Dari Serambi Surkati ke Ikrar Sumpah Pemuda: Jejak Para Pelajar JIB dalam Membangun Indonesia
"Dari serambi kecil tempat ilmu diajarkan, lahir semangat besar untuk memerdekakan manusia.”
Sejarah Indonesia adalah kisah panjang tentang keberanian anak muda yang menolak diam. Dari masa ke masa, pemuda selalu menjadi nyala pertama yang menembus gelap zaman. Mereka bukan penonton di tepi jalan sejarah, melainkan pelaku yang memahat arah bangsa dengan tenaga, darah, dan pikiran. Dalam setiap riak kebangkitan, dalam setiap denting perubahan, selalu ada langkah-langkah muda yang mengguncang keadaan.
Salah satu gema paling nyaring dari langkah itu bergema pada 28 Oktober 1928, hari ketika sekelompok anak muda dari berbagai penjuru Hindia Belanda mengikrarkan satu tekad untul bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, berbahasa yang satu, Indonesia. Sumpah Pemuda bukan sekadar seruan politik, melainkan pernyataan cinta yang lahir dari kesadaran kolektif, bahwa bangsa ini hanya dapat berdiri tegak bila perbedaan dirajut dalam satu cita.
Namun, ikrar itu tidak lahir dari ruang kosong. Di belakang layar sejarah, berdiri organisasi-organisasi pemuda yang menyiapkan ladang bagi tumbuhnya nasionalisme. Di antara mereka, ada satu wadah yang memadukan keislaman dan kebangsaan dengan jernih dan berani: Jong Islamieten Bond (JIB), yang berdiri pada 1 Januari 1925 atas prakarsa Raden Sjamsuridjal.
JIB adalah rumah bagi pelajar dan mahasiswa Muslim terdidik yang menolak membiarkan Islam dipisahkan dari semangat kebangsaan. Di ruang-ruang diskusi mereka, ayat-ayat suci bergaung berdampingan dengan cita kemerdekaan. Dari sinilah lahir generasi muda yang kelak menjadi pemimpin bangsa, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, AM Sangaji dan banyak lainnya, yang kelak membawa semangat JIB melampaui masa kolonial.
"Di balik pergerakan intelektual ini, bersemayam sosok ulama besar yang memberi arah dan ruh spiritual Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad. Dalam kalangan JIB, Surkati dikenal bukan sekadar guru, tetapi pembimbing ruhani, the spiritual teacher, bagi pemuda-pemuda Muslim yang tengah mencari keseimbangan antara iman dan modernitas. Ia menanamkan ajaran Qur’ani yang membebaskan: bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, dan bahwa penjajahan bukan hanya mengikat tubuh, tetapi juga membelenggu jiwa."
Suatu ketika, atas permintaan JIB, Surkati menulis risalah dalam bahasa Belanda berjudul Zedelaar Uit den Qor'an. Di pengantarnya, Kasman Singodimedjo, kala itu ketua JIB, menulis kata pembuka. Risalah itu menjadi bukti nyata bagaimana ajaran Islam dibumikan dalam bahasa ilmu dan peradaban, agar dapat dipahami dan dihormati oleh kalangan terdidik Hindia Belanda. Di tangan JIB, dakwah dan kebangsaan tidak berjalan di dua jalan yang terpisah, tetapi berpadu dalam satu arus besar: pembebasan manusia Indonesia dari segala bentuk penindasan.
Para pemuda JIB sadar, kolonialisme tidak hanya menguasai tanah dan sumber daya, tetapi juga memecah bangsa dengan sekat-sekat primordial, suku, ras, agama, dan status sosial. Maka JIB hadir sebagai jembatan yang mengatasi sekat itu. Mereka menolak nasionalisme sempit yang berakar pada kedaerahan. Di forum-forum JIB, mereka menyebut diri bukan lagi orang Minang, Jawa, atau Sunda, melainkan pemuda Islam Indonesia, bagian dari satu tanah air yang tengah mencari bentuknya sendiri.
Dalam Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928), JIB menjadi salah satu peserta yang aktif dan berpengaruh. Mereka membawa pandangan Islam yang terbuka dan universal, yang tidak menafikan perbedaan, tetapi justru menegaskannya sebagai kekuatan. Di situlah, di tengah riuh suara para pemuda dari berbagai organisasi, gagasan tentang “satu bangsa” menemukan maknanya yang paling dalam.
Sumpah Pemuda pun lahir dan dalam gema ikrar itu, terselip suara dari serambi kecil tempat Syaikh Ahmad Surkati mengajar para pelajarnya tentang kemerdekaan hakiki. Dari serambi itulah mengalir keyakinan bahwa iman dan kemerdekaan bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu napas perjuangan.
Kini, hampir seabad kemudian, ketika bangsa ini kembali menatap masa depan dengan segala tantangan barunya, semangat itu masih relevan: bahwa persatuan bukanlah penghapusan perbedaan, melainkan kesediaan untuk berdiri sejajar dalam cita yang sama. Dan sejarah mencatat, di antara tangan-tangan muda yang mengangkat ikrar itu, ada tangan-tangan yang pernah belajar pada seorang guru yang datang dari Hijaz, Syaikh Ahmad Surkati, ulama yang menyalakan lentera keislaman di dada para pemuda yang kelak menulis babak baru Indonesia.
 
.jpeg)

Posting Komentar untuk "Dari Serambi Surkati ke Ikrar Sumpah Pemuda: Jejak Para Pelajar JIB dalam Membangun Indonesia"
Posting Komentar