RM Tirto Adhi Soerjo dan Jejaknya di Kota Bogor
Pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2021, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto—dengan busana ala seorang priyayi Jawa—meresmikan perubahan nama Jalan Kesehatan menjadi Jalan RM Tirto Adhi Soerjo. Peresmian itu dilakukan di kawasan Tanah Sareal, tak jauh dari GOR dan Gedung Pemuda Pajajaran Bogor.
Nama Jalan Kesehatan sebelumnya dikenal karena di sepanjang ruas tersebut berdiri Kantor Dinas Kesehatan Kota Bogor. Namun jauh sebelum itu, kawasan ini memiliki sejarah panjang: dahulu merupakan arena pacuan kuda peninggalan zaman Hindia Belanda, yang pada akhir 1970-an, di masa Wali Kota Achmad Syam, disulap menjadi kawasan perumahan elit dan pusat kegiatan olahraga. Dari sanalah kemudian lahir Lapangan Sepak Bola Purana, yang kini dikenal sebagai Stadion Pajajaran.
Tirto dan Bogor: Persinggahan Sejarah
Bagi warga Bogor, nama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo bukanlah nama asing. Tokoh yang diakui sebagai Bapak Pers Indonesia ini memiliki ikatan sejarah yang erat dengan kota ini sejak masa kolonial, ketika Bogor masih bernama Buitenzorg.
Tirto, yang nama aslinya Raden Mas Djokomono, pernah bermukim sementara di kota ini, bahkan dimakamkan di TPU Blender, Pondok Rumput, Bogor, setelah sebelumnya jasadnya dipindahkan dari Jakarta. Di Bogor pula, sembilan tahun sebelum wafatnya pada 1918, Tirto bersama para saudagar Arab di Kampung Empang mendirikan Sjarekat Dagang Islamijjah (SDI) pada 5 April 1909.
Jejak Awal Kebangkitan
Perkumpulan itu didirikan beriringan dengan semangat kebangkitan ekonomi umat Islam, dan sering dibandingkan dengan Sjarekat Dagang Islam di Laweyan, Solo, yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. Sebagian sejarawan meyakini bahwa SDI di Solo sebenarnya merupakan cabang dari SDI bentukan Tirto di Buitenzorg, sementara versi lain berpendapat keduanya berdiri secara terpisah—perbedaan itu antara lain terlihat dari nama: Islamijjah (dengan tambahan “ijjah”) pada versi Tirto.
Dalam buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara, disebutkan bahwa SDI versi Tirto justru dituduh oleh Belanda sebagai organisasi tandingan untuk menyaingi SDI Solo. Namun, tudingan itu tak sepenuhnya benar. Tirto mendirikan SDI dengan tujuan mulia:
“Menjaga kepentingan kaum Muslimin di Hindia.”
(tirto.id)
Dalam kepengurusan SDI versi Bogor ini, terdapat beberapa tokoh bumiputra seperti Muhamad Dagrim, Mas Ralioes, dan Haji Mohammad Arsjad, yang duduk bersama para saudagar Arab terkemuka.
Hotel Passer Baru dan Jejak di Pecinan
Selama masa pendirian SDI, Tirto tinggal di Hotel Passer Baru, sebuah bangunan tua di kawasan Pecinan Bogor dekat Kelenteng Hok Tek Bio. Di sinilah ia banyak menulis, berdiskusi, dan berjuang melalui pena. Kini bangunan itu tinggal kenangan, terbengkalai, rapuh, dan menunggu waktu untuk lenyap dari peta kota.
Sang Pemoela dan Pena Perlawanan
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam karya monumental Sang Pemoela melukiskan sosok Tirto sebagai pelopor intelektual bangsa. Melalui koran Medan Prijaji (1907), Tirto menjadi orang pertama yang menggunakan media berbahasa Melayu sebagai alat perlawanan terhadap kebijakan kolonial. Ia berani menulis kecaman terhadap ketidakadilan, seperti kasus penindasan buruh perkebunan di Deli, Sumatra Timur, pada 1909.
Dengan demikian, pandangan yang menyebut SDI bentukan Tirto sebagai “organisasi bayangan” buatan Belanda jelas keliru. Justru Tirto, dengan idealismenya, berusaha memerdekakan kaum tertindas dari dominasi bangsawan dan pejabat kolonial, dengan menjalin kerja sama dengan para saudagar independen.
Hubungan dengan Laweyan dan Rekso Roemekso
Fakta menarik lainnya, Tirto ternyata pernah membantu Haji Samanhoedi dalam proses legalisasi perkumpulan Rekso Roemekso di Solo, organisasi pedagang batik pribumi yang menentang dominasi para cukong Tionghoa dari ormas Kong Sing. Tirto turut menyusun Anggaran Dasar perkumpulan tersebut, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya SDI Laweyan.
Hal ini sekaligus memperkuat argumen bahwa Tirto bukan musuh SDI Solo, melainkan pendukung dan penggerak semangat yang sama: kemandirian ekonomi umat dan kesetaraan sosial.
Akhir Hayat Sang Pelopor
Tirto adalah anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Tirthodipoero, merupakan seorang ambtenar yang bekerja di kantor pajak pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Tirto diasuh oleh neneknya, Raden Ayu Tirtonoto. Dari sang nenek, ia mendapat didikan untuk menjadi pribadi yang mandiri, sekaligus tumbuh dengan jiwa kewirausahaan yang kuat.
Nasib Tirto berubah drastis setelah ia ditangkap dan diasingkan oleh Belanda pada awal 1912-an. Setelah menjalani pembuangan di Maluku, ia pulang dalam keadaan tertekan, sakit, dan selalu diawasi. Kondisi fisik dan jiwanya kian memburuk hingga akhirnya wafat pada 7 Desember 1918 di Batavia, pada usia 38 tahun.
Meski hidupnya berakhir dalam kesepian, api perjuangannya terus menyala. Melalui karya jurnalistiknya Soenda Berita (1903–1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908), ia meletakkan dasar bagi pers nasional Indonesia. Karena itu, pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar “Bapak Pers Indonesia.”
Para Saudagar dan SDI Bogor
Dalam buku Sang Pemoela, Pramoedya mencatat susunan pengurus awal Sjarekat Dagang Islamijjah Bogor sebagai berikut:
- Presiden: Sjech Achmad bin Abdoerachman Badjenet (saudagar)
- Wakil Presiden: Mohamad Dagrim (dokter)
- Komisaris: Sjech Achmad bin Said Badjenet, Sjech Galib bin Said bin Tebe, Sjech Mohamad bin Said Badjenet, Mas Ralioes, Haji Mohammad Arsyad
- Kasir: Sjech Said bin Abdoerachman Badjenet
- Sekretaris-Advisor: RM Tirto Adhi Soerjo
Kantor pusatnya berlokasi di Jalan Tanjakan Empang, diduga kuat di sekitar area yang kini menjadi SDN Empang, dekat Bogor Trade Mall di Jalan Raden Saleh Sjarif Boestaman.
Dari SDI ke SI: Lintasan Sejarah
Meski tidak ditemukan catatan resmi pembubaran SDI Bogor, para tokohnya kemudian banyak yang bergabung dalam Syarekat Islam (SI) setelah 1912, seiring menguatnya gerakan nasional yang dipelopori oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, “Raja Jawa Tanpa Mahkota.”
Tokoh penting lain dari kalangan saudagar Arab, Sjech Galib bin Said Tebe, tercatat berperan besar dalam SDI dan kemudian aktif dalam SI di Batavia dan Bogor. Ia bahkan terlibat pada masa awal kelahiran Al-Irsyad Al-Islamiyyah (1914), yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Soorkatty, serta membuka cabangnya di Bogor pada 1928.
Warisan yang Tak Lekang
Keluarga Badjenet merupakan penyokong utama SDI Bogor. Salah seorang di antaranya, Sjech Ahmad bin Said Badjenet, kelak menjadi Hoofd der Arabieren di Bogor (1921–1929). Mereka dikenal dermawan dan berperan dalam pendidikan, termasuk mendirikan lembaga Student Hadharimah di Mesir, yang pernah diajar oleh Ali Ahmad Bakatsir, pengarang karya Audatul Firadus (Kembalinya Surga yang Hilang).
Tokoh lain, Haji Mohammad Arsyad, diduga kuat adalah Gusti Haji Mohammad Arsyad, tokoh keturunan Kesultanan Banjar yang diasingkan ke Empang bersama istrinya Ratu Zaleha. Tempat pengasingan mereka kini dikenal sebagai Gang Banjar, saksi bisu pertemuan antara sejarah Bogor, perlawanan, dan pengasingan.
Kini, nama RM Tirto Adhi Soerjo diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bogor bukan semata penghormatan simbolik, melainkan penegasan bahwa dari kota inilah semangat kebangkitan bangsa ikut berakar.
Ia adalah pelopor yang menulis sejarah dengan pena, menyalakan api perlawanan dengan kata, dan meninggalkan warisan yang terus menyala:
kesetaraan, kemerdekaan berpikir, dan keberanian untuk bersuara.
Abdullah Abubakar Batarfie
Selamat Hari Pahlawan dan ucapan selamat atas diresmikannya nama ruas jalan yang telah mengabadikan RM Tirto Adhi Suryo di kota Bogor oleh Bapak Bima Arya
.jpeg)
Posting Komentar untuk "RM Tirto Adhi Soerjo dan Jejaknya di Kota Bogor"
Posting Komentar