H. Mohammad Farid Ma’ruf, Murid Al-Irsyad yang menjadi Ulama dan Pejuang Bangsa
K. H. Mohammad Farid Ma’ruf, Lc., adalah seorang ulama, pendidik, sekaligus politikus yang menorehkan jejak penting dalam sejarah Indonesia. Ia pernah menduduki posisi Menteri Urusan Haji dalam Kabinet Dwikora I hingga III di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, menjelang akhir kekuasaan Orde Lama.
Farid lahir pada Rabu, 25 Maret 1908 di Kampung Kauman, Yogyakarta, sebuah lingkungan religius yang menjadi basis awal Muhammadiyah. Ia adalah putra pasangan Mohammad Ma’ruf dan Siti Djuariah, dan sejak kecil tumbuh dalam suasana rumah yang kental dengan nilai keislaman. Dari ayah dan lingkungannya ia menyerap kecintaan pada ilmu dan pergerakan Islam modernis.
Sejak dini, Farid sudah diarahkan untuk memperdalam agama. Ia sempat menjadi santri di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Namun, ayahnya menginginkan anaknya tidak hanya kuat dalam tradisi pesantren, tetapi juga mampu menapaki pendidikan modern. Karena itu, Farid kemudian dikirim ke madrasah ibtidaiah dan selanjutnya ke sekolah-sekolah Al-Irsyad, mula-mula di Pekalongan, lalu Batavia.
Di Al-Irsyad Batavia, ia mengalami masa yang membentuk kepribadiannya secara mendalam. Setiap pagi ia berjalan kaki menembus jalan-jalan berdebu Batavia, menyandang kitab dan buku catatan sederhana. Sesampainya di sekolah, ia duduk berbaur dengan kawan-kawannya, anak pedagang kecil, hingga anak saudagar. Tidak ada bangku khusus, tidak ada gelar kebangsawanan yang dibanggakan, semua sejajar di hadapan ilmu. Suasana kelas yang bersahaja itu justru membuatnya tumbuh dengan keyakinan bahwa kemuliaan bukan datang dari nasab atau kekayaan, melainkan dari ilmu dan adab, sebagaimana selalu ditekankan oleh gurunya, Syaikh Ahmad Surkati.
Surkati bukan sekadar pengajar, melainkan teladan. Dengan suara tenang namun tegas, ia menguraikan tafsir, fikih, dan ilmu bahasa Arab. Ia sering menutup pelajaran dengan nasehat, nukilan dari syairnya "al-Ummahatul Akhlaq": “Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab. Dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal.” Kata-kata itu selalu melekat di hati Farid muda.
Farid dikenal tekun. Ia sering duduk lebih lama selepas pelajaran usai, menyalin catatan bagi teman yang belum sempat menulis, atau berdiskusi hangat tentang kabar politik yang mereka dengar dari koran. Ia rajin menanyakan hal-hal sulit, bahkan berani mengajukan sanggahan yang membuat kelas terhenti sejenak. Surkati tersenyum tiap kali itu terjadi, baginya, keberanian bertanya adalah tanda jiwa yang merdeka.
Melihat kecemerlangannya, Surkati kemudian memberinya saran agar Farid melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Kepercayaan itu bukan perkara kecil, sebab hanya murid-murid pilihan yang mendapat kesempatan demikian. Dari sinilah terbentang jalan panjang yang akan menuntun Farid pada kiprah besar sebagai ulama dan tokoh bangsa.
Di Mesir, Farid tidak hanya menuntut ilmu tetapi juga mengasah bakat kepenulisannya. Ia menjadi wartawan di surat kabar Al-Balagh dan Seruan Al-Azhar, sambil mengirimkan tulisan ke tanah air melalui Harian Adil dan Suluh Rakyat Indonesia. Ia pun aktif di Perhimpunan Indonesia Raya (PIR), bersama Abdul Kahar Muzakir, untuk menyalakan semangat kebangsaan di kalangan pelajar Indonesia di perantauan.
Farid Ma’ruf pun tumbuh sebagai sosok yang bersemangat mengenalkan perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan kolonialisme Barat. Baginya, kemerdekaan bukan sekadar cita-cita politik, melainkan bagian dari harga diri umat. Ia melihat bahwa apa yang dialami bangsanya sejatinya juga dialami oleh banyak negeri Islam lain, terjajah, diperas, dan dipinggirkan di tanah sendiri. Dari gurunya, Syaikh Ahmad Surkati, ia menyerap api perlawanan itu, bahwa anti-kolonialisme bukan hanya sikap politik, melainkan ruh dari Pan-Islamisme dan denyut gerakan pembaruan Islam yang Surkati bawa ke tanah Jawa.
Di ruang kelas Al-Irsyad, dari balik dindingnya yang kokoh, Farid sering mendengar gurunya, Syaikh Ahmad Surkati, berbicara dengan nada tegas namun penuh ketenangan. Surkati menanamkan bahwa penjajahan adalah wajah paling nyata dari ketidakadilan. Ia mengingatkan murid-muridnya bahwa Islam datang untuk memuliakan manusia, bukan untuk membiarkan satu bangsa menindas bangsa lain. Kata-katanya kerap menyala seperti api, membawa semangat Pan-Islamisme dan ruh pembaruan yang menolak segala bentuk penindasan.
Sekembalinya ke tanah air, Farid terjun dalam dunia pendidikan dan dakwah. Ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Umum Muhammadiyah, penasihat bidang pendidikan (1968–1971), serta menjadi Rektor pertama IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (1960–1971). Dalam politik, ia menjabat sebagai Menteri Urusan Haji dalam Kabinet Dwikora. Namun di mana pun ia berada, jejak Al-Irsyad tetap kental dalam dirinya: keberanian bersuara, keutamaan akhlak, dan pengabdian pada bangsa.
Dalam sebuah pidatonya yang dimuat Majalah Kiblat No. 2 (XIII/1988), KH Farid Ma’ruf berkata: “Negara Republik Indonesia yang kita cita-citakan, yang bermasyarakat adil dan makmur, harus dipimpin, dipegang, dan ditempati oleh orang yang berakhlak mulia.” Ucapan ini seakan menggemakan kembali pesan gurunya, Surkati, bahwa kepemimpinan tanpa akhlak hanyalah kesia-siaan.
KH Farid Ma’ruf wafat pada Jumat, 6 Agustus 1976, setelah menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih, Jakarta. Ia berpulang pada usia 68 tahun, dimakamkan di TPU Tanah Kusir bersama istri dan putra sulungnya. Pemerintah sempat menawarkan makam pahlawan di Kalibata, namun keluarga memilih Tanah Kusir sebagai tempat peristirahatan terakhir.
Ia meninggalkan warisan besar, seorang murid Al-Irsyad yang dengan setia membawa nilai-nilai gurunya dalam pendidikan, politik, dan dakwah. Dari ruang kelas sederhana di Batavia, lahirlah seorang pemimpin bangsa yang teguh, ulama-intelektual yang berani bersuara, dan pendidik yang mencerdaskan generasi. Namanya menjadi bukti bahwa Al-Irsyad bukanlah sekolah untuk menjaga “Arabitas”, melainkan sekolah yang menyalakan cahaya ilmu dan akhlak bagi anak-anak bangsa, agar mereka kelak menjadi pemimpin Indonesia sejati.
Abdullah Abubakar Batarfie
- Wikipedia, Farid Ma'ruf (ulama)
- KH. Farid Ma’ruf: Negara Kita Harus Dipimpin oleh Orang yang Berakhlak Mulia - Indonesiainside.id
- Kisah Kiai Farid Ma’ruf, dari Cuci Piring di Mesir sampai Promosi Perjuangan Indonesia di Arab - Muhammadiyah.or.id
Posting Komentar untuk "H. Mohammad Farid Ma’ruf, Murid Al-Irsyad yang menjadi Ulama dan Pejuang Bangsa"
Posting Komentar