Tiga Daerah: Bara Revolusi dari Cerih yang Mengguncang Jawa Tengah (1945)
Delapan puluh tahun yang lalu, tepatnya 7 Oktober 1945, bara revolusi sosial pertama di Jawa Tengah menyala dari sebuah desa kecil bernama Cerih, Kecamatan Jatinegara, Tegal Selatan. Dari tempat yang tampak sunyi itu, riuh perubahan besar mengguncang tatanan lama. Di situlah awal mula Peristiwa Tiga Daerah, sebuah episode penting dalam sejarah Indonesia pasca-proklamasi yang kerap luput dari perhatian publik.
Pemantik awalnya tampak sederhana: Kepala Desa Cerih diturunkan secara paksa oleh rakyat. Ia diarak, dipermalukan di depan umum, lalu diantarkan ke kantor kecamatan dalam suasana penuh amarah. Namun di balik insiden itu tersimpan letupan ketegangan sosial dan politik yang telah lama terpendam, antara rakyat kecil, kaum bangsawan, serta aparat pangreh praja warisan kolonial.
Salah satu tokoh muda yang tumbuh dari tanah itu adalah MH Lukman, kelak menjadi orang kedua dalam Politbiro CC PKI 1965 setelah DN Aidit. Lukman adalah putra dari KH Mukhlas, seorang eks-Digulis, tanda bahwa darah perlawanan telah mengalir kuat dalam keluarganya.
Dari Cerih, arus perlawanan segera meluas ke Tegal, Brebes, dan Pemalang. Dalam waktu singkat, gelombang revolusi sosial menjalar di sepanjang jalur pantura bagian barat Jawa Tengah. Para pejabat kolonial dan feodal, bupati, wedana, camat, hingga kepala desa digulingkan dan digantikan oleh figur-figur baru yang berasal dari tiga arus besar ideologi: Islam, Sosialis, dan Komunis.
Gerakan ini tidak hanya sekadar perebutan kekuasaan administratif, tetapi juga pergeseran sosial besar-besaran. Ia mencerminkan hasrat rakyat bawah untuk menghapus ketimpangan yang diwariskan kolonialisme, namun di sisi lain juga memunculkan kekacauan yang sulit dikendalikan.
Selama lebih dari dua bulan, dari Oktober hingga 14 Desember 1945, Tegal dan sekitarnya berada dalam suasana revolusi sosial yang panas. Struktur pemerintahan di wilayah Karesidenan Pekalongan berubah total, dengan Sarjio, seorang tokoh komunis, tampil sebagai Residen Pekalongan.
Beberapa sejarawan mencatat, inilah pemberontakan PKI pertama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan Sukowati, Pemalang, menjadi markas utama gerakan bawah tanah PKI yang masih aktif pasca kemerdekaan.
Namun bara itu akhirnya padam setelah munculnya perlawanan dari kelompok Islam. Adalah Ismail Hasan Idris, tokoh muda karismatik yang juga seorang lulusan Madrasah Al-Irsyad Batavia asuhan langsung Syaikh Ahmad Surkati, yang tampil memimpin kekuatan Islam untuk memulihkan ketertiban. Ia bukan sosok sembarangan, Ismail adalah adik kandung dari Letkol Iskandar Idris, Komandan Resimen 17 TKR Pekalongan, yang juga merupakan alumni Al-Irsyad dan pernah menimba ilmu di bawah bimbingan langsung sang reformis besar dari Sudan itu.
Letkol Iskandar Idris sendiri sebelumnya ditawan oleh pasukan Tiga Daerah di Tegal pada 3 November 1945, menandakan betapa kompleks dan berbahayanya situasi waktu itu, di mana perjuangan melawan penjajah bercampur dengan perebutan pengaruh antar kekuatan dalam negeri.
Gerakan Tiga Daerah akhirnya dapat dihentikan pada 14 Desember 1945, ketika pasukan Islam dan unsur republik berhasil mengembalikan kendali pemerintahan ke tangan pusat. Namun jejak peristiwa itu meninggalkan luka sosial yang dalam sekaligus pelajaran berharga: bahwa revolusi bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan pertarungan ide dan keadilan yang menuntut kebijaksanaan dalam mengelola kemerdekaan yang baru lahir.
Bogor, 7 Oktober 2025
Rujukan : Catatan Bapak Agus Gunung, putera Ismail Hasan Idris dan dari berbagai sumber lainnya
Posting Komentar untuk "Tiga Daerah: Bara Revolusi dari Cerih yang Mengguncang Jawa Tengah (1945)"
Posting Komentar