Resonansi Mahjuubun Bil Irsyadiyyin

Muhammad Abduh memandang bahwa perbaikan tidak selalu harus ditempuh melalui revolusi atau perubahan yang cepat dan drastis. Pembaruan yang hakiki justru lahir dari perbaikan cara berpikir umat Islam, melalui pendidikan, pembelajaran, dan pembinaan akhlak, serta pembentukan masyarakat yang berbudaya, bernalar, dan mampu melakukan pembaruan dalam memahami agamanya.

"Resonansi dari kumpulan tulisan dan pesan berantai ini merujuk pada dampak intelektual dan emosional dari gagasan Mahjuubun Bil Irsyadiyyin yang ditulis oleh Awod Maretan yang telah menggetarkan kesadaran, lalu memantik respons, pantulan pikiran, kritik, dan perenungan dari berbagai aktivis." Tulisannya itu terinspirasi dari kutipan Syaikh Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Islam yang menjadi mata rantai pergerakan pembaharuan Islam di Indonesia, termasuk Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati pada 6 September 1914 di Batavia. 

AL-IRSYAD MAHJUUBUN BIL IRSYADIYYIN?, Oleh Awod Maretan

Judul tulisan ini saya kutip dari ungkapan yang sangat masyhur; "Al-Islam Mahjuubun bil Muslimiin". Ungkapan ini muncul pada tahun 1884 M, ketika Syaikh Muhammad Abduh melakukan perjalanan ke Paris untuk bertemu gurunya, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dan di sanalah keduanya menerbitkan majalah Al-‘Urwatul Wutsqo.

Baik Sayyid Jamaluddin Al-Afghani maupun Syaikh Muhammad Abduh, menjadi rujukan diskusi dan tempat bertanya, bukan hanya bagi kaum Muslimin, tetapi juga masyarakat Barat, khususnya kalangan cendekiawan. Dakwah yang mereka lakukan bukan sekadar ceramah, melainkan dialog intelektual tentang Islam, kandungan Al-Qur’an, dan Sunnah Nabi, yang terbukti mampu mengubah perilaku jahiliah bangsa Arab setelah datangnya Islam: minazh-zhulumaati ilan'nuur ; dari kegelapan menuju cahaya.

Ungkapan tersebut merupakan jawaban atas kegelisahan seorang ulama asal Sambas, Kalimantan Barat, Syaikh Muhammad Basyuni Imran. Kegelisahan itu ia sampaikan melalui surat kepada pemimpin majalah Al-Manar, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, lalu diteruskan kepada Syaikh Amir Syakib Arsalan dalam pertanyaan yang terkenal ; limadza ta’akhara al-muslimun wa taqaddama ghairuhum?, “Mengapa kaum Muslimin mundur, sementara umat yang lain maju?”.

Pertanyaan tersebut kemudian dibukukan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ; Mengapa Kaum Muslimin Mundur.

Namun, tulisan ini tidak akan membahas persoalan tersebut secara langsung. Ungkapan masyhur itu menurut saya, dapat dianalogikan secara singkat dengan persoalan yang dihadapi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah hari ini ; Apakah kita mundur? Menurut saya: ya.

Satu contoh saja sudah cukup ; kita terpecah belah, atau dipecah belah. Mengapa hal itu terjadi? Karena adanya kelemahan di dalam tubuh jum’iyyah sendiri. Kita lalai mengantisipasi perkembangan pemikiran Islam. Kita lalai memperkuat amanat utama organisasi yaitu pendidikan, dakwah, dan sosial. Padahal ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat, saling melengkapi, dan berkelindan satu sama lain.

Harapan saya pun memuncak ; Semoga Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah kembali melahirkan ulama yang cendekiawan dan cendekiawan yang ulama, dengan mengirimkan murid-muridnya ke lembaga pendidikan yang representatif, baik di dalam maupun luar negeri, sebagaimana dahulu Al-Irsyad pernah melakukannya. Sepulang dari menimba ilmu, mereka berdakwah dan mengabdi untuk Islam serta organisasinya.

Mari kita bermuhasabah, mengevaluasi diri kita dan organisasi kita: mengapa kondisi ini bisa terjadi?

Mari Jadikan PERHIMPUNAN AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH di seluruh cabangnya sebagai RUMAH BESAR bagi kemashlahatan Irsyadiyyin. Jadikan "rumah besar" itu tempat bersilaturrahim, bertemu dan berdiskusi tentang pelbagai persoalan organisasi dan umat.

Undzur Ma Qola Wala Tandzur Man Qola.

Pekalongan, 15 Desember 2025
Awod Maretan


Ady Amar
Membaca Kegelisahan, Menyusun Jalan Pulang Al-Irsyad, (Respon atas tulisan Awod Maretan ; Al-Irsyad Mahjuubun bil Irsyadiyyin?) Oleh : Ady Amar.
Tulisan Awod Maretan layak ditempatkan sebagai suara kegelisahan yang jujur dan bertanggung jawab, bukan sebagai tudingan apalagi penghakiman. Ia berbicara dari dalam, dengan kesadaran sejarah dan keberanian intelektual, seraya mengingatkan bahwa organisasi sebesar Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah tidak boleh hidup dari romantisme masa lalu semata.

Pilihan mengutip ungkapan masyhur "Al-Islam Mahjuubun bil Muslimiin", lalu mengajukan analogi Al-Irsyad "Mahjuubun bil Irsyadiyyin" adalah strategi reflektif yang tajam. Ia tidak hendak merendahkan Al-Irsyad, justru sebaliknya  menyelamatkan martabatnya dengan cara mengajak kita bercermin. Di titik inilah tulisan ini menemukan bobot moralnya—bahwa kritik yang lahir dari cinta akan selalu terasa getir, tetapi niscaya perlu.

Penggalan sejarah yang direntangkan—dari Al-Afghani, Muhammad Abduh, hingga Rasyid Ridha—bukan sekadar pengantar akademik. Ia menegaskan bahwa DNA Al-Irsyad adalah keberanian berpikir, berdialog, dan mempertemukan iman dengan kemajuan zaman.

Maka ketika penulis menyatakan “kita mundur”, itu bukan vonis final, melainkan alarm kesadaran: bahwa ada amanat besar yang mulai terabaikan, terutama dalam pilar pendidikan, dakwah, dan sosial.

Kejujuran mengakui perpecahan internal sebagai akibat kelemahan dari dalam adalah sikap ksatria. Tidak menyalahkan semata faktor eksternal, tetapi menempatkan tanggung jawab pada diri sendiri dan organisasi. Dari sinilah ruang perbaikan terbuka. Sebab organisasi yang menolak bercermin, sesungguhnya sedang menyiapkan kehancurannya secara perlahan.
"Ajakan menjadikan Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah sebagai rumah besar kemaslahatan Irsyadiyyin adalah tawaran visi yang patut diapresiasi."
Rumah besar yang tidak dibangun untuk satu golongan, satu tafsir, atau satu kepentingan sempit. Ia menjadi ruang silaturahim, tempat bertemunya gagasan, tempat perbedaan dikelola dengan adab, dan masalah diselesaikan dengan musyawarah. Inilah ruh jum’iyyah yang sejatinya.

Lebih jauh, harapan agar Al-Irsyad kembali melahirkan ulama yang cendekiawan dan cendekiawan yang ulama adalah panggilan strategis.

Di tengah krisis keteladanan dan dangkalnya wacana keislaman, kebutuhan akan kader yang berilmu mendalam, berwawasan luas, dan berakar pada akhlak menjadi semakin mendesak. Tradisi pengiriman kader ke pusat-pusat ilmu, lalu kembali mengabdi untuk umat dan organisasi, adalah investasi peradaban yang tidak boleh dibiarkan mati.

Tulisan ini, pada akhirnya, adalah undangan bermuhasabah kolektif—bukan hanya bagi pengurus, tetapi bagi seluruh Irsyadiyyin. Muhasabah yang jujur, tenang, dan berorientasi solusi. Sebab kebesaran organisasi tidak diukur dari seberapa keras ia menolak kritik, melainkan dari seberapa dewasa ia meresponsnya.
Sebagaimana penegasan penutup yang bijak  ; undzhur ma qola wala tandzhur man qola. Mari kita timbang gagasannya, kita rawat kegelisahannya, dan kita jawab dengan kerja nyata. Karena dari kegelisahan yang tulus, sering kali lahir jalan pulang yang paling bermartabat bagi sebuah gerakan.
Surabaya, 15 Desember 2025.
Ady Amar.

Abdullah Batarfie

CATATAN DALAM PERJALANAN: Menjawab “Al-Irsyad Mahjuubun bil Irsyadiyyin?”

Tulisan berjudul “Al-Irsyad Mahjuubun bil Irsyadiyyin?” yang ditulis oleh almua'llim Akh Awod Maretan, mengajak kita berhenti sejenak, bercermin, dan jujur membaca keadaan. Ia bukan tuduhan, melainkan kegelisahan intelektual yang lahir dari cinta, sejenis cinta yang tidak rela melihat rumah besarnya kehilangan denyut makna.
Catatan tanggapan ini saya tulis di Bandung, dalam perjalanan pulang dari Museum Pendidikan Nasional di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Sebuah tempat yang mengingatkan saya bahwa sejarah pendidikan bukan hanya kumpulan artefak, tetapi jejak kesungguhan manusia dalam merawat akal, adab, dan masa depan. Di kampus inilah pula salah seorang aktivis dan senior Al-Irsyad, Dr. Khalid Harras tengah mengabdi sebagai pengajar, sebuah fakta yang diam-diam mengikat benang antara pendidikan, pemikiran, dan pengabdian.
Pertanyaan “apakah kita mundur?” memang tidak nyaman, tetapi justru di situlah kejujurannya. Sejarah tidak pernah bergerak karena rasa puas. Ia bergerak karena kegelisahan orang-orang yang bersedia mengakui kelemahan, lalu bekerja sunyi dan memperbaikinya. Dalam konteks itu, analogi Al-Islam Mahjuubun bil Muslimiin yang ditarik ke tubuh Al-Irsyad patut direnungkan, bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk menemukan kembali arah.

Saya sepakat bahwa pendidikan, dakwah, dan sosial bukan tiga agenda yang berdiri sendiri. Ketika salah satunya melemah, yang lain ikut pincang. Pendidikan tanpa dakwah kehilangan ruh, dakwah tanpa pendidikan kehilangan kedalaman, dan kerja sosial tanpa keduanya mudah terlepas dari visi besar. Di sinilah sesungguhnya Al-Irsyad diuji, bukan pada banyaknya institusi, tetapi pada kuatnya keterhubungan nilai.

Namun saya juga percaya, kemunduran jika memang itu yang sedang kita alami, bukanlah akhir. Ia adalah tanda bahwa sebuah organisasi masih hidup, masih merasa sakit, masih punya kesadaran untuk bertanya. Yang berbahaya bukanlah kemunduran, melainkan kebekuan: ketika kritik dianggap ancaman, dan perbedaan diperlakukan sebagai permusuhan.

Seruan untuk menjadikan Al-Irsyad sebagai “rumah besar” adalah ajakan yang relevan dan mendesak. Rumah besar tidak dibangun dengan keseragaman mutlak, tetapi dengan adab berdialog, kesiapan mendengar, dan kerendahan hati untuk belajar, baik dari sejarah sendiri maupun dari perkembangan zaman.

Maka, barangkali yang perlu kita pastikan hari ini bukan semata apakah Al-Irsyad tertutup oleh Irsyadiyyin, tetapi apakah kita masih bersedia membuka jendela-jendela ijtihad, memperluas ruang silaturahim, dan menghidupkan kembali etos keilmuan yang dahulu menjadi napas organisasi ini.

Sebagaimana pesan hikmah yang dikutip di akhir tulisan itu, undzur ma qola wala tandzur man qola. Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Dari situlah perbaikan selalu bermula.
Yang menarik sekaligus menggugah dari tulisan seorang Irsyadi sejati seperti akhina Awod Maretan adalah kemampuannya merangkai buah pikirannya dengan jejak tiga tokoh penting yang menjadi inspirasi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Rasyid Ridha.

Hari ini, ketiga nama tersebut seolah kian asing sebagai rujukan di kalangan warga Al-Irsyad. Namun melalui tulisan-tulisan yang kian produktif dari para penulis andal seperti akhina Awod, nama-nama pembaharu itu kembali dihadirkan, laksana pohon yang hampir mengering, lalu hidup kembali oleh siraman embun yang menyegarkan.
Bandung, 15 Desember 2025
Abdullah Batarfie
Dua tulisan dari dua saudara Irsyadiin yang luar biasa. Bernas dan menginspirasi. Semoga menjadi renungan bersama dan bahan dialog yang serius. "Berpuas diri dengan kondisi yang ada hanya akan mempercepat keruntuhan". Ilal amaami ya Banil Irsyad! (Mansyur Alkatiri)

 

Prof.Misri Gozan

Menjawab Kegelisahan dengan Kerja dan Kesabaran, oleh ; Prof. Dr.-Ing. Ir. Misri Gozan, M.Tech

Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan  kepada ami Awod Maretan, akhuna Abdullah Batarfie dan akhuna Ady Amar yang tulus atas kritik, kegelisahan, dan refleksi yang disampaikan dengan penuh adab dan kecintaan kepada Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Saya sepenuhnya sepakat bahwa kritik tersebut telah menyentuh jantung persoalan organisasi, bukan sebagai tudingan, melainkan sebagai pengingat agar Al-Irsyad tetap setia pada amanat besar pendidikan, dakwah, dan sosial yang saling terhubung dan tidak boleh terpisah. Saya sungguh terharu membacanya, seperti ada embusan angin sejuk yang memberi ketenangan sekaligus semangat untuk kita Irsyadiin semua.

Perlu saya sampaikan bahwa sebagian dari hal-hal yang disoroti dalam kritik tersebut sejatinya telah dan sedang diupayakan dalam beberapa tahun terakhir. Upaya ini dilakukan setelah kita semua melalui fase hiruk-pikuk yang cukup panjang, melelahkan, dan menuntut energi besar untuk penataan ulang organisasi. Masa tersebut memaksa kita untuk lebih dahulu merapikan fondasi, memulihkan kepercayaan, dan membangun kembali irama kerja sebelum melangkah lebih jauh ke arah penguatan visi dan program strategis.

Kita juga perlu menyadari bersama bahwa proses berbenah dalam organisasi sebesar Al-Irsyad tidak dapat dilakukan secara instan. Ia membutuhkan waktu, kesabaran, kesinambungan, serta keterlibatan banyak pihak agar perbaikan yang dilakukan tidak bersifat reaktif atau tambal sulam, melainkan bertumbuh secara sehat dan berkelanjutan.

Seiring dengan itu, saya mengajak seluruh Irsyadiyyin untuk terus mengikuti, membaca, dan memperbarui informasi mengenai perkembangan Al-Irsyad melalui kanal resmi organisasi, khususnya website Al-Irsyad dan Suara Al-Irsyad (SAI) yang terbit secara berkala. Informasi tersebut kami harapkan tidak hanya dibaca, tetapi juga disebarkan dan didiskusikan secara sehat sebagai bagian dari ikhtiar kolektif membangun rumah besar kita bersama.

Seluruh kegelisahan, kritik, dan masukan yang disampaikan telah kami catat secara sistematis sebagai bahan evaluasi dan pijakan perbaikan ke depan. Ini merupakan wujud kesungguhan kami bahwa suara dari dalam rumah sendiri didengar, dihargai, dan akan ditindaklanjuti secara bertahap sesuai kapasitas dan prioritas organisasi.

Akhukum filllah al faqiir
Misri Gozan

Hamid Abud Attamimi

Al-Irsyad: Mundurkah atau Maju?. Oleh: Hamid Abud Attamimi.

Menikmati sebuah tulisan, sama seperti menyimak sebuah kajian, jika itu disajikan oleh seseorang yang tak cuma faham merangkai kata dan retorika, tetapi juga mengetahui betul tentang yang disampaikan, maka keindahannya jadi paripurna.

Kita tak akan merasa disamarkan, semata ketika kita 'menikmati keindahan mawar, tetiba tertusuk durinya'. Tak ada kepalsuan, apalagi pencitraan, jujur adalah bahasa akhlak dan itulah yang insyaa Allah selalu ingin kita kenakan kapan dan dimanapun.

Begitulah paling tidak yang ana rasakan ketika melahap kata demi kata dari tulisan saudara-saudara seperjuangan Awod Maretan, Abdallah Batarfie dan Ady Amar, semoga Allaah menjaga mereka semua dalam sehat dan Istiqomah.. aamiin.

Seperti menikmati Asyidah, sepiring bersama, apakah dengan tiga jari ditancapkan miring lalu dicelupkan di kawah Samin, atau memakai sendok, itu tentang selera, tapi kita sepakat asyidah itu harus dinikmati hangat.

Al-Irsyad Al-Islamiyyah itu Organisasi yang layaknya rumah (besar) bersama, ini penting dan telah lama kita sepakati, tak ada dari kita yang, begitu bangun dari tidur, langsung bikin analisa dan kesimpulan, bahwa Jum'iyyah ini identik dengan perusahaan keluarga, atau pengurus itu pemegang saham atau komisaris, apalagi arisan warga. Ini penting, sebab mindset awal menentukan cara kita mengelola Organisasi.

Al-Irsyad sesederhana apapun tetap Ormas, baik itu Pimpinan Cabang maupun Yayasan, masing-masing punya rezim hukum yang berbeda, dan kepatuhan pada aturan adalah syarat mutlak.Tak ada ruang untuk mengembangkan, apalagi memaksakan kepentingan pribadi, kecuali antum siap dikelompokkan pada kelompok 'otak dikit atau pea alias pendek akal'.

Apakah sekarang kita dalam kondisi mundur?Tentu mesti kita sepakati dulu apa parameternya, dan mulai kapan kita membuat rujukan penilaiannya.

Bahwa kita pernah nyaris diluluhlantakkan oleh segelintir petualang (akhir tahun 90an), yang menyusup, itu harus kita akui, bahkan menguras moril dan materil hingga berujung ke meja hijau.

Program Pendidikan, Da'wah serta Sosial Ekonomi pun belum mampu kita garap secara serius, sehingga seolah berjalan sporadis, tanpa arahan.

Jelas memang, kisruh internal ini membuat polarisasi Cabang yang tak pernah bisa dibayangkan sebelumnya. Mereka yang konon katanya lebih faham ayat dan hadits, justru memiliki keahlian khusus yaitu memalsukan fakta dan data, mengembangkan siasat dan intrik, tujuannya satu menyuburkan prasangka. Walaupun mereka telah terjerembab, tapi akibatnya masih terasa hingga kini, nyaris tiga dasawarsa kemudian.

Jika ini jadi parameter kemunduran, tentu tak bisa dipungkiri.

Namun perlu juga dikemukakan parameter lain sebagai pembanding. Semenjak pertengahan tahun 80-an, setelah berlakunya undang-undang Keormasan, Al-Irsyad mencapai masa kebesarannya dengan memiliki Cabang di semua Propinsi, padahal semula cuma di Jawa. Muktamar pun jadi serasa Kongres dari Ormas lain, punya greget, semarak, dan pernah dua kali dibuka oleh RI-1 di Istana.

Sebagai konsekwensi dari obesitas lembaga, maka kerja-kerja Pusat, Wilayah dan Cabang pun makin penuh dinamika, secara kualitatif dan kuantitatif .

"Menurut ana ini layak dimaknai sebagai kemajuan, karena dengan ini setiap elemen dalam Organisasi dituntut lebih profesional, transparan dan akuntabel". Naah..disinilah titik persinggungannya, sebab seharusnya perkembangan kuantitatif diimbangi dengan penguatan kualitatif.

Muktamar tak boleh terdegradasi cuma jadi ritual pemenuhan legalitas formal. Formasi kepengurusan seperti jejeran kartu identitas, dipenuhi nama,jabatan dan gelar, seakan popularitas nama dan jumlah gelar menjamin pengetahuan, pemahaman tentang Mabda Organisasi.

Inilah jurus 'dewa mabuk', kita seakan terkena Demensia Kolektif, apa yang kita alami dan belum jauh berlalu seakan kita lupakan. Para petualang yang dulu bermain petak umpet, notabene bukan orang baru, bagaimana mungkin lalu kita mau berspekulasi dengan 'tokoh' dari antah berantah.

Maka mundur ataupun maju memang penting disadari dan diakui, tetapi adalah jauh lebih penting untuk dimaknai bahwa dua kondisi di atas bukan 'awal sebuah akhir'.

Seperti yang diungkap Akhina Abdallah Batarfie, 'bukan kemunduran yang berbahaya, tetapi ketika kritik dianggap ancaman dan perbedaan dianggap musuh'.

Kemajuan pun jika diproyeksikan menjadikan Al-Irsyad sebagai Rumah Besar bagi 'satu kepentingan sempit' (meminjam istilah Akhina Ady Amar), maka Al-Irsyad akan menuju pada Dzulumaat atau kegelapan.

Seratus tahun, bahkan lebih, tak lah berkonotasi ada perbaikan yang sudah terlambat untuk dimulai. Pimpinan Pusat harus terdepan menunjukkan kedewasaan dalam mentaati aturan, karena kekuatan tak pernah bertumpu pada besarnya lembaga, tapi pada 'kesatuan hati'.

Jangan mengedepankan semangat menegasikan, tapi kenakan semangat musyawarah.

Al-Irsyad terlalu kerdil jika cuma meyakini Keputusan dan Ketetapan Muktamar adalah segalanya, satu padunya Pusat, Wilayah dan Cabang adalah ruh perjuangan Jum'iyyah, tak ada yang mustahil dikerjakan dan diwujudkan jika kebersamaan jadi niat dan tekad.

Perangkapan jabatan yang menggejala di Pusat, Wilayah dan Cabang, bagi ana, sesuatu yang amat menyesakkan, ketiadaan personal bukan alasan pembenar. Fungsi pengawasan yang merupakan bagian dari sehatnya Organisasi tidak akan berjalan jika perangkapan jabatan itu melingkupi wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai Pengawas dengan Yang diawasi, yang bertanggungjawab dengan yang menerima pertanggungjawaban.

Asas-asas profesionalitas, termasuk didalamnya kejujuran, keterbukaan, ketulusan, tidak haus penghormatan, adalah butir-butir emas yang sejak awal sudah diwariskan oleh Para Pendiri Organisasi ini. Hendaklah semuanya mengetahui! Bahwa setiap orang yang Ridha dengan jalan kita ini, yang kita yakini bahwa ia adalah jalan Allaah yang lurus, maka keridhaannya bukanlah tujuan kita. Dan orang yang menentangnya, maka penentangannya bukanlah tujuan dari kita....dan tidak ada yang penting bagi kita kecuali keridhaan Allaah." (Syaikh Ahmad Assurkati).

Tulisan Bang Hamid terasa seperti ajakan duduk sebentar, menyeruput kopi panas, lalu berpikir jernih bersama. Bahasanya tenang, tapi isinya menggigit, santai, tapi tak kehilangan arah. Analogi asyidah yang disajikan hangat itu *pas pisan,* caranya boleh beda, seleranya boleh beragam, tapi substansinya harus tetap dijaga. Di situ kekuatan tulisan ini, jujur, tak berisik, dan lahir dari kegelisahan yang matang, bukan dari hasrat menghakimi.

Saya sepakat, terutama ketika Bang Hamid menekankan soal cara kita memandang rumah besar bernama Al-Irsyad. Dalam konteks ini, penting juga dipahami relasi antara Yayasan di Cabang dan Pimpinan Cabang (PC). Keduanya memang satu kesatuan gerak, tetapi secara regulasi berdiri pada kedudukan hukum yang berbeda. Yayasan adalah badan hukum yang kokoh, diikat langsung oleh undang-undang negara, sementara PC adalah struktur organisatoris jum’iyyah. Mengaburkan perbedaan ini justru sering melahirkan salah paham dan konflik yang sebetulnya tak perlu.

Pemersatu sejati antara Yayasan dan PC bukanlah figur, apalagi kepentingan, melainkan ideologi jum’iyyah yang namanya Mabda. Tanpa Mabda, relasi itu kering dan rawan saling curiga. Dengan Mabda, perbedaan fungsi justru menjadi kekuatan.

Analogi sebuah imperium yang terlintas di benak saya kira relevan, sebuah bangsa membutuhkan benteng untuk menjaga kedaulatannya, itulah Yayasan, dengan gerbang hukum dan perlindungan regulasinya. Sementara Istana Raja adalah Pimpinan Cabang, pusat arah, visi, dan kepemimpinan. Benteng tanpa istana akan kehilangan makna, istana tanpa benteng mudah diserbu.

Di titik inilah tulisan Bang Hamid terasa penting, mengingatkan kita agar tak sibuk menakar mundur atau maju, tapi memastikan fondasi dan arah tetap sejalan. Selama Mabda dijaga, kritik dirawat sebagai vitamin, dan perbedaan dikelola dengan musyawarah, "asyidah" Al-Irsyad akan tetap hangat, tak basi, tak tumpah, dan tetap mengenyangkan bagi siapa pun yang menyantapnya dengan niat baik.

Ana uhibbukum fillah ya Habiby Bang Hamid Abud ; Abdullah Abubakar Batarfie

Awod Maretan (tengah)

AL-IRSYAD MAHJUUBUN BIL IRSYADIYYIN (2), oleh ; Awod Maretan

“Tak perlu memusingkan apa yang orang katakan tentangmu, jika engkau tahu bahwa apa yang mereka katakan tidak benar.” (Sayyid Rasyid Ridha)

Tulisan saya pada 15 Desember 2025 rupanya memperoleh respons yang luas dan perhatian dari sejumlah tokoh, orang-orang yang selama ini justru menjadi guru, tempat saya belajar, dan sosok yang saya kagumi. Atas respons tersebut, izinkan saya mengutip beberapa pandangan yang pada dasarnya sangat saya sepakati.

Abdullah Batarfie menegaskan ; “Pendidikan, dakwah, dan sosial bukanlah tiga agenda yang berdiri sendiri. Ketika salah satunya melemah, yang lain ikut pincang. Pendidikan tanpa dakwah kehilangan ruh, dakwah tanpa pendidikan kehilangan kedalaman, dan kerja sosial tanpa keduanya mudah terlepas dari visi besar.”

Ady Amar menyatakan ; “DNA Al-Irsyad adalah keberanian berpikir, berdialog, dan mempertemukan iman dengan kemajuan zaman.”.

Prof. Misri Gozan (Ketua I PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah) menegaskan ; “Saya sepenuhnya sepakat bahwa kritik tersebut telah menyentuh jantung persoalan organisasi.”

Mansyur Al-Katiri mengingatkan dengan tegas ; “Berpuas diri dengan kondisi yang ada hanya akan mempercepat keruntuhan.”

Sementara itu, al-Akh Hamid Abud merangkum seluruh kegelisahan ini dalam tulisannya berjudul “Al-Irsyad: Mundurkah atau Maju?”, seraya menekankan ; “Jangan mengedepankan semangat menegasikan, tetapi semangat musyawarah.”.

Di akhir tulisannya, beliau mengutip pula nasihat Syaikh Ahmad Surkati yang sangat mendasar ; “Tak ada yang penting bagi kita, kecuali keridhaan Allah.”

Saya tidak akan mengelaborasi satu per satu komentar tersebut. Namun, saya menyatakan sepakat sepenuhnya dengan seluruh pandangan yang disampaikan. Sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, dan dipertegas oleh Abdullah Abubakar Batarfie bahwa; "Pendidikan, dakwah, dan sosial bukanlah agenda yang berdiri sendiri. Jika satu melemah, yang lain pasti akan pincang".

Hal ini serupa dengan simbol Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah: jika satu unsur saja berubah atau diubah, maka berubah pula makna, ideologi, dan fondasi bangunan organisasi itu sendiri. Dan pada titik itulah, ia bukan lagi Al-Irsyad.

Saya pun sependapat dengan Ady Amar bahwa DNA Al-Irsyad adalah keberanian berpikir, berdialog, serta mempertemukan iman dengan kemajuan zaman. Sebagai organisasi tajdid, Al-Irsyad menjunjung tinggi peran akal, tentu harus tetap berada di bawah naungan Kitabullah, serta tidak terikat pada satu mazhab tertentu.

Namun, peringatan Mansyur Al-Katiri patut menjadi cermin bersama; berpuas diri dengan kondisi yang ada hanya akan mempercepat keruntuhan. Kesadaran ini dikuatkan pula oleh pernyataan Ar-Rais Prof. Misri Gozan bahwa ; kritik yang disampaikan memang telah menyentuh jantung persoalan organisasi.

Kritik yang menyentuh jantung persoalan organisasi, meminjam istilah Prof. Misri Gozan, harus dibaca sebagai peringatan agar Al-Irsyad tidak terjebak dalam rutinitas administratif semata, kehilangan daya refleksi, serta terasing dari denyut kader dan jamaahnya sendiri. Organisasi yang besar bukan yang paling sering memuji dirinya, melainkan yang paling jujur menilai kekurangannya.

Kepemimpinan dalam Al-Irsyad tidak cukup hanya kuat secara struktural, tetapi harus kokoh secara moral dan intelektual. Ia dituntut untuk mendengar sebelum memutuskan, merangkul sebelum menghakimi, serta membuka ruang musyawarah sebelum menutup pintu perbedaan. Tanpa itu, organisasi berisiko menjadi kaku, elitis, dan perlahan kehilangan kepercayaan kadernya.

Respons Prof. Misri ini mengingatkan saya pada keteladanan para tokoh senior yang pernah memimpin Jam’iyyah, sebut saja antaranya adalah Allahyarham Al-Ustadz Said Hilabi (Ketua Umum 1970–1982), Ami Geys Amar (1982–2000), Ustadz Abdullah Al-Jaidi (2006–2017), serta Ami Hussein Badjerei, guru dan sahabat saya (mantan Sekjen).

"Mereka memiliki satu kebiasaan yang patut dikenang, setiap berkunjung ke cabang-cabang, selalu menyempatkan diri bersilaturahim dengan para tokoh senior dan aktivis muda, termasuk saya".

Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah membutuhkan pemimpin, terutama Ketua Umum yang mampu merangkul semua kalangan dan memiliki sikap tawadhu. Organisasi sebesar dan sekompleks ini memerlukan figur-figur yang benar (amanah), pintar (cendekiawan), dan, bersedia meluangkan waktu dan tenaga sepenuhnya.

Mari kita jadikan Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, di seluruh cabangnya, sebagai rumah besar bersama bagi kemaslahatan Irsyadiyyin. Jadikan rumah besar itu tempat bersilaturahim, berkumpul, dan berdiskusi tentang persoalan organisasi dan umat.

Undzur ma qala wa la tandzur man qala.

Pekalongan, 17 Desember 2025
Awod Maretan

Posting Komentar untuk "Resonansi Mahjuubun Bil Irsyadiyyin"