Societeit Buitenzorg, Sosialita Kaum Elit Eropa di Bogor


Pada pertengahan abad ke-19, ketika Buitenzorg (kini Bogor) masih menjadi salah satu kota peristirahatan favorit kaum elit Eropa di Hindia Belanda, muncul sebuah wadah sosialita yang menandai denyut kehidupan kosmopolitan di kota ini. Sebelum gedung Societeit Buitenzorg berdiri megah di persimpangan Groote Weg (kini Jalan Juanda) dan Bantam Weg (kini Jalan Kapten Muslihat), kaum bangsawan dan pejabat kolonial sudah memiliki perkumpulan eksklusif bernama Buitenzorgsche Wedloop Societeit.

Klub ini lahir pada tahun 1853, tahun yang sama ketika di Priangan berdiri Preanger Wedloop Societeit. Nama "Wedloop" sendiri berarti "pacuan," menandakan bahwa inti aktivitas mereka adalah penyelenggaraan pacuan kuda, olahraga sekaligus hiburan yang amat populer di kalangan orang Eropa kala itu. 

(Sumber dikutip dari situs Poestaha Depok ; Sejarah Bogor (14) : Buitenzorgsche wedloop Societeit, Inspirasi Terbentuknya Organiasasi Sicieteit di Buitenzorg). 

Di Preanger Wedloop Societeit, jabatan presiden dipegang oleh C. van der Moore, Residen Priangan. Sedangkan di Buitenzorg, posisi prestisius itu dipercayakan kepada seorang tokoh bangsawan Eropa yang juga memiliki akar kuat di tanah Priangan, yakni F.H.C. van Motman. Sosok ini berasal dari keluarga Van Motman yang memang melegenda sebagai tuan tanah kaya raya di wilayah Bogor dan sekitarnya.

Frederik Hendrik Constant van Motman atau F.H.C. van Motman, lahir di Buitenzorg 21 Juli 1809, adalah salah satu anggota keluarga Van Motman yang paling menonjol dalam sejarah Buitenzorg. Untuk memusatkan urusan administrasi dan mengawasi ribuan hektar perkebunannya, ia membangun sebuah landhuis megah di kawasan Semplak. Dari sinilah roda perkebunan kopi, teh, dan kina yang menjadi sumber kekayaan keluarga Van Motman dijalankan dengan tertib dan penuh perhitungan.

Namun, berbeda dengan kerabatnya J.G.T. van Motman yang dikenal lebih konservatif, F.H.C. menjalani kehidupan yang jauh lebih berwarna. Ia digambarkan sebagai seorang bon vivant—istilah Prancis bagi mereka yang mencintai kesenangan hidup. Pesta, musik, makanan lezat, dan segala bentuk kemewahan menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya.

Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai seorang womenizer, penggoda wanita yang kerap menjadi buah bibir kalangan kolonial maupun pribumi. Sosoknya memadukan dua sisi yang kontras: seorang administrator perkebunan yang cekatan di siang hari, sekaligus pria flamboyan yang gemar menyalakan gemerlap malam dengan gaya hidup glamornya.

Kisah hidupnya berakhir di Tjiandoer Saketi, Pandeglang Banten pada 19 September 1889. Kepergiannya meninggalkan jejak kisah yang tak kalah dramatis dibanding kehidupannya. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Van Motman di Djamboe, tempat peristirahatan terakhir para anggota dinasti tuan tanah legendaris itu. Dengan kepergiannya, berakhir pula satu babak flamboyan dari saga panjang keluarga Van Motman di tanah Priangan dan Buitenzorg.

Buitenzorgsche Wedloop Societeit kemudian membangun lapangan pacuan kuda di kawasan Air Mancur, tepat di mana kini berdiri Stadion Pajajaran. Arena itu menjadi pusat hiburan elit setiap akhir pekan. Dentuman sepatu kuda yang beradu dengan tanah, sorak-sorai penonton, dan arak-arakan kereta kuda menghiasi wajah Bogor tempo doeloe. Tidak hanya warga Eropa, sejumlah kaum priyayi pribumi pun kadang hadir, sekadar menjadi penonton atau tamu kehormatan.

Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi perkumpulan sosialita ini berkembang lebih luas. Kaum elit Eropa mulai merasa perlu memiliki tempat yang lebih permanen, bukan hanya arena pacuan terbuka, melainkan gedung representatif yang bisa mewadahi berbagai kegiatan sosial.

Keinginan itu akhirnya terwujud pada 1885, ketika Gedung Societeit Buitenzorg diresmikan. Letaknya sangat strategis, berlokasi di hook persimpangan besar, antara Groote Weg dan Bantam Weg. Dari luar, gedung ini memancarkan aura wibawa kolonial dengan arsitektur neoklasik, seperti pilar-pilar tinggi, jendela besar, dan serambi luas tempat para tamu dapat bercengkerama sambil menikmati suasana malam Buitenzorg yang sejuk.

Di dalamnya, Societeit Buitenzorg menjadi pusat hiburan dan kegiatan sosial kelas atas. Ada ruang dansa tempat para nyonya dan noni berputar mengikuti irama musik waltz, ada panggung musik untuk orkestra kecil, hingga ruang makan tempat jamuan resmi digelar. Di sinilah pesta-pesta perkawinan, perayaan ulang tahun, atau sekadar pertemuan mingguan kaum elit berlangsung.

Bataviaasch Nieuwsblad edisi 12 September 1890 mencatat suasana perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang digelar di Societeit Buitenzorg. Gedung itu dihias bendera dan lampion, diiringi musik dansa hingga larut malam. Catatan serupa juga muncul di De Locomotief yang beberapa kali melaporkan pertemuan pejabat dan pesta sosial di Buitenzorg, lengkap dengan orkestra, dansa, serta jamuan makan malam. Dari arsip-arsip inilah kita tahu bahwa Societeit benar-benar menjadi panggung utama kehidupan kolonial di Bogor.

Tak hanya hiburan, Societeit ini juga memiliki misi sosial. Ia berafiliasi dengan pemerintah kolonial dalam menyelenggarakan kegiatan amal, mendukung proyek sosial, dan menyokong berbagai inisiatif publik. Namun, di balik tujuan "sosial" itu, sejatinya Societeit tetap menjadi simbol eksklusivitas Eropa, sebuah ruang di mana batas sosial antara penjajah dan pribumi ditegaskan.

Sumber ; Bapak Nugroho Mulyo 
di Facebook Bogor Heritage 

Bagi orang-orang di Buitenzorg, Societeit bukan sekadar gedung, melainkan panggung simbolis yang memperlihatkan siapa yang berkuasa, siapa yang boleh masuk, dan siapa yang hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Lampu-lampu kristal yang menyala terang di malam hari, denting piano dari ruang dansa, serta kereta kuda yang berjajar di depan gedung menjadi pertunjukan tersendiri bagi masyarakat pribumi yang melintas.

Di sinilah elit Eropa berbaur dalam dunia mereka sendiri, dunia yang mewah, penuh aturan etiket, namun sekaligus terpisah dari denyut rakyat banyak.

Waktu terus bergulir. Setelah Proklamasi 1945, suasana sosial politik Indonesia berubah drastis. Bangunan-bangunan kolonial perlahan kehilangan pamornya, termasuk Societeit Buitenzorg. Pada awal 1950-an, gedung ini masih digunakan untuk berbagai acara resmi maupun hiburan. Namun, arus politik nasional membawa arah berbeda.

Selepas Indonesia merdeka, eks gedung Buitenzorg Societeit yang saat itu sudaj dikenal luas sebagai "Gedung Nasional", ternyata masih sempat berdenyut, meski tak lagi menjadi arena eksklusif kaum Eropa. Pada awal tahun 1950-an, bangunan kolonial yang megah itu justru menjadi saksi sebuah peristiwa unik, perayaan Hari Kemerdekaan Pakistan (National Day) yang diadakan oleh warga dan masyarakat keturunan Pakistan di Bogor.

Hanya beberapa tahun setelah Pakistan resmi lepas dari Inggris (1947), tiga tokoh komunitas Pakistan di Bogor, Allahdad Khan, Abdul Kadir, dan Abdul Azis Mawn, berinisiatif menggelar perayaan tersebut. Bagi mereka, ini bukan sekadar pesta tahunan, melainkan sebuah cara untuk menunjukkan jati diri, sekaligus merajut silaturahmi dua negara yang bersahabat erat, Indonesia-Pakistan.

Yang menarik, perayaan itu tidak hanya dihadiri oleh warga keturunan Pakistan semata. Gedung bekas Societeit malam itu dipenuhi beragam kalangan, dari perwakilan konsulat Pakistan di Indonesia, para pejabat Indonesia, tokoh dan masyarakat keturunan Arab di Bogor, hingga warga pribumi yang datang dengan antusias. Suasananya mencerminkan semangat persaudaraan yang melintasi batas etnis dan negara.

Kemeriahan semakin terasa ketika satuan drum corps dari Kepanduan Al-Irsyad cabang Bogor ikut memeriahkan acara. Dentuman drum dan tiupan terompet dan seruling, menggema di aula yang dulu menjadi panggung dansa kaum kolonial, kini justru berubah menjadi arena persatuan yang berjiwa Asia.

Bagi banyak orang, momentum itu terasa simbolis: sebuah bangunan yang dulunya menandai batas sosial dan eksklusivitas Eropa, kini justru menjadi ruang terbuka tempat berbagai komunitas merayakan kemerdekaan dan solidaritas bangsa-bangsa yang baru lahir.

Kebijakan nasionalisasi pada era Presiden Sukarno mengubah wajah kota. Gedung-gedung yang dahulu menjadi lambang kejayaan kolonial diambil alih negara. Societeit Buitenzorg yang pernah menjadi simbol kehidupan malam kaum elit Eropa akhirnya menemui nasib tragis. Ia tidak dipertahankan sebagai cagar budaya, melainkan diratakan dengan tanah.

Kisah Societeit Buitenzorg tidak berhenti setelah dinding-dinding kolonialnya runtuh. Presiden Sukarno, dengan visi besar membangun wajah baru Indonesia, melihat lokasi bekas Societeit itu sebagai lahan strategis. Di atas tanah kosong yang dulunya simbol eksklusivitas Belanda, Sukarno merencanakan berdirinya gedung megah bergaya Indonesia, monumen modern yang sekaligus menandai berakhirnya dominasi kolonial.

Untuk mewujudkan mimpi itu, Sukarno menunjuk arsitek kepercayaannya, Friedrich Silaban, perancang Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. Silaban mulai menggagas rancangan gedung bercorak monumental, dengan langgam arsitektur modern namun berjiwa Indonesia. Ia membayangkan sebuah bangunan yang bukan hanya indah, tetapi juga mampu menandingi simbol kolonial di masa lalu.

Blueprint hasil rancangan F.Silaban
sumber Bapak Nugroho Mulyo di Facebook Bogor Heritage

Sayang, rencana itu tak pernah terwujud. Berbagai faktor, mulai dari keterbatasan dana, gejolak politik, hingga prioritas pembangunan lain, membuat proyek tersebut terhenti di atas kertas. Lahan eks-Societeit pun sempat pernah kosong, seakan menjadi “tanah hampa” yang menyimpan bayangan utopia arsitektur Sukarno. Hingga akhirnya berubah bentuk tanpa sentuhan nilai seni pada bangunannya sedikitpun, menjadi sederetan gedung berkotak-kotak untuk perkantoran dan Bank sebagaimana wajahnya yang sekarang. 

Bagi sebagian orang, kehancuran itu berarti lenyapnya simbol kolonialisme yang selama puluhan tahun menegaskan kesenjangan sosial. Namun bagi yang lain, itu adalah hilangnya satu lagi saksi bisu perjalanan sejarah kota Bogor.

Kini, tak ada lagi jejak fisik gedung megah Societeit di persimpangan Jalan Juanda dan Kapten Muslihat. Namun, kisahnya tetap hidup dalam ingatan sejarah kota Bogor, kisah tentang sebuah perkumpulan sosial yang lahir dari budaya pacuan kuda, berkembang menjadi pusat kehidupan elit kolonial, lalu runtuh dalam gelombang nasionalisme.

Sejarah Societeit Buitenzorg mengajarkan bahwa setiap bangunan bukan sekadar tumpukan batu dan pilar, melainkan cermin dari sebuah zaman. Dari gemerlap lampu dansa kolonial hingga keputusan merobohkannya di era Sukarno, ia merekam pergeseran wajah Bogor, dari kota peristirahatan kaum Eropa menjadi kota yang mencari jati dirinya dalam republik merdeka.

Bogor, 23 September 2025

Abdullah Abubakar Batarfie



Posting Komentar untuk "Societeit Buitenzorg, Sosialita Kaum Elit Eropa di Bogor "