Dari Cianjur ke Buitenzorg: Kisah Wiradinata, Bupati Pertama Bogor”

A Regent at Buitenzorg, 20 November 1811

Di antara kabut tipis yang kerap turun di lereng-lereng bekas kerajaan Pajajaran, sejarah Bogor tidak hanya ditopang oleh batu-batu tua, bangunan kolonial, atau hutan megah Kebun Raya. Ia juga ditopang oleh nama-nama manusia, tokoh-tokoh yang jejaknya kerap terselip di arsip-arsip kuno, ditelan waktu, namun tetap memancarkan pengaruh yang membentuk arah sebuah kota. Salah satu nama itu adalah Raden Adipati Wiradinata, lelaki bangsawan dari Cianjur yang kelak menjadi Bupati Bogor pertama. Dari tangan dan keluarganyalah, kota Bogor memasuki sebuah babak penting dalam sejarah administratif Hindia Belanda.

Tahun 1749 menjadi titik awal babak baru dalam perjalanan Bogor. Pada masa itulah Raden Adipati Wiradinata, putra Dalem Aria Wira Tanu Datar II, yang lebih dikenal sebagai, Pangeran Wiramanggala atau Mbah Tarikolot, diangkat sebagai Bupati Bogor pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda. Masa jabatannya berlangsung hingga 1758, tepat ketika pengaruh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem, Baron van Imhoff masih membayangi kebijakan-kebijakan kolonial di Nusantara.

Wiradinata datang dengan latar belakang bangsawan Priangan, dimana darah pemerintahan telah lama mengalir dalam keluarganya. Ia memimpin Bogor pada masa ketika wilayah itu mulai menggeliat sebagai pusat perkebunan, administrasi, dan kendali kolonial. Tak banyak catatan mengenai siapa garwa (istri) beliau, namun sejarah menyebutkan bahwa ia dianugerahi lima anak, semuanya kelak memainkan peran penting dalam urusan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Bogor pada era itu.

Kelima orang anak-anak Raden Adipati Wiradinata itu sebagaimana yang ditulis oleh Raden Idang Endang Suhendar dalam situsnya adalah ; 1.Raden Tumenggung Wiradireja, 2.Raden Tumenggung Panji atau Natadireja, 3.Nyi Raden Gandanagara, 4.Ngabehi Rakastjandra, dan yang terakhir 5.Raden Wangsatjandra. Merekalah yang kelak kemudian menjadi pewaris sang ayah untuk meneruskan denyut pengaruh keluarga Wiradinata di Bogor, sebuah pengaruh yang tidak hanya administratif, tetapi juga kultural dan sosial.

Ngabehi Rakastjandra: Mengelola Kampung Bogor pada 1752

Dalam perjalanan sejarah kota, nama Ngabehi Rakastjandra, anak keempat Wiradinata, tercatat dengan tinta yang tidak mudah terhapus. Pada 7 April 1752, ia menjabat sebagai Hoofd de Negorij Bogor, atau kepala Kampung Bogor, posisi penting yang mengawasi masyarakat pribumi di pusat kota.

Jabatan ini setara dengan seorang mandor kampung, namun lebih luas dalam otoritasnya: ia mengatur kehidupan sehari-hari, memastikan keamanan, memelihara tatanan sosial, hingga menjadi penghubung antara penduduk lokal dan pemerintah kolonial.

Menurut catatan Saleh Danasasmita, Kampung Bogor pada masa itu berada di sekitar Pasar Bogor, meliputi kawasan yang kini menjadi Taman Meksiko di Kebun Raya. Artinya, di sanalah pusat denyut kehidupan Bogor abad ke-18: wilayah perdagangan, permukiman, dan birokrasi bertemu.

Catatan mengenai Rakastjandra juga muncul dalam karya monumental Frederik de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder Het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (1910), sebuah buku pegangan bagi para peneliti sejarah Priangan. Di dalamnya disebutkan pula bahwa adiknya, Raden Wangsatjandra, pernah memegang jabatan yang sama, meski tahun masa jabatannya tak lagi tersimpan dalam arsip resmi. Nama yang tersisa hanya seperti gema, tapi cukup memberi jejak tentang pengaruh keluarga ini pada struktur awal pemerintahan Bogor.

Raden Tumenggung Panji (Natadireja): Patih Kampung Baru, 1749

Sementara itu, Raden Tumenggung Panji, putra kedua Raden Adipati Wiradinata, mengukir jalannya sendiri dalam sejarah. Dengan gelar Natadireja, ia tercatat sebagai Patih Kampung Baru pada 19 Desember 1749. Posisi patih pada masa itu bukan sekadar jabatan administratif; ia adalah tangan kanan penguasa lokal, pengatur strategi, sekaligus penjaga kelancaran roda pemerintahan.

Kampung Baru sendiri merupakan salah satu wilayah penting pada masa awal konsolidasi Bogor sebagai kota administrasi. Jabatan Natadireja sebagai patih menunjukkan bahwa keluarga Wiradinata tidak hanya memimpin satu titik, tetapi menyebar dalam jaringan pemerintahan yang lebih luas, mengokohkan posisi mereka dalam struktur sosial politik Bogor masa kolonial.

Warisan Keluarga Wiradinata dalam Sejarah Bogor

Riwayat keluarga ini menunjukkan bahwa sejarah Bogor bukan hanya tentang bangunan kolonial atau kebijakan VOC, tetapi juga tentang tokoh-tokoh lokal yang menjadi jembatan antara dunia pribumi dan kekuasaan kolonial. Mereka mengatur kampung, mengelola wilayah, dan memastikan stabilitas pada masa yang penuh perubahan dan ketidakpastian.

Nama-nama seperti Ngabehi Rakastjandra, Raden Wangsatjandra, dan Raden Tumenggung Panji adalah bagian dari lapisan pertama sejarah administratif Bogor, lapisan yang mungkin tipis dan sering luput, namun krusial untuk memahami bagaimana kota ini tumbuh pada pertengahan abad ke-18.

Dan di pusatnya berdiri seorang bupati pertama: Raden Adipati Wiradinata—fondasi dari sebuah perjalanan panjang yang kelak melahirkan kota Bogor seperti yang kita kenal sekarang.

Bogor, 20 November 2025

Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Dari Cianjur ke Buitenzorg: Kisah Wiradinata, Bupati Pertama Bogor”"