh Pimpinan Pusat (DPP) Al-Irsyad Al-Islamiyyah untuk mewakili Al-Irsyad dalam Muktamar Partai Masyumi Ke-8 di Bandung. Pilihan sebagai utusan resmi padanya itu jatuh karena Hussein berwajah Cina-Padang bercampur Indo Depok, wajah yang tidak terlampau totok terlihat parasnya sebagai seorang keturunan Arab. Hussein muda yang sedianya menjadi utusan resmi Al-Irsyad dalam Muktamar Masyumi itu bersama Mohammad Ba'syir yang terlambat hadir, terpaksa di awal persidangan duduk sendiri dibarisan terdepan yang membuatnya merasa rikuh saat berhadap-hadapan dengan tokoh teras terkemuka Masyumi, termasuk dengan utusan dari unsur Muslimat Masyumi.

Selama dalam sidang Muktamar Masyumi berlangsung, seorang ibu kerap menatapnya dengan penuh kelembutan dan menghampirinya pada jam istirahat persidangan tiba, yang ternyata ibu itu adalah Barkah Ganis, istri tokoh terkemuka Indonesia, Abdurrahman (AR) Baswedan. Ibu Barkah mengenali wajahnya yang mudah ditebak karena mirip dengan paras Abdullah ayahnya, sahabat seperjuangan suaminya AR Baswedan. Ia pun dengan spontan memberinya dukungan dan berseloroh penuh spirit; "Nah, begitu dong, majulah Pemuda-Pemuda Al-Irsyad". Dalam bulletin Muktamar yang tersiar luas saat itu, tertulis nama Hussein Badjerei yang dinyatakan sebagai peserta termuda Muktamar Masyumi.

Masih dalam suasana di arena Muktamar Masyumi, dalam sebuah pertemuan khusus diluar agenda sidang berlangsung yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri RI. Peserta termuda Hussein Badjerei ikut mendampingi Bapak Burhanuddin Harharap pada kaukus keturunan Arab eks PAI di Masyumi. Dari semua prasaran yang masuk, dalam pertemuan khusus itu telah dicapai satu konsesus sebagai sebuah rekomendasi politik dari Partai Masyumi yang mengambil keputusan tentang persamaan identitas "kependudukan" antara pribumi dan keturunan Arab yang dianggap sama hak dan hukumnya dengan pribumi.

Posisi pertamanya dalam organisasi Al-Irsyad pada pentas nasional adalah sebagai Ketua Perwakilan Istimewa PB Pemuda Al-Irsyad di Jakarta, dimana Pengurus Besarnya saat itu masih berkedudukan di Surabaya. Dalam periode yang sama, Hussein merangkap sebagai Ketua Departemen Organisasi dan Penerangan PB Pemuda Al-Irsyad yang diamanahkan kepadanya hingga tahun 1964.

Berkecimpungnya Hussein yang terjun menjadi seorang aktivis, membuat dirinya mudah bertemu dan berkenalan dengan sejumlah aktivis pergerakan nasional dari berbagai latar belakang, termasuk kalangan kaum sosialis seperti Sutan Syahrir, Mr. Hamid Al-Gadri, LM Sitorus, Djoeir Muhammad, dan tokoh-tokoh lainnya. Hamid Algadri (1912–1998) merupakan seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia keturunan Arab, aktivis Persatuan Arab Indonesia - PAI yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, KMB dan salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.

Perkenalannya dengan Sutan Syahrir saat pertama kalinya diajak bertandang ke kediamannya oleh Maroeli Silitonga, seniornya dulu saat masih sama-sama di IPPI. Sutan Syahrir adalah seorang intelektual, perintis dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir yang oleh pemerintah RI telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ini, merupakan pendiri Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948 dan wafat di pengasingan, Swiss, 9 April 1966.

Dipertemuannya dengan Syahrir itulah Hussein ditunjuk menjadi Managing Editor pada "majalah SIKAP", organ mingguan yang menjadi corong Partai Sosialis Indonesia, dimana Ia bekerja secara profesional sebagai tenaga honorer. Bersamaan dengan terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI tahun 1959, yang disinyalir banyak melibatkan tokoh-tokoh dari Partai Sosialis Indonesia, Hussein pun secepat kilat resmi meninggalkan majalah SIKAP.

Dalam peristiwa PRRI tersebut, Hussein memberikan kesaksian bahwa PRRI adalah lakon yang dimainkan oleh PSI dengan menjadikan tokoh-tokoh Masyumi koleganya di parlemen sebagai korban, orang-orang Masyumi diburu oleh rezim orde lama hingga kepelosok hutan dan orang-orang PSI mengambil alih pemerintahan di daerah yang sebelumnya dipegang oleh banyak aktivis Masyumi. Ketika akhirnya Bung Karno membubarkan keduanya, PSI dan Masyumi, justru orang-orang PSI dapat hidup dengan selamat, bahkan merekalah kemudian yang menyelusup ke dalam lingkungan tentara dan terbukti berhasil menggulingkan Sukarno pada tahun 1966.

Diantara gembong "kiri" lainnya yang dikenal dekat dengan Hussein adalah Suyono Atmo, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, teman dan seniornya yang pernah menjadi pengurus teras di PB IPPI. Menurutnya, Suyono diketahui berperan penting dalam membantu pelarian DN Aidit setelah gagalnya usaha kudeta yang diotakinya pasca pemberontakan G.30.S PKI di Jakarta. Beliau (Suyono) pula yang menerima kedatangan Aidit di Pangkalan Udara TNI AD Kalibanteng di Semarang. Oleh Hussain Badjerei, Suyono dilihatnya sebagai sosok yang humanis dan humble pada setiap orang yang dikenal dan dijumpainya. Menurutnya, hampir semua para pejabat "kiri" di masanya memiliki sifat dan watak seperti halnya dengan Suyono Atmo, serupa dengan gaya pencitraan pejabat masa sekarang untuk menunjukan citra yang positif dimata rakyat. Terutama untuk meraih simpatik dari massa kalangan umat Islam.

Tahun 1957, Hussein dan Mahbub Djunaidi, keduanya kembali bertemu dalam pergumulan dunia pergerakan sebagai aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam. Dalam kepengurusan PB HMI ini, Hussein menduduki jabatan Ketua Departemen Penerangan, sedangkan Mahbub sahabatnya menjadi Ketua Departemen Pendidikan. Bergabungnya Hussein di PB HMI sejak setelah perkenalannya dengan Hasan Metareum, saat keduanya sama-sama aktif di Perserikatan Organisasi-Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia disingkat PORPISI. Ismail Hasan asal lahir dari Dusun Metareum di Aceh (1929–2005), merupakan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan periode 1989—1998 dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR/MPR. Nama Metareum dipakai karena ada dua nama aktivis yang sama, salah satunya ialah Ismail Hasan yang aktif di Gerakan Pemuda Islam.

Di Himpunan Mahasiswa Islam, Hussein pernah memimpin dan mengelola majalah "Media HMI", organ resmi internal PB HMI di Jakarta, yang sebelumnya diterbitkan di  Yogyakarta dan berada di bawah pimpinan Ibrahim Madylao. Dari tangannya pula "Media HMI" dihentikan paksa penerbitannya pada tahun 1959. Saat Surat Keputusan penghentiannya tersebut dikeluarkan oleh PB HMI, diserahkan langsung oleh Norman Razak dan Siswadi kepada Hussein yang tengah bekerja di toko Meubel "KRAMAT". Layout terakhir majalah Media yang sudah siap cetak itupun diserahkannya.

Pertemuan Hussein bersama sejumlah aktivis di PB HMI, berhasil membangun jaringan yang luas dengan berbagai kalangan dari berbagai lintas generasi dan Ideologi. Tidak sedikit koleganya dari sesama eksponen, dikemudian hari mereka tampil menjadi para pemuka bangsa dan tokoh nasional, sebut saja antaranya adalah Ir. Hasrul Harahap mantan menteri Pertanian RI, Siswadi, Nurhani dan Siti Zubaidah dari Yogyakarta, anggota DPR RI dari Fraksi NU. Hussein Badjerei yang berlatar belakang Al-Irsyad memiliki hubungan yang amat mesra dengan banyak aktivis dari kalangan Nahdlatul Ulama, bahkan sahabatnya Mahbub Djunaidi di masa itu merupakan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang didirikan oleh NU pada tahun 1960.

Pada tahuh 1958, setelah aktif dan duduk di Dewan Pertimbangan Badan Kerja Sama Pemuda Militer Pusat - BKS-PM mewakili Pemuda Al-Irsyad, Hussen diangkat sebagai salah satu anggota Dewan Pertimbangan Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh AH Nasution. Dalam situasi itu ia banyak mengamati dan mengalami berbagai peristiwa politik di tanah air yang diwarnai oleh dua kekuatan kubu nasionalis dan komunis. Hussein yang berada dalam barisan kubu eksponen Pemuda Islam tidak luput dari sasaran target dari para penguasa orde lama ketika itu, yang berujung dengan dibubarkannya Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada tahun 1961, setahun sejak Partai Islam Masyumi dibubarkan paksa. Bersamaan dengan peristiwa itu pula, BKS-PM dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat ikut dibubarkan oleh Sukarno, alih-alih karena tugasnya dianggap telah selesai.

Taufik Ismail; BENDERA SETENGAH TIANG DI GAJATRI

Masih dalam suasana tumbuh suburnya alam pergerakan Pemuda dan Mahasiswa, di tahun yang sama setelah Hussein menjadi pramuniaga di Toko Meubel Kramat, atas ajakan sepupunya Cholid bin Zimah yang diangkat oleh ayahnya sebagai Direktur PT Indonesia Teak Company di Cirebon, Hussein ikut bekerja di kota itu yang usahanya bergerak di bidang penggergajian kayu jati. Di tahun berikutnya Hussein kembali ke Jakarta untuk bekerja sebagai Manager Hotel Des Galeries.

Hotel Des Galeries yang lokasinya berada paling strategis di bilangan Harmoni itu, pemilik dan pendirinya adalah Syaikh Saleh bin Ubayd Abdat, salah seorang founding father Al-Irsyad yang jasanya sangat besar bagi Jum'iyyah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Sejarah berdirinya hotel itu sendiri menurut Hussein sangat sarat dengan atmosfir rasa nasionalisme pemiliknya dimasa kolonialisme, sejak Jakarta masih bernama Batavia.

Syahdan, Saleh bin Ubayd merupakan salah satu dari tokoh yang paling benci pada kolonialisme Barat, terutama terhadap Belanda dan Inggris. Bermula sejak kembalinya beliau ke Batavia pada akhir tahun 20-an dari memimpin sejumlah pemberontakan di tanah kelahirannya Hadramaut, yang para penguasa feodalnya berada di bawah cengkraman protektorat Inggris. Setibanya di Batavia lewat Singapura, Ia berniat bermalam di Hotel Des Indes, hotel terbesar kaum borjuis di Batavia yang terletak di ujung Jalan Gajah Mada sekarang. Karena diperuntukan bagi orang Eropa, hotel itu tidak mau menerima tamu orang Arab, yang tentunya membuat murka Syaikh Saleh bin Ubayd Abdat.

Sejak peristiwa di Des Indes itulah, Syaikh Saleh bin Ubayd Abdat kemudian membeli sebidang tanah persis disebrang hotel itu dan mendirikan hotel tandingan yang dinamainya Hotel Des Galeries. Bangunannya menyerupai bentuk kapal pesiar yang dirancang oleh EGH Cuypers, arsitek ternama di Batavia. Pengelolaan hotel tersebut diletakan di bawah Stichting Saleh Obayd Abdat, sebuah lembaga berbadan hukum berbentuk Yayasan (Stichting) yang alokasi keuntungannya dipakai untuk membantu kegiatan Islam dan membantu keluarga al-Abdat yang merantau ke Jakarta.

Dalam perjalanan waktu, hotel tersebut pernah berubah nama menjadi Hotel Dewi Gajatri atas gagasan Hussein Badjerei, diambil dari nama puteri bungsu raja Kartanegara yang dipersunting menjadi salah satu istri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309). Pemilihan nama itu diberikan untuk mendukung gagasan Bung Karno yang mengkampanyekan mengganti istilah-istilah asing untuk di Indonesiakan. Peresmian nama hotel dilakukan bertepatan dengan pembukaan Rumah Makan Hotel itu yang dihadiri oleh para pejabat kota dan wartawan. Hussein Badjerei menyusun teks pidato pembukaan nan indah yang dibacakan oleh ayahnya, Abdullah Agil Badjerei. Salah satu diantara tamu yang hadir adalah Mahbub Djunaidi sahabatnya.

Dari Hotel Gajatri ini pulalah menjadi saksi akan peristiwa lama dan kelam tentang fitnah keji adanya isu "Dewan Jendral" dan wafatnya Tujuh Pahlawan Revolusi yang dilakukan pada malam gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia di Jakarta. Saat ketujuh para Pahlawan Revolusi digali dari Lubang Buaya, dari tiang hotel bendera merah putih dikibarkan setengah tiang tanda ungkapan duka cita bangsa di Indonesia. Meski tidak berkibar lama sampai berhari-hari karena sempat diminta untuk dinaikan menjadi satu tiang penuh oleh orang-orang PNI Asu di bawah pimpinan Jaksa Djongor L.Aroen SH. Bendera yang akhirnya dicopot sama sekali oleh Hussein Badjerei itu, sempat diabadikan oleh penyair Taufiq Ismail dengan menorehkan penanya dan tersusun seuntai sajak indah yang diberinya judul; "Bendera Setengah Tiang di Gajatri".

Dari "loteng" Hotel Dewi Gajatri, Hussein Badjerei melihat kawan-kawan seperjuangan Pemuda Al-Irsyad, antaranya yang terdepan kakak beradik, Asad dan Ridho Baridhwan, memimpin barisan show of force Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Jakarta tahun 1966. KAMI bersama organisasi eskponen Pelajar yang dibentuk pada 27 Oktober 1965, merupakan kekuatan anti Komunis yang beranggotakan dari seluruh kesatuan aksi Mahasiswa, Organisasi Pemuda-Pelajar dan komponen para pelajar Indonesia, termasuk Badan Otonom Pemuda dan Pelajar Al-Irsyad.

Sayang Hotel itu pernah berperkara yang oleh Yayasan bin Abdat dipercayakan sepenuhnya kepada Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo sebagai kuasa hukumnya, pengacara kondang dimasanya dan dianggap paling khatam tentang silsilah keluarga al-Abdat. MR Iskaq dikenal sebagai salah seorang pendiri Partai Nasional Indonesia di Bandung, 4 Juli 1927 (ketika itu masih bernama Perhimpunan Nasional Indonesia) bersama Bung Karno, Mr. Sartono, Mr. R.S. Budhyarto Martoatmodjo, Mr. Sunario Sastrowardoyo, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ir. Anwari, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang sekaligus menjabat sebagai sekretaris dan bendahara pertama di perkumpulan tersebut.

Selain pernah menjadi anggota konstituate mewakili PNI dan Menteri Perekonomian RI, Mr Iskaq pengacara keluarga Yayasan Bin Abdat ini pernah menjabat sebagai Perdana Menteri RI dalam kabinet Sukiman-Suwirjo (1951-1952). Ketika menjabat sebagai Menteri Perekonomian, Ia mencetuskan ide sistem ekonomi Ali-Baba, yaitu suatu sistem ekonomi yang berusaha untuk membangkitkan wiraswasta lokal (pribumi) Indonesia.

Sejak bekerja sebagai manager Hotel Dewi Gajatri, hotel bersejarah milik tokoh besar Al-Irsyad Syaikh Saleh bin Ubayd Abdat, hotel sohor dan berkelas di Batavia pada masanya, saat hotel itu masih bernama Des Galeries, Hussein Badjerei selama dalam masa revolusi berlangsung di tanah air yang telah banyak malang melintang dalam dunia pergerakan sebagai aktivis, aktifitasnya dengan menjadi kader sejati Al-Irsyad dapat dikatakan tidak pernah berhenti walau sejenak. Dari itu dalam buku otobiografinya ia memberinya bab khusus; Menabur Hari di Al-Irsyad.

Seluruh rangkaian kegiatan organisasi Al-Irsyad, terutama posisi strategisnya selaku Sekjen, jabatan penting yang menjadi motornya organisasi, baik sejak masih di PB Pemuda maupun induknya di Pimpinan Pusat, tiada satupun yang terlewatinya, hampir seluruhnya dia saksikan sekaligus diikutinya sebagai pelaku peristiwa, atau bahkan ikut dalam menciptakan peristiwa. Termasuk gonjang ganjing yang hampir berimbas pada eksistensi organisasi akibat isu azas tunggal Pancasila dan peraturan pemerintah tentang undang-undang keormasan. Dalam periode ini, tampilnya figur H.Geys Amar sebagai Ketua Umum PP Al-Irsyad mampu melaju cepat tapi tertib tanpa harus kena "tilang" dari pemerintah, bahkan konstitusi organisasi yang menjadi produk muktamar, Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dirancang oleh Geys Amar bersama Hussein, dianggap sebagai yang terbaik dan menjadi contoh oleh kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Selain banyak peristiwa penting dari dinamika perjalanan organisasi Al-Irsyad yang disaksikan dan dialaminya sebagai pelaku, dari sejak masa orde lama hingga ke orde baru. Semua itu mengalir dengan sesekali menggunakan penulisan gaya jenaka khas Betawinya yang kental, terkadang amat emosional, duka dan nestapa semua perjalanan hidupnya dia tulis dalam buku otobiografinya; Hussein Badjerei, Anak Krukut Menjelajah Mimpi.

Sebuah perjalanan panjang dari sejak lahirnya Al-Irsyad 6 September 1914, hingga menapaki setiap masa yang dilaluinya, dari era penjajahan hingga pasca kemerdekaan, mampu ditulisnya dengan terperinci lewat buku yang ditulisnya; Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa. Buku ini merupakan "buku pintar" perjalanan sejarah Al-Irsyad yang terbilang lengkap. Sebagian sumber penulisan buku itu diambil dari hasil wawancara langsung pada ayahandanya Abdullah Agil Badjerei, saksi dan pelaku sejarah dari banyak peristiwa penting di Al-Irsyad.

Hussein pernah bekerja pada PT Almaarif di kota Bandung, penerbit buku-buku Islam yang tersebar luas di Indonesia, umum dan pondok pesantren, termasuk pencetak Al-Qur'an yang sudah berdiri sejak tahun 1949 di Jalan Tamblong. Pendiri dan pemiliknya adalah H.M Baharthah, saudagar asal Hadramaut, Yaman Selatan. Selain Hussein, Ridho Baridwan dan Mahbub Djujiadi juga bekerja pada perusahaan yang sama. Ketika bekerja di Almaarif inilah Hussein berkenalan dengan Endang Saifuddin Anshari, putera KH Isa Anshari yang ikut ditawan Bung Karno dan sempat dikunjunginya saat KH Isa berada dalam rumah tahanan di Gang Tembok, Bandung.

Dengan latar belakang sebagai seorang jurnalis outodidak, Hussein pernah bekerja sebagai Sekretaris Kantor Berita Pers Nasional yang berkantor dengan mengambil salah satu ruang kosong di Hotel Dewi Gajatri. Oleh sahabatnya Mahbub Djunaidi, Hussein juga sempat ditempatkan sebagai Managing Editor merangkap Kepala Tata Usaha pada majalah bulanan Ihya Ulumuddin. Di majalah Asmawi Manaf Ia dipercaya sebagai Pemimpin Umum. Kedua majalah itu, Ihya Ulumuddin dan Asmawi Manaf merupakan media Islam yang berada dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Ketua Yayasan yang menjadi penanggung jawab majalah Ihya Ulumuddin adalah KH Muhammad Dahlan, ulama asal NU yang saat majalah itu tengah terbit, menjabat sebagai Menteri Agama RI dalam Kabinet Pembangunan I (1967-1971).

Suara Al-Irsyad, merupakan media resmi organisasi, majalah terlama yang pernah terbit di Al-Irsyad. Media itu dikelolanya sejak pertama kalinya terbit tahun 1971 dan berakhir pada bulan Desember 1985. Disusul sesudahnya, lahirnya Laporan Berkala Al-Irsyad, bulletin sederhana disingkat Lapla yang dicetak kecil dalam ukuran setengah folio, tampilannya yang mirip kertas foto copian ini meski sangat sederhana, tapi sarat dengan berbagai informasi penting tentang organisasi. Bahkan Lapla hingga akhirnya hilang ditelan zaman yang setelah bertahun-tahun berkantor di kediaman pribadinya, Jalan Dukuh Pinggir IV, Tanah Abang.

Husein Badjerei pernah aktif dalam kegiatan politik dengan menjadi kandidat anggota DPR-RI yang diajukan Parmusi untuk Pemilu 1971 dan calon anggota DPR/MPR dari PPP untuk Pemilu 1992 dari daerah pemilihan DKI Jakarta. Bahkan guna memuluskan jalannya menuju parlemen, Ia sempat aktif dan diangkat sebagai Sekretaris Pemimpin Umum pada Harian Pelita yang menjadi corong Partai berlambang Ka'bah tersebut. Dan pernah duduk memangku jabatan penting sebagai Sekretaris Departemen Penerangan & Penerbitan dan anggota Biro Perencanaan Lajnah Pemilu DPP PPP.

Bogor, 10 Juli 2023
Abdullah Abubakar Batarfie
(BERSAMBUNG KE-PART 3)

Belum ada Komentar untuk "HUSSEIN BADJEREI, TOKOH AL-IRSYAD YANG MELEGENDA (Bagian ke-2)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel