Jangan Mengaburkan Proklamasi: Menjawab Gagasan “Hari Republik” 18 Agustus


Pernyataan Prof. Dr. Anhar Gonggong yang dikemukakannya dalam kanal resmi Youtube Anhar Gonggong Official, dia menyarankan agar tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan sebagai Hari Republik, karena, menurutnya 17 Agustus hanyalah “deklarasi kemerdekaan sebagai bangsa”, patut disimak sekaligus dikritisi secara serius. Usulan ini, jika dibiarkan, bukan hanya berpotensi menimbulkan kekaburan sejarah, tetapi juga bisa menciptakan “matahari kembar” dalam narasi berdirinya Republik Indonesia. Di tengah upaya bangsa ini menjaga ingatan kolektif tentang momentum penting sejarah kemerdekaan, ide seperti ini justru mengundang tanda tanya? apakah kita akan membelah satu momen sejarah menjadi dua hari peringatan dengan klaim yang sama-sama monumental? Atau lebih jauh, apakah kita siap mereduksi makna proklamasi 17 Agustus menjadi sekadar “pengumuman” yang belum memuat dimensi kenegaraan?

Secara historis, proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 bukan hanya pernyataan bebas dari penjajahan. Naskah singkat itu, terdiri dari dua kalimat, memuat bobot politik, hukum, dan simbolik yang amat besar. Kalimat pertama, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia,” adalah penegasan de jure bahwa bangsa ini berdiri sendiri, terlepas dari segala ikatan dengan kekuasaan kolonial. Kalimat kedua, “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” adalah pengakuan bahwa sejak detik itu juga kekuasaan atas negeri ini berada di tangan bangsa sendiri dan konsekuensinya, memerlukan sistem pemerintahan yang mengelola kekuasaan tersebut. Dengan demikian, proklamasi bukan sekadar declaration of independence dalam pengertian sempit, melainkan sekaligus pembukaan pintu berdirinya sebuah negara berdaulat. Sejak saat itu, baik status bangsa maupun status negara Indonesia telah lahir dalam satu tarikan napas sejarah.


Adapun peristiwa 18 Agustus 1945, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, memilih presiden dan wakil presiden, serta membentuk pemerintahan, hanyalah konsekuensi logis dari proklamasi sehari sebelumnya. Tanpa proklamasi, tidak akan ada legitimasi bagi PPKI untuk mengambil keputusan pada 18 Agustus. Ibarat membangun rumah, 17 Agustus adalah saat batu pertama diletakkan dan kepemilikan tanah dinyatakan sah di mata dunia, sedangkan 18 Agustus adalah pekerjaan membangun dinding, atap, dan menata ruangan. Keduanya berhubungan erat, tetapi yang melahirkan segalanya tetaplah momen proklamasi.

Mengangkat 18 Agustus sejajar dengan 17 Agustus sebagai tonggak kelahiran negara akan menciptakan pemisahan artifisial antara lahirnya bangsa dan berdirinya negara. Padahal, dalam konteks Indonesia, keduanya menyatu. Risiko yang timbul adalah terbentuknya narasi ganda yang membingungkan publik. Bayangkan generasi mendatang bertanya, “Hari lahir Republik Indonesia itu 17 atau 18 Agustus?” Jawaban “keduanya” akan melemahkan kesakralan proklamasi dan mengaburkan kesinambungan peristiwa sejarah. Lebih buruk lagi, hal ini dapat membuka ruang tafsir politik baru yang memecah makna kemerdekaan.

Sejarah dunia menunjukkan bahwa tidak ada negara yang memisahkan hari lahir bangsa dari hari lahir negara jika keduanya lahir dari momen politik yang sama. Amerika Serikat, misalnya, merayakan 4 Juli 1776 sebagai Independence Day, meskipun konstitusi mereka baru berlaku pada 1789. India merayakan 15 Agustus 1947 sebagai Hari Kemerdekaan, walaupun konstitusinya baru disahkan pada 26 Januari 1950. Mereka tidak merasa perlu menetapkan dua hari besar yang sejajar untuk menandai lahirnya negara. Mengapa Indonesia harus mengambil langkah yang justru melemahkan narasi tunggal proklamasi?

Di titik ini, autokritik bukan hanya untuk Prof. Dr. Anhar Gonggong, tetapi juga untuk kita semua sebagai bangsa. Mengapa kita sering tergoda untuk memodifikasi simbol sejarah yang sudah mapan, alih-alih memperkuatnya? Apakah ini tanda bahwa kita gagal menjaga konsensus sejarah yang telah dibangun para pendiri bangsa? Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu momen yang memuat segalanya: kemerdekaan bangsa, berdirinya negara, dan mandat membentuk pemerintahan. Menciptakan hari besar baru yang berdiri sejajar hanya akan membuat sejarah kita kehilangan titik pusatnya.

Sejarah bukanlah ruang kosong yang bisa diisi sesuka hati, melainkan alur yang harus dijaga kesinambungannya. 17 Agustus 1945 adalah titik kulminasi perjuangan dan awal dari segala yang kita miliki hari ini sebagai sebuah bangsa dan negara. Mengaburkannya dengan menempatkan 18 Agustus sebagai “hari lahir Republik” bukan hanya ahistoris, tetapi juga melemahkan daya kohesi simbolik yang kita warisi. Lebih bijak bagi kita untuk menjaga 17 Agustus sebagai satu-satunya mercusuar sejarah kemerdekaan, agar generasi mendatang tidak kehilangan arah dalam membaca masa lalu bangsanya.

Bogor, 9 Agustus 2025

Posting Komentar untuk "Jangan Mengaburkan Proklamasi: Menjawab Gagasan “Hari Republik” 18 Agustus"