Syaikh Umar Manggusy, pembela Al-Irsyad nomor wahid






Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy, Kapiten Arab, tokoh kunci dibalik berdirinya Al-Irsyad

Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy, Kapiten Arab di Betawi dikenal sebagai seorang tokoh yang memegang peran penting dalam lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, ia adalah figur yang patut dikenang dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Namun, sebelumnya, mari kita jelajahi sedikit tentang asal-usul nama "Kapitein" yang melekat pada namanya.

Kapiten Arab adalah gelar yang diberikan kepada kepala golongan orang-orang Arab di Betawi pada masa Hindia Belanda, kedudukan tersebut pada masa itu disebut pula dengan sebutan Hoofd der Arabieren van Batavia. Sebagai pemimpin koloni, mereka memiliki peran penting dalam perdagangan dan kegiatan sosial di wilayah tersebut. Gelar ini mencerminkan posisi otoritas dan pengaruhnya dalam mengelola urusan komunitas Arab serta menjaga hubungan dengan pemerintah Belanda. Sebagai tokoh yang dihormati dan diakui, Kapiten Arab atau Kapitein der Arabieren memiliki tanggung jawab besar dalam mempertahankan kepentingan dan identitas budaya komunitas mereka di tengah tekanan kolonialisme Hindia Belanda.

Pengangkatan Syaikh Umar Manggusy sebagai Hofd der Arabieren ini, terkait erat dengan pemberlakuan hukum tata negaranya yang hanya mengakui tiga kategori individu di negeri jajahannya, yaitu Europeanen merujuk pada orang Eropa, Vreemde Oosterlingen kepada orang Asia dan Timur Tengah yang bukan warga negara Belanda atau keturunan Eropa, sedangkan Inlanders mengacu pada penduduk asli atau pribumi setempat. Sistem ini mencerminkan hierarki sosial dan politik yang didominasi oleh orang Eropa di atas orang asing dan penduduk asli. Manggusy resmi menduduki jabatan itu dari sejak 1902 sampai dengan 1931.

Berkembangnya komunitas imigran dari Hadramaut, terutama di Batavia, yang dikenal sebagai Hadrami, menjadi perhatian dalam hukum kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1844, diperkenalkanlah wijkenstelsel untuk mengatur kehadiran mereka secara ketat, memisahkan mereka dari Inlanders dan kelompok etnis lainnya. Namun, upaya ini gagal memisahkan golongan Arab dari Inlanders, karena golongan Arab telah menjadi bagian dari masyarakat pribumi dan dan Inlanders yang berkonotasi rendah dimata orang eropa, justru bagi golongan Arab mereka adalah saudara, baik secara idiologis (agama, Islam) maupun biologis dengan memunculkan penyebutan istilah "ahwal", yang berarti saudara seibu. Bagi mereka, konsep saudara lebih kuat daripada perbedaan etnis, Arab Hadrami datang menikahi wanita-wanita pribumi dan telah mengukuhkan ikatan kokoh antara komunitas Arab dan pribumi.

Meski demikian, tidak sedikit perlakuan diskriminatif penguasa penjajah pada warga koloni Arab, selain sulit memberikan kelonggaran pada pemberian pas jalan, surat izin berpergian saat diajukan, juga sikap kasar pada para pemimipin Arab dan warganya oleh para pejabat Belanda. Sikap kasar itu pernah di alami Syaikh Umar Manggusy, Kapiten Arab Batavia.

Sikap dan tindakan para pejabat Belanda terhadap orang-orang Arab itu ditulis oleh seorang orientalis yang menjadi penasehat untuk urusan pribumi dan Arab, Proffessor Snouck Hurgronje;

"Hugronje melaporkan bahwa banyak pejabat muda kolonial dianggap sebagai Arab-fresser (pemakan Arab) dalam hal penerbitan surat jalan pergi antar kota. Mereka cenderung lebih lunak terhadap orang Tionghoa, tetapi bersikap keras terhadap orang Arab karena berbagai prasangka yang ada".

Melalui esai-esainya, Hugronje menggambarkan bagaimana orang Hadhrami seringkali dicap sebagai orang yang suka memeras, berprilaku ribawi, tidak bermoral, dan menipu. Namun, ia membantah pandangan tersebut berdasarkan hasil pengamatannya.

Selain menolak prasangka tersebut, Hugronje juga tidak ragu untuk mengkritik pemerintah, seperti yang dilakukannya dalam surat yang dikirimkannya pada tahun 1902 kepada Gubernur Jenderal. Snouck mengkritik Van Raadshoven karena perlakuan kasarnya terhadap Syaikh Oemar Mangoes, kapitan Arab di Batavia, serta residen Batavia terhadap kapitan Arab dan tokoh masyarakat lokal.

Hugronje mengembangkan analisisnya tidak hanya pada isu-isu episodik, tetapi juga pada politik orang Arab dan Islam di Hindia Belanda. Orang Arab-Hadhrami sering mencari dukungan dari Kesultanan Ottoman untuk melawan diskriminasi kolonial Belanda karena Kesultanan Ottoman dianggap sebagai pembela kepentingan orang Timur-Tengah dan umat Islam secara global, hal itulah yang seringkali menjadi pemucu tuduhan Belanda tentang orang-orang Arab Hadrami sebagai agen Pan-Islamisme yang dianggap berbahaya dan mengancam eksistensi setiap bentuk kolonialisme di tanah jajahan mereka, termasuk Belanda di Indonesia.

Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy dapat dikatakan sebagai tokoh kunci dibalik berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada 6 September 1914 di Batavia, meskipun namanya tidak pernah tercatat sebagai pengurus ketika organisasi itu pertama kali didirikan hingga di akhir hayatnya. "Batavia adalah nama lain dari Jakarta yang resmi dipakai pada masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, nama itu kemudian berubah setelah kemerdekaan menjadi Jakarta. Tapi warga setempat lebih memilih Betawi sebagai nama rumpun masyarakatnya. Menurut sejumlah sumber, bisa jadi kata itu akibat terplesetnya lidah orang Betawi yang sering kali sulit mengucapkan kata asing, Batavia diucapkannya dengan Betawi".

Sebagai kepala orang-orang Arab, Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy adalah Kapitein Arab yang paling tanggap dan cepat dalam mengambil tindakan disetiap permasalahan yang muncul pada warga koloninya. Demikian pula ketika ada angin berhembus yang mengisyaratkan adanya isu tak sedap tentang posisi Syaikh Ahmad Surkati di Jamiat Khair, lembaga yang mengundangnya datang ke Betawi pada tahun 1911.

Karena itu saat Surkati sowan kepada Manggusy, kedatangannya tidak semata untuk mengucapkan perpisahan dengan kesedihan, atau sekadar memberikan salam perpisahan, melambaikan salam dengan ucapan ma'assalamah tanda ucapan selamat tinggal, tapi beliau datang dengan penuh hormat, adab dan sopan santun, tidak seperti yang disangkakan oleh seseorang, Surkati dicegah akan kembali pulang ke Mekah oleh Manggusy, saat dirinya sudah angkat koper di stasiun kereta api.

Syaikh Ahmad Surkati tiba di kediaman Manggusy dengan langkah mantap, membawa beban pikiran yang tak tersembunyi. Kedatangannya bukanlah sekadar kunjungan biasa, melainkan upaya klarifikasi yang mendesak terkait perlakuan yang dialaminya dari pihak Jamiatul Kher. Dengan wajah yang serius namun penuh keberanian, ia menyampaikan inti permasalahan yang menjadi sumber ketegangan, yakni "fatwanya" di kota Solo.

Manggusy, duduk dengan tenang di sudut ruangan, menyambut kedatangan Surkati dengan sikap bijaksana. Dengan mata yang penuh perhatian, ia mendengarkan setiap kata yang diungkapkan dengan seksama. Tak ada ekspresi yang tersembunyi dari raut wajahnya yang tenang namun penuh pertimbangan.

Pembicaraan antara keduanya berlangsung dalam suasana yang sarat dengan kepentingan besar. Setiap argumen yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Surkati disimaknya dengan seksama oleh Manggusy. Tidak ada kata yang diucapkan begitu saja tanpa melalui pertimbangan yang matang.

Di tengah dialog yang serius, aroma teh hangat menguar di udara, menambah suasana yang semakin nyaman. Setiap tegukan yang diseruput oleh kedua pemuka tersebut seolah menjadi pengantar yang memperdalam makna dari setiap kata yang diucapkan. 

Kesimpulan akhir dari pertemuan itu bukanlah sekadar penyelesaian atas masalah yang dihadapi oleh Syaikh Ahmad, tetapi lebih dari itu, ia mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas situasi yang dihadapinya. Begitu pula bagi Manggusy, kesempatan untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang yang berbeda telah menambahkan wawasannya tentang dinamika koloninya yang rumit.

Dengan langkah bijak dan penuh perhatian terhadap kesulitan yang dihadapi oleh Surkati, Manggusy mengambil langkah bijak dengan mengundang sahabat-sahabatnya, para pemuka Arab di Betawi, untuk hadir dan mendengarkan keluh kesah Syikah Ahmad Surkati yang disapa akrab oleh warga koloninya dengan sebutan Mualim Ahmad. Pertemuan itupun telah menjadi momen penting yang akan membuka lembaran baru dalam sejarah masyarakat Arab di Batavia, bahkan umat Islam di Indonesia.

Suasana ruangan di kediaman Manggusy terasa hangat dan penuh khidmat ketika Surkati mulai bercerita tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Setiap kata yang diucapkannya terkandung keinginannya yang kuat untuk mencari solusi. Sahabat-sahabatnya, yang hadir dengan penuh kepedulian, mendengarkan dengan seksama, siap memberikan dukungan dan saran yang dibutuhkan.

Notulensi dari pertemuan tersebut bukan hanya sekadar catatan biasa, melainkan menjadi dokumen yang amat berharga dalam sejarah Al-Irsyad. Setiap detail dari diskusi yang berlangsung direkam dengan teliti, mencerminkan semangat kolaborasi dan kesatuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi bersama oleh masyarakat koloni Arab di Betawi.

Kelak, dokumentasi ini akan menjadi landasan yang kokoh bagi asas pendirian Al-Irsyad di masa depan. Dengan mengambil hikmah dan pembelajaran dari peristiwa tersebut, Al-Irsyad mampu tumbuh dan berkembang menjadi institusi yang kuat dan berpengaruh dalam membimbing masyarakat Islam di Indonesia menuju arah yang lebih baik.

Peristiwa yang tak terlupakan ini menjadi momentum langka yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bagi Manggusy, membiarkan Surkati pergi kembali tanpa upaya penyelesaian akan menjadi sebuah keputusan yang disesali, bukan hanya oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh anak cucunya dan bahkan masyarakat secara luas. Kesempatan untuk mendapatkan pembaruan dan pendidikan yang bernilai dari seorang tokoh seperti Mualim Ahmad adalah sebuah anugerah yang harus dihargai dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Seperti seorang "tabib" yang teliti, Surkati tidak hanya sekadar mengidentifikasi "penyakit" yang ada, tetapi juga memberikan obat yang tepat untuk penyembuhannya. Dengan jelas dan gamblang, ia telah menguraikan asas-asas yang mendasari setiap langkah yang diambil. Manggusy menyadari bahwa dalam keberaniannya untuk menghadapi tantangan, Surkati telah memberikan pandangan yang jernih tentang arah yang harus diambil untuk mencapai kesembuhan dan kemajuan.

Manggusy dan Surkati, dalam pertemuan para pemuka Arab di Betawi itu, seperti dua sosok yang saling melengkapi, bekerja bersama-sama untuk menghadapi tantangan yang dihadapi. Diskusi yang intens dan penuh makna antara keduanya tidak hanya sekadar mencari solusi untuk masalah saat ini, tetapi juga merumuskan langkah-langkah strategis untuk masa depan yang lebih baik.

Dalam kisah ini, kita melihat betapa pentingnya kolaborasi dan kerjasama antarindividu yang memiliki visi dan misi yang sama. Dengan memahami dan menghargai peran masing-masing, kita dapat menciptakan perubahan yang berarti dan positif dalam masyarakat. Peristiwa ini bukan hanya sebuah titik terang dalam sejarah, tetapi juga merupakan inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang demi perubahan yang lebih baik.

Dalam upaya mempertahankan kehadiran Surkati dan kawan-kawannya di Jawa, Manggusy tidak tinggal diam. Dengan kebijaksanaan dan kecerdikan yang dimilikinya, ia menampilkan jurus-jurus dan bujuk rayunya yang memikat untuk mencegah kepulangan mereka kembali ke Mekkah. Bukan sekedar sekedar kata-kata, bujuk rayu Manggusy ditunjukkan dengan tulus dan penuh kepedulian, mencerminkan kerinduannya untuk terus memperoleh manfaat dari kehadiran Surkati dan para pendukungnya di tanah Jawa.

Surkati, seorang yang memiliki tekad bulat dan keinginan yang kuat untuk berdakwah dan berjuang di tanah yang menjadi tujuannya berhijrah dan berjihad, akhirnya tersentuh oleh bujukan dan rayuan Manggusy. Meskipun awalnya mungkin ragu dan berpikir untuk kembali ke Mekkah, namun dalam hatinya, Surkati telah membulatkan tekadnya sejak awal untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi umat Islam di Indonesia, sebagaimana tekad yang pernah dia utarakan sebelum keberangkatannya saat masih di Mekkah; "bagi saya mati di Jawa dengan berjihad itu jauh lebih mulia, daripada saya harus hidup dan mati di Mekkah tanpa melakukan apapun".

Kehadiran Surkati dan kawan-kawannya menjadi titik balik penting dalam perjalanan sejarah Al-Irsyad di Indonesia. Dengan tekad dan semangat yang kuat, mereka siap melangkah maju untuk mewujudkan misi mulia mereka dalam menyebarkan ajaran Islam dan memperjuangkan keadilan di tengah-tengah masyarakat yang mereka cintai. Kecintaan Surkati pada tanah air barunya Indonesia, jelas terekam dalam ingatan oleh anak didiknya, salah seorangnya adalah H.M.Rasyidi; "Aku (Syekh Surkati), merasa telah bertahun-tahun berkecimpung memimpin Al-Irsyad di Indonesia. Bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dari badan saya telah berganti dengan unsur-unsur Indonesia. Aku akan tetap hidup di Indonesia sampai akhir hayatku.” (Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, 1996 :64).

Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang kekuatan tekad dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan. Meskipun terkadang kita dihadapkan dengan godaan untuk mengambil jalan yang mudah, namun dengan mempertimbangkan secara seksama dan mengikuti panggilan hati yang tulus, kita dapat mencapai tujuan yang lebih mulia dan memberikan dampak positif bagi orang banyak.

Manggusy : "Wahai saudara-saudaraku, bagaimana menurut kalian? Sesungguhnya ini adalah kesempatan emas, jangan kalian sia-siakan. Pasti kalian akan menyesal apabila Syaikh Ahmad dan saudara-saudaranya pulang kembali ke negara mereka. Ini artinya kita menyia-nyiakan diri kita dan anak keturunan kita dari perbaikan dan pendidikan yang bermanfaat".


Sholih Ubaid : "Benar! Ini adalah kesempatan berharga yang telah disiapkan Allah untuk kita, maka tidak selayaknya kita menyia-nyiakan kesempatan ini. Justru kita berharap mereka bisa tinggal (di negeri ini) untuk memberi manfaat kepada kita dari ilmu-ilmu mereka dan untuk membuka sekolah-sekolah bagi anak-anak kita dan mengajarkan kepada mereka agama yang benar dan bahasa Arab, serta hal-hal yang menunjang dari mereka".

Dua transkrip dialog yang terdokumentasi dengan cermat dari pembicaraan para pemuka Arab di atas, memegang peran penting sebagai fondasi dalam proses mencapai kesepakatan yang kokoh. Manggusy, dengan bijaknya, dan Surkati, dengan semangatnya yang membara, bersama-sama dengan para pemuka yang turut hadir di kediaman Manggusy, membangun kerangka gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di tengah-tengah masyarakat.

Dari ruang dialog di kediaman Manggusy yang penuh dengan ide-ide segar dan harapan yang menggelora, muncul konsep untuk mendirikan sebuah sekolah yang akan dikelola dan dikembangkan oleh Surkati sendiri. Semangat untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat menjadi dasar utama dalam pembentukan lembaga ini.

Manggusy, dengan penuh keyakinan pada visi dan misi Surkati, memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Surkati untuk menentukan asas-asas pendirian dan bahkan menentukan nama lembaga pendidikan yang akan didirikan. Keputusan tersebut menjadi wujud nyata dari rasa hormat dan kepercayaan yang mendalam terhadap keahlian dan pemikiran Surkati dalam memimpin perubahan yang positif dalam masyarakat.

Sebagai sebuah titik awal yang berharga dalam perjalanan panjang mereka, keputusan tersebut menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Nama lembaga pendidikan yang dipilih dengan hati-hati oleh Surkati akan menjadi identitas yang menginspirasi generasi-generasi yang akan datang dalam mengejar ilmu dan kebenaran.

Akhirnya, dengan penuh keyakinan dan inspiratif, Surkati memutuskan untuk menamai lembaga pendidikan yang akan didirikannya dengan nama Al-Irsyad. Nama itu terinspirasi dari Madrasah Al-Da'wah wa Al-Irsyad, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Sayyid Rasyid Ridho pada tahun 1912 di Cairo, Mesir. Pilihan nama ini tidaklah sembarangan, melainkan mengandung makna yang dalam dan simbolis, memperkuat hubungan historis antara Al-Irsyad di Jawa dengan jejak pendidikan pembaharuan Islam yang telah mapan di berbagai belahan dunia.

Tidak hanya menentukan nama, Surkati juga merumuskan asas-asas yang akan menjadi landasan utama dalam pendirian Al-Irsyad. Asas ini dikenal dengan nama "Mabadi' Al-Irsyad", sebuah panduan yang komprehensif tentang visi dan misi pendidikan yang akan dikejar oleh lembaga ini. Kemudian, panduan ini diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul "Mabadiul 'Irsyad Mamaqasiduha", yang tersebar luas untuk memberikan inspirasi dan arahan bagi semua yang terlibat dalam perjalanan pendidikan di Al-Irsyad.

Dengan langkah-langkah ini, Al-Irsyad tidak hanya menjadi sebuah lembaga pendidikan biasa, tetapi sebuah pusat keunggulan yang mengilhami generasi-generasi mendatang untuk mengejar ilmu dan mencapai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan. Keputusan Surkati untuk mengadopsi nama dan asas dari lembaga pendidikan yang telah teruji keberhasilannya di Cairo, menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan Al-Irsyad sebagai tempat yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Tepukan pundak tangan Manggusy menghasilkan dampak positif; segala biaya berhasil terkumpul dari sumbangan pribadi dan para sahabatnya. Semuanya digabungkan dalam satu kas untuk membayar ongkos notaris, yang dipilih adalah Dirk Johannes Michiel de Hondt, notaris ternama di Batavia. Dana yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk gulden disimpan di Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij. Manggusy juga menyediakan fasilitas belajar mengajar dengan meminjamkan rumah di jalan Djatibaroe No.12, dekat dengan kediaman pribadinya. Surkati juga diberikan tempat tinggal dalam kompleks yang sama, menggantikan rumah dinas yang sebelumnya disediakan oleh pihak Jamiat Kher di Pekojan.

Belum genap satu tahun sejak pembukaan sekolah pertama di Djatibaroe 12, antusiasme masyarakat begitu besar sehingga jumlah murid tak lagi terbendung. Sementara proses perizinan masih bergulir di meja Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg di Batavia, Syaikh Umar Yusuf Manggusy dengan cekatan telah berhasil menyewa gedung bekas Hotel Ort di Molenvliet West. Gedung yang megah itu akan diubahnya menjadi fasilitas pendidikan baru, yang akan menjadi rumah kedua bagi sekolah Al-Irsyad, dengan ruang yang lebih luas dan lengkap.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Al-Irsyad akhirnya memperoleh Pengakuan Hukum dari Gouverneur-Generaal van Nederlands Indië pada tanggal 11 Agustus 1915 dengan Keputusan Nomor 47, disiarkan kepada publik dalam Javasche Courant, nomor 67 tanggal 20 Agustus 1915. Sejak itu, Al-Irsyad yang oleh R.J. Gavin dalam bukunya "Aden under British Rule 1839 - 1967 (London: 1936)", meluncur laksana meteor, penuh energi dan vitalitas yang kian hari kian besar. (Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, H. Hussein Badjerei).

Sejak saat itu, meskipun tidak pernah menjabat sebagai pengurus resmi, Syaikh Umar Yusuf Manggusy tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga, mengawal, dan memelihara Al-Irsyad sepanjang hidupnya. Sebagai pembela Al-Irsyad nomor wahid, dia seperti perumpamaan Betawi yang mengatakan, "kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, Al-Irsyad die nyang belain". Tak heran jika diakui bahwa sejatinya Manggusy adalah Bapak Pendiri Al-Irsyad.

Menurut Natalie Mobini Kesheh, Manggusy tidak pernah menduduki posisi di badan eksekutif, tetapi dia telah memainkan peran penting di balik layar. Ia mampu memberikan pengaruh yang besar, bahkan dalam rapat-rapat badan eksekutif pusat yang diadakan sesuai dengan permintaannya. Dengan berbagai cara, Manggusy menjadi simbol dari para pemimpin generasi pertama Al-Irsyad. Kehadirannya menggambarkan integritas dan kesempurnaan, tanpa cela atau motif yang tidak jujur. (Dikutip dari "Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia", halaman 88).

Pada akhir tahun 1919, Al-Irsyad sempat terancam bubar akibat adanya provokasi pihak asing yang secara terselubung diotaki oleh pemerintah Inggris, hingga akhirnya memang keterlibatannya itu benar-benar terbukti. Manggusy yang sejak awal dikenal sangat memusuhi Inggris, kemudian "turun gunung" kembali untuk melakukan antisipasi, mengatur langkah sedemikian cermat agar Al-Irsyad tidak menjadi korban dari otak-otak jahat yang tidak menyukainya, dan menghendaki "Al-Irsyad bubar" setelah telah tampil dengan gemilang. 

Di gedung sekolah Al-Irsyad yang berlokasi di Molenvliet West, tepat pada hari Ahad tanggal 15 Februari 1920, Manggusy menunjukkan keberanian dan ketekunannya yang luar biasa dalam mempertahankan eksistensi Al-Irsyad dari ancaman yang mengancamnya. Meskipun dihadapkan pada badai dari berbagai arah, Rapat Umum Anggota Al-Irsyad yang nyaris gagal, namun berkat perjuangan dan pengorbanan yang tak kenal lelah dari Syaikh Umar Yusuf Manggusy, rapat tersebut tetap berhasil dilaksanakan.

Dengan kekuatan dan pengaruh besar yang dimilikinya di Batavia, baik di kalangan para pemuka Arab yang menghormatinya maupun pihak pemerintah Belanda yang segan akan kewibawaannya, lebih dari 400 orang memenuhi Jaarlijksche Algemeene Vergadering atau Rapat Umum Anggota, yang begitu ramai sehingga meluber hingga ke luar gedung. Keamanan diperketat oleh kepolisian pemerintah dan anggota-anggota Al-Irsyad yang berhasil dia kerahkan. Sebanyak 350 anggota Al-Irsyad dikirimkan dari luar Batavia, termasuk 187 orang dari cabang Surabaya.

Selain kehadiran Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy yang dengan wibawanya mengawal jalannya Rapat Umum Anggota. Diantara tamu yang diundang dan datang menyaksikan ialah Sayyid Ismail Al-Attas ; anggota volksraad, Mr. van Dawne, Mr. van Huizen dan tamu-tamu kehormatan lainnya. Agenda terselubung yang tercium oleh Manggusy, terkait dengan isu;  "Hoofdbestuur maoe koebraken"  telah berhasil dia gagalkan, lewat Jaarlijksche Algemeene Vergadering yang sukses digelarnya.

Dalam momen yang genting dan kritis, Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy muncul sebagai pelindung utama Al-Irsyad, menyelamatkan organisasi tersebut dari ancaman kepunahan. Peran besarnya pada saat yang tepat dan strategis telah meninggalkan jejak sejarah yang tak terlupakan. Tindakan Manggusy juga mengarahkan masyarakat Hadhrami secara umum untuk bersikap anti-Inggris. Keberhasilannya dalam menjaga eksistensi Al-Irsyad tidak hanya mendapat dukungan mayoritas warga koloni, tetapi juga mematahkan tudingan sejumlah sumber kepadanya, bahwa ia tidak populer di kalangan orang-orang Arab. 

Dengan keberanian dan ketulusan hati yang tak terbantahkan, Syaikh Umar Yusuf Manggusy telah melampaui batas-batasnya untuk menjadi pahlawan yang meneguhkan eksistensi Al-Irsyad dan menunjukkan jalan bagi masyarakat Hadhrami. Kepemimpinan dan dedikasinya telah mengukir jejak yang tak terlupakan dalam sejarah.

Menjelang akhir kehidupannya, di usia yang semakin lanjut menuju 81 tahun, Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy merasakan tantangan besar di hadapannya. Kekayaannya yang dahulu melimpah kini hampir habis tergerus oleh spekulasi bisnis yang tak beruntung, mendorongnya mendekati ambang kebangkrutan. Meski kebenarannya masih diragukan, tokoh legendaris ini, konon "masih sempat hadir dalam Congres Jubilee dan perayaan 25 tahun Al-Irsyad".-* Mencerminkan komitmen abadinya terhadap perjuangan dan kesuksesan lembaga yang ia cintai. (-*Sumber; "Hikayat Kapitein Arab di Nusantara, Nabiel A.Karim Hayaze", hal 32)

Hari terakhir kehadiran Manggusy di arena akbar Al-Irsyad yang diadakan secara besar-besaran di kota Surabaya dari tanggal 26 September 1939, sampai dengan tanggal 1 Oktober 1939 ini, menjadi dalil yang tidak terbantahkan dan merupakan dasar kesepakatan para ahli tarikh yang mutafako'aleih, bahwa isu Al-Irsyad soeda kubraken itu tidak benar. Bahkan pembuat dalil maudhunya pun tampil sebagai sekretaris committe kongres dan turut andil atas suksesnya pelaksanaan Congres Jubelium atau 25 Tahun Al-Irsyad tersebut.

Hari terakhir kehadiran Manggusy di panggung akbar  Congres Jubilee Al-Irsyad di Surabaya, dari tanggal 26 September hingga 1 Oktober 1939, meneguhkan keyakinan para cendekiawan sejarah bahwa dugaan tentang kemunduran Al-Irsyad adalah sebuah kesalahpahaman. Bahkan, pelopor argumen yang menentangnya turut bertindak sebagai sekretaris komite kongres, berkontribusi secara signifikan pada keberhasilan suksesnya penyelenggaraan congres tersebut.

Syaikh Umar Manggusy, sahabat Syaikh Ahmad Surkati

24 November 1928, saat sekembalinya Syaikh Ahmad Surkati ke tanah air setelah menyelesaikan perjalanan hajinya di Mekkah, sekaligus kunjungannya ke istana Raja Ibn Saud, bertemu dengan sahabatnya al-Malik Abdul Azis, ziarah ke tanah kelahirannya di Sudan dan lawatannya pada Universitas Al-Azhar di Kairo, kehadirannya kembali di Batavia menjadi momen yang memikat hati semua orang. Ia pun disambut dengan suka cita oleh seluruh keluarga keluarga besar Al-Irsyad, komunitas lokal, dan pemerintah setempat. Di Pelabuhan Tandjoeng Priok, di mana kapal P.C. Hooft berlabuh sejak pukul tujuh pagi, setelah perjalanan panjangnya mengarungi samudera, Mualim Ahmad dijemput langsung oleh sahabatnya Syaikh Umar Yusuf Manggusy, menciptakan sinergi yang menggetarkan jiwa.

"Bagi Manggusy, Surkati adalah sosok alim yang menjadi pondasi kekuatan, tempat dia mengarungi badai kehidupan. Dia adalah harapan bagi perbaikan masa depan warga koloninya di Batavia, serta generasi yang dirisaukannya di masa depan, baik di tanah air barunya almahjar, maupun di negeri leluhurnya Hadramaut. Namun, pandangannya terhalang oleh belenggu tradisi dan adat istiadat, yang menghambat kemajuan. Bagi Manggusy, Surkati adalah secercah cahaya dalam kegelapan, dan dia bertekad "selama hayat dikandung badan", untuk menjaganya agar terus bersinar, selamanya."

Bahkan kepada menantunya, Syaikh Hasan bin Saleh Argoebi, yang kelak akan meneruskan perannya sebagai Kapiten Arab, Manggusy mengungkapkan wasiat yang penuh kasih. Dengan lembut dan penuh kearifan, ia memohon agar Surkati diberikan posisi yang terhormat dalam kehidupan Hasan, menjadi titik fokus utama yang senantiasa dirawat dengan penuh perhatian dan kecintaan, tanpa memandang situasi atau kondisi apa pun. Baginya, Surkati adalah jantung dari segala hal yang berarti, pancaran cahaya dalam kegelapan, dan simbol kebijaksanaan yang tak ternilai harganya. Dalam pesan tersebut, Manggusy menegaskan pentingnya menjaga dan menghargai kehadiran Surkati sebagai tonggak utama dalam perjalanan kehidupan Hasan dan warga koloni yang akan dinahkodainya kelak di almahjar, yang akan membimbingnya melalui segala badai dan cobaan yang mungkin menghadangnya di masa depan.

Surkati telah melewati zaman yang penuh tantangan, ketika dia terancam akan dihukum tanpa alasan yang jelas, dituduh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, cahaya harapan menyinari jalannya melalui bantuan dan arahan yang diberikan oleh Hasan Argoebi. Dalam saat-saat ketika Surkati harus menjalani operasi pada matanya, Hasan menjadi sosok yang setia menemani, menjaganya dalam setiap langkah pemulihan, bahkan saat istirahat yang diperlukan di lingkungan yang lebih tenang, di Kotabatoe Buitenzorg (Bogor).

Setiap detik dalam perawatan tersebut menjadi bagian dari kisah kebersamaan yang tak ternilai harganya, di mana Hasan, dengan kelembutan dan ketulusan, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Surkati tak pernah pudar. Dalam langkah-langkahnya yang penuh pengabdian, Hasan menciptakan ruang bagi Surkati untuk menyembuhkan diri secara fisik dan juga secara emosional, menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan kepedulian.

Dari perjuangan mereka bersama itu, muncullah bukti akan kekuatan ikatan mereka yang tak tergoyahkan. Hasan, dengan setia dan tanpa ragu, mengukir jejaknya dalam hati Surkati sebagai pelindung, penyembuh, dan sahabat sejati. Dengan penuh kesetiaan, dia hadir dalam setiap tahap kesulitan, menjadi bintang yang mengarahkan jalan bagi Surkati dalam gelapnya malam, dan sumber kekuatan yang tak terpisahkan dalam setiap langkahnya menuju kesembuhan.

Surkati pernah menjalani operasi pada kedua pada matanya, yang sayangnya mengakibatkan dia kehilangan penglihatan sepenuhnya. Tindakan tersebut dilakukan di RS.CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis), yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangunkusumo, di Jakarta Pusat. Meskipun kehilangan kemampuan untuk melihat, Surkati tetap menjalani hidup dengan penuh keberanian dan ketabahan, memancarkan sinar kekuatan dari dalam, meskipun dalam gelapnya kebutaan. Dalam kegelapan kedua matanya itu, selama beristirahat di kotabatoe, Surkati bahkan melahirkan bait-bait syair yang diberinya judul "al-khawatiir al-Hisaan". Syair yang mengandung makna pujian pada sahabat-sahabat seperjuangannya, termasuk kepada Manggusy dan Hasan Argoebi.


Syaikh Umar Yusuf Manggusy, pengusaha tajir nan dermawan

Kapiten Arab di Betawi, Syaikh Umar Manggusy, namanya pernah masyhur sebagai rajanya para juru lelang. Setiap aksi lelang rumah atau tanah di tangannya berujung pada keberhasilan yang gemilang. Namun, kehebatannya tidak berhenti di situ; dia juga dikenal sebagai saudagar yang berhasil dan sukses pada bidang usaha lainnya. 

Manggusy mengelola dengan cemerlang aset-aset tanah partikelirnya, yang sebagian besar diperoleh dari hasil lelang. Pada tahun 1908, dia melangkah lebih jauh lagi dengan mendirikan "NV Petodjo Sawah", sebuah perusahaan yang menjadi tonggak penting dalam ekspansi dan pertumbuhan ekonominya. Dengan dirinya sebagai direktur utama, dia memimpin perusahaan dengan visi yang jelas, membawa kemakmuran bagi dirinya sendiri serta masyarakat sekitar yang dia kontribusikan dari keberhasilan bisnisnya tersebut.

Lahan milik Manggusy tidak hanya terdapat di Batavia, terutama banyak tersebar di kawasan Weltevreden dan Molenvliet, Mester, Tjempaka Poetih, Kebon Sirih, Petamburan, Palmerah dan disekitar dekat Pelaboehan Tandjoeng Priok dan dilain tempat. Lahan luas miliknya juga dia miliki hingga keluar Batavia seperti di Buitenzorg, Tjitjoeroeg, bahkah yang terjauh di Soekaboemi dan Garoet. Sebagian diantara lahannya tersebut ada yang dikelolanya untuk membuka usaha perkebunan. 

Disebutkan dalam berita Bataviaasch nieuwsblad, Manggusy berhasil memenangkan lelang lahan bekas peninggalan Catharina Johanna Kijdsmeir, janda Dr. Geerlof Wassink yang lokasinya berada di dekat Landhuis Tapos - Depok, yang dibelinya senilai f1.587.500 atau terbilang Satu Juta Lima Ratus Delapan Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Gulden.



Tuin met een huis in Bantar-Peteh bij Buitenzorg 1890 1910 ; By Bintoro Hoepoedio


Di Buitenzorg (Bogor), Syaikh Manggusy juga memiliki sebuah Landhuis yang berada di Bantar Peteh (Bantar Peuteuy), kawasan sejuk yang berada di kawasan Soekasari, berjarak satu pal dari pusat Buitenzorg, atau sekitar 200 meter dari Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Groote Postweg), disebut juga Jalan Daendels, adalah jalan pos sepanjang 1.000 kilometer di Jawa yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalur lokasi Landhuis yang disewa oleh Manggusy itu merupakan jalur yang menghubungkan antara Buitenzorg menuju kawasan puncak di lereng gunung Gede Pangrango.

Selain orang-orang eropa, sangat sedikit sekali dikala itu, bahkan hampir jarang ada warga pribumi dan warga lainnya yang memiliki Landhuis, atau pesenggrahan (villa) sebagai tempat istirahat pada setiap akhir pekan. Landhuis milik Syaikh Umar Yusuf Manggusy itu, sering dipakainya untuk menjamu kolega-kolega bisnisnya, terutama orang-orang Eropa dan Cina. 

Disebutkan juga dalam buku "Hikayat Kapitein Arab di Nusantara, Nabiel A. Karim Hayaze", halaman 26; selain sebagai seorang raja lelang, eksportir gula, pemilik properti, dan pengusaha perkapalan, Syaikh Manggusy bersama dengan Abdurrahman Alaijdroes merintis dan membuka perusahaan Omnibusdienst Soeka Madjoe te Tjitjoeroeg yang bergerak di bidang otomotif dan transportasi dengan modal awal sebesar f.10.000, dan Syaikh Manggusy menjadi Direktur perusahaan tersebut.

Pada tahun 1874, melalui NV Maatschappij 'de Atlas', sebuah pabrik konstruksi kapal di Amsterdam-Belanda, Manggusy memesan pembuatan kapal uap jenis kargo. Kapal yang selesai dan mulai beroperasi sebagai perusahaan ekspedisinya sejak tahun 1904 itu, dinamainya dengan "BILLITON" yang berada di bawah bendera perusahaannya sendiri, yaitu NV Billiton Maatschappij.

Sayangnya, kapal yang memiliki panjang 137,8 kaki dan tinggi 18,9 kaki (ukuran British) ini, yang mengangkut layanan angkutan kargo dari Batavia ke Singapura melalui rute kepulauan Natuna dan Anambas, kapal miliknya menabrak terumbu karang dan tenggelam di Great Natuna pada 16 Desember 1906.

Sebagai pengusaha tajir, banyak lahan yang dimiliki oleh Manghusy diberikan untuk kepentingan umum, antaranya saat perluasan dan pembangunan stasiun Manggarai pada tahun 1914 - 1918, yang diberikannya kepada Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. 

Meskipun disebut bahwa Manggusy telah menjual sebagian kecil dari tanahnya yang luas di Djatibaroe seluas 2.5 hektar untuk pembangunan Rumah Sakit "Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) "Djati Baroe", jumlah yang lebih besar dari lahannya tersebut justru dihibahkannya untuk pendirian rumah sakit tersebut. Hal itu terungkap dalam situs resmi rumah sakit itu, yang antara lain dikutip; 

"Peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan gedung dilakukan pada pertengahan tahun 1914, dengan kontraktor F. Stoltz, di atas area tanah seluas 30.000 M2. Berdasarkan verpondings nomor 13891, seluas 28.650 M2 didapatkan secara cuma-cuma, hibah dari Sech Oemar bin Joesoef Mangoes pada tanggal 18 Januari 1913".

Sebagai tokoh yang memiliki sifat kedermawanan untuk tujuan sosial kemasyarakatan, sosok Syaikh Umar bin Yusuf Manggush juga dilukiskan oleh Nabiel A.Karim Hayaze dalam bukunya; "selain kontribusinya yang sangat luar biasa terhadap kelahiran organisasi Al-Irsyad, ia merupakan salah seorang yang berhasil membeli tanah dengan harga sangat murah untuk pembangunan 'Kali Bandjir Kanal'. Bahkan pada tahun 1920, ia telah mendermakan sejumlah 'sepuluh ribu guilders' untuk pembangunan Klinik Kelahiran dan juga sebuah unit rumah sakit untuk penyakit menular". Hikayat Kapitein Arab di Nusantara" , halaman 32.

Masa kejayaan Syaikh Umar Manggusy, salah satu orang terkaya di Batavia, mulai merosot dan hampir bangkrut setelah menjalin kerjasama perdagangan gula dengan seorang pengusaha Tionghoa dari Semarang. Meskipun sebelumnya sempat mendapat saran dari sahabatnya Surkati untuk tidak berniaga gula, terutama "penimbunan" stok di gudangnya untuk pasokan pasar yang saat itu tengah dilanda krisis, Syaikh Umar tetap tidak menghiraukannya dan bahkan menanggapinya dengan sedikit canda, meminta sahabatnya untuk fokus pada tugas mengajarnya.

Sejak itu, beberapa properti miliknya kemudian mulai dijual satu persatu guna menutupi kerugian usahanya, sebagaimana yang telah diberitakan dalam koran Swara Publiek.No.167, 30 Juli 1930, dengan total penjualan f1.103.500.000,-

Meskipun banyak yang meragukan, kabar tentang kebangkrutan Syaikh Oemar Mangoes akhirnya menjadi pembicaraan hangat di Betawi, terutama setelah sebuah surat kabar di Batavia memberitakan hal tersebut. Manggusy mengalami kerugian besar setelah terlibat dalam spekulasi dan perselisihan dalam bisnis gula dengan NV Kian Gwam, sebuah anak perusahaan yang didirikan oleh Oei Tiong Ham.

Pada hari Kamis, 5 Januari 1931, Koran Sin Tit Po menerbitkan berita eksklusif mengenai kebangkrutan Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy. Dalam laporan tersebut, gambaran tentang sosoknya sebagai seorang Kapitein dari bangsa Arab yang terhormat, kaya, dan berpengaruh, digambarkan dengan jelas. Manggusy dikenal sebagai sosok yang merakyat, mampu bergaul dengan semua kalangan, tanpa memandang perbedaan etnis maupun sosial. Ia memiliki jaringan hubungan yang luas, menjalin kedekatan dengan masyarakat Indonesia serta orang-orang berkulit putih.

Disebutkan pula berbagai jasa yang telah Manggusy berikan, yang telah memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan warga koloninya. Meskipun dihadapkan pada berbagai persoalan yang rumit dan menantang yang dihadapi oleh komunitas Arab di Batavia, sebagai seorang kepala koloni, Manggusy terbukti mampu menemukan solusi yang adil dan bijak untuk mengatasinya. Karena prestasinya ini, ia diakui dan dihargai oleh Ratu Wilhelmina dengan penghargaan Ridder in de Orde Van Nassau. Ini bukan hanya penghargaan atas kontribusinya secara individu, tetapi juga sebagai pengakuan akan peran pentingnya dalam memajukan kehidupan masyarakat di Hindia Belanda.

Dalam koran Sin Tit Po juga disebutkan bahwa pada tahun 1916, Syaikh Umar tercatat telah memberikan bantuan untuk proyek perbaikan saluran air di ibu kota Batavia, yang memiliki manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat luas. Selain itu, ia juga telah menghibahkan sebagian tanahnya kepada pemerintah untuk relokasi pemukiman yang padat penduduknya. Tanah seluas 1.5 bouw atau setara dengan 10.600 m2 di Manggarai, serta 10 bouw atau setara dengan 71.000 m2 di Petojo, menjadi bukti nyata dari dedikasinya dalam memajukan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pembangunan infrastruktur kota. Tindakan beliau tersebut tidak hanya menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi juga kesediaannya untuk berkontribusi secara nyata dalam pembangunan dan peningkatan kualitas hidup di Batavia.

Sebagian dari kutipan koran Sin Tit Po 1931


Jabatan Hoofd der Arabieren Syaikh Umar Manggusy 

Syaikh Umar Yusuf Manggusy, yang dalam catatan pemerintah Belanda dikenal sebagai Sech Oemar bin Joesoef Mangoes, secara resmi dilantik sebagai Hoofd van der Arabieren en alle andere vremde Oosterlingen van Batavia dengan gelar Kapitein der Arabieren pada tanggal 28 Desember 1902. Pelantikannya dilakukan di hadapan Willem Rooseboom, yang saat itu menjabat sebagai Gouverneur-Generaal Nederlandche Indie di Batavia. Posisi jabatan ini merupakan penggantian dari Sayyid Omar bin Hasan bin Achmad al-Aidid, yang telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Hoofd der Arabieren di Batavia sejak tahun 1895.

Pengangkatannya sebagai kepala komunitas Arab dan orang-orang Timur lainnya di Batavia menandai langkah penting dalam karir administratif dan sosial Manggusy. Sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab atas koordinasi dan pelayanan bagi masyarakat Arab serta kelompok etnis lainnya di Batavia. Peran ini memberinya kesempatan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dan komunitas etnis yang dipimpinnya, sambil memainkan peran penting dalam menjaga ketertiban dan harmoni sosial di wilayah tersebut.

Dalam perannya sebagai kepala Golongan Arab di Batavia, Syaikh Umar Yusuf Manggusy dihadapkan pada kebijakan ketat pemerintah kolonial Belanda yang mengawasi orang-orang Arab dengan cermat. Untuk membantunya mengelola koloninya, Manggusy didampingi oleh Sech Ali bin Abdoellah bin Asir, yang memegang gelar Luitenant der Arabieren. Selama menjabat sebagai Hoofd der Arabieren, Manggusy dikenal karena dedikasinya yang konsisten dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi oleh warga koloninya. Pendekatannya pada warganya berhasil menuai simpatik dan karenanya selalu sukses dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul.

"Perkara Weltevreden Antara orang Arab", adalah judul dalam sebuah berita yang dimuat pada koran Sin-Po, dimana dalam koran itu menggambarkan peran seorang Manggusy manakala berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi pada warga koloninya di kawasan Tanah Abang. 

Berkat dedikasinya yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya, Syaikh Umar Yusuf Manggusy dihargai dengan berbagai medali dan penghargaan selama menjabat sebagai Kapitein der Arabieren. Di antaranya, dia dianugerahi medali Overige Buitenlandse Orden, serta dua kali menerima medali Orde van Oranje-Nassau. Penghargaan terakhir ini, Ordo Oranye-Nassau, merupakan gelar kehormatan Belanda yang diberikan atas pengabdian khusus kepada masyarakat, menandakan pengakuan atas kontribusi istimewa Manggusy dalam membantu dan memajukan kehidupan sosial di Hindia Belanda.

Sebagai sosok yang anti Inggris, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh WN Dunn, Konsul Jenderal Inggris di Batavia, Syaikh Umar Yusuf Manggusy pernah pula menerima penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah Turki di Istambul atas kontribusinya saat pembangunan jalan di Hejaz, jalan raya yang dibangun guna kepentinggan kemudahan fasilitas transportasi jamaah haji di Mekkah. 

Pemerintah Turki di Istanbul memberikan penghargaan tertinggi kepada Manggusy atas perannya dalam proyek tersebut. Jalan raya yang dibangun ini bertujuan untuk meningkatkan fasilitas transportasi bagi para jamaah haji yang melintasi daerah Hejaz menuju Mekkah. Penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Turki bukan hanya sekadar pengakuan terhadap kontribusi Manggusy dalam proyek tersebut, tetapi juga sebagai simbol penghormatan atas dedikasinya yang luar biasa dalam memajukan kesejahteraan umat Muslim dan memfasilitasi perjalanan spiritual mereka. Dengan penerimaan penghargaan ini, Manggusy tidak hanya diakui di tingkat lokal, tetapi juga di tingkat internasional sebagai tokoh yang berperan penting dalam meningkatkan kondisi sosial dan kemanusiaan di wilayah yang luas.

Syaikh Umar Yusuf Manggusy mengakhiri masa tugasnya sebagai Kapitein Hoofd Arabieren setelah menjalankan tugasnya dengan baik selama kurang lebih 29 tahun. Semua urusan tektek bengek yang menyangkut persoalan perkara yang besar hingga kecil orang-orang Arab di Batavia, telah dia selesaikan dan ditunaikannya dengan cukup arif dan bijaksana. Karena itu saat pengunduran dirinya secara terhormat dengan menunjuk menantunya untuk melanjutkan kedudukannya sebagai pejabat Kapitein Arabieren di Batavia, dapat disetujui dan diterima oleh semua pihak. 


Koran Sinar Deli



Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy resmi mengundurkan diri secara terhormat sebagai kepala Golongan Arab di Betawi pada tanggal 31 Januari 1931, menandai akhir dari masa pengabdiannya yang panjang dan cemerlang. Jabatan tersebut kemudian dilanjutkan oleh menantunya, Syaikh Hassan Argoebi, yang juga merupakan murid dan sahabat seperjuangannya bersama Syaikh Ahmad Surkati.

Syaikh Hassan Argoebi adalah seorang alumnus dari Al-Irsyad di Batavia, berasal dari kota Pekalongan, yang setia mendampingi Surkati dalam segala kegiatan hingga akhir hayatnya. Bahkan, ia tetap bersama Surkati ketika kedua mata Surkati kehilangan kemampuan penglihatannya (buta total), menunjukkan kesetiaan dan dedikasi yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya sebagai murid dan teman sejati.

Syaikh Umar Yusuf Manggusy meninggal dunia pada tahun 1940, pada usia 81 tahun, meninggalkan jejak panjang dalam sejarah Batavia. Dikutip dari buku "Hikayat Kapitein Arab di Nusantara" (halaman 30), pemakamannya di pekuburan wakaf Syaikh Said Naum di Tanah Abang menjadi momen yang penuh haru biru bagi seluruh masyarakat, terutama dari kalangan keturunan Arab di Batavia. Kehadiran mereka, termasuk keluarga besar Al-Irsyad, menjadi bukti penghormatan terakhir bagi sosok yang sangat dihormati dan dihargai oleh warga koloninya.

Bahkan, kehadiran Ustadz Abdullah Agil Badjerei, yang saat itu menjabat sebagai Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Al-Irsyad, menjadi perwakilan yang sangat berarti dari keluarga almarhum. Dengan demikian, pemakaman Syaikh Umar Manggusy tidak hanya merupakan akhir dari kehidupan seorang tokoh, tetapi juga menjadi momen untuk merenungkan warisan dan pengaruhnya yang besar bagi masyarakat Batavia dan sekitarnya.

Pemakaman Syaikh Umar Yusuf Manggusy menjadi momentum penting yang dihadiri oleh sejumlah pejabat Belanda, mencerminkan pengaruh dan statusnya yang mendalam dalam masyarakat Batavia pada saat itu. Kehadiran para perwakilan dari Gouverneur-Generaal dan berbagai pejabat lainnya, termasuk wakil resident Batavia, Patih, hoofd-Djaksa van Batavia, dan pimpinan Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij, menunjukkan pengakuan atas jasa-jasa dan pengaruh yang dimiliki oleh Manggusy dalam kehidupan sosial dan politik koloni tersebut.

Berita akan wafatnya Syaikh Umar Manggusy juga tersebar luas dan dipublikasikan dalam berbagai surat kabar, termasuk "Soerabaijash Handelsblad" yang memuat ucapan dan ungkapan duka cita pada tanggal 12 April 1940. Hal ini menegaskan bahwa Manggusy bukan hanya dihormati di kalangan masyarakat lokal, tetapi juga diakui secara luas oleh media dan otoritas kolonial Belanda sebagai sosok yang berpengaruh dan bermartabat.

Selama hidupnya, Syaikh Umar Manggusy telah mendapatkan berbagai pujian dan penghargaan, ditandai dengan pemberian berbagai medali dan bintang kehormatan. Ini merupakan bukti konkret dari apresiasi yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat atas kontribusinya yang besar dalam memajukan kesejahteraan dan kemajuan koloni Batavia. Keberadaannya tidak hanya dihormati pada saat pemakamannya, tetapi juga akan dikenang dan dibanggakan selamanya.


Tulisan lama yang diperbaharui kembali pada 13 Maret 2024.



Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Syaikh Umar Manggusy, pembela Al-Irsyad nomor wahid"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel