Kebijakan "Wijkentelsel & Passenstelseel" Dan Pengangkatan "Luitenant Hoofd der Arabieren" di Empang

Resepsi Acara Pelantikan
Sjaich Ahmad bin Said Bajened
sebagai Luitenant Hoofd der Arabieren
Tahun 1921 di Kediamannya

Pada Abad ke-18, jejak kolonialisme Belanda mulai terlihat dengan pemberlakuan pengelompokan penduduk berdasarkan etnis, yang dikenal sebagai koloni. Etnis Arab dan komunitas Islam lainnya yang berasal dari timur asing lainnya seperti India, disatukan dalam satu kelompok. Seiring dengan perkembangan, koloni ini kemudian dikenal sebagai "kampung Arab" yang dipimpin oleh seorang Hoofd der Arabieren, atau Kapiten. Jika jumlah penduduk Arab tidak terlalu banyak, pemimpin koloni diberi pangkat Letnan atau Liutenant der Arabieren. Ini adalah cerminan dari kebijakan politik etis kolonial yang mencerminkan kompleksitas atas pengawasan yang ketat terhadap penduduk jajahannya.

Menurut Mr. Hamid Al-Gadri dalam bukunya “Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab”, ketika menempatkan etnis Arab ini terkait erat akibat sistem "Wijkenstelsel & Passenstelsel", sebuah aturan kependudukan yang lokalisasinya diatur berdasarkan etnis. Tujuan utamanya adalah untuk menjauhkan penduduk pribumi dari pengaruh-pengaruh asing yang dianggap mengancam. Dengan demikian, keberadaan etnis Arab menjadi bagian dari strategi kontrol sosial dan politik yang diberlakukan oleh penjajah secara ketat pada masa itu.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap koloni Arab memperlihatkan pengetatan yang lebih ketat dibandingkan dengan koloni etnis lainnya. Hal ini dilakukan dalam upaya memisahkan komunitas Arab dari penduduk asli, karena dianggap bahwa pengaruh orang-orang Arab dapat membahayakan stabilitas politik Belanda di Hindia Belanda. Banyak pemberontakan di Tanah Air disebut-sebut memiliki akar yang berasal dari komunitas Arab. Selain itu, kelahiran beberapa organisasi seperti Jamiatul Kher, Syarekat Islam, dan Al-Irsyad dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Penunjukan seseorang sebagai Kapten atau Letnan Arab oleh Pemerintah Belanda bertujuan untuk menjadikannya sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah kolonial. Tugasnya mencakup pengumpulan informasi statistik tentang jumlah anggota koloni yang berada di bawah kendalinya, termasuk kelahiran, kematian, dan kedatangan pendatang baru. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab untuk menyebarkan peraturan-peraturan dan keputusan pemerintah kepada masyarakat, serta menjamin pemeliharaan hukum, ketertiban, dan keamanan lingkungan. Ini adalah bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk memperkuat kontrolnya atas wilayah tersebut melalui sistem administrasi yang terstruktur.

Karena jumlah penduduk dalam koloni Arab tidak sebanyak di Batavia atau kota besar lain seperti Surabaya, kepala kampung Arab Empang di Bogor, atau "Hoofd der Arabieren van Buitenzorg", diangkat dengan pangkat Letnan atau "Liutenant Hoofd der Arabieren". Sjaich Ghalib bin Said Thebe menjadi orang pertama yang ditunjuk dan dilantik oleh pemerintah kolonial Belanda sebelum tahun 1914 untuk menjabat dalam posisi tersebut.

Sjaich Ghalib bin Said Thebe
Luitenant Hoofd der Arabieren Pertama

Sjaich Ghalib bin Said Thebe, seorang pendatang dari Yaman Selatan yang berasal dari Hadramaut (sekitar tahun 1870), tiba di Indonesia pada sekitar tahun 1890, saat usianya baru menginjak 20 tahun. Meskipun masih muda, kedatangannya di Batavia, kota yang pertama kali dia singgahi untuk berdagang, membawanya menuju kesuksesan yang cepat. Dalam waktu singkat, dia menjadi seorang saudagar terkemuka dan terhormat, bahkan masuk dalam daftar orang terkaya di Batavia maupun di Buitenzorg.

Menurut beberapa sumber, Sjaich Ghalib memiliki keterlibatan bisnis dengan Behn Meyer & Co, sebuah perusahaan obat dan kimia terkemuka dari Jerman. Keterlibatannya dalam bisnis ini menunjukkan kecakapan dan jaringan yang luas, serta kemampuannya untuk menjalin hubungan bisnis yang sukses di tingkat internasional. (Sumber: Buku "Bisnis dan Sejarah: Jejak Perdagangan di Hindia Belanda" oleh Dr. Abdul Rahman)

Keberhasilan Sjaich Ghalib sebagai seorang saudagar tidak hanya mencerminkan keuletannya dalam dunia perdagangan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang pada masanya. Kisah suksesnya menggarisbawahi pentingnya semangat wirausaha dan dedikasi dalam mencapai kesuksesan, meskipun berasal dari latar belakang yang sederhana.



Sjaich Abubakar bin Abdullah Abbad
Luitenant Hoofd der Arabieren Ke-2
( Periode 1914 - 1921 )

Kedudukan Sjaich Ghalib bin Said Thebe sebagai "Hoofd der Arabieren" yang berpangkat "Luitenant" di Buitenzorg kemudian digantikan oleh Sjaich Abubakar bin Abdullah Abbad. Pergantian ini terjadi pada masa pemerintahan Alexander Willem Frederik Idenburg, yang menjabat sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dari tanggal 18 Desember 1900 sampai dengan tanggal 21 Maret 1916. Sebelum menjadi Gubernur - Jenderal Hindia Belanda, Idenburg pernah menjadi Gubernur Suriname, dari tahun 1905 - 1908. Sekitar 20 tahun setelah ia berhenti, menantunya Abraham Armold Lodewijk Rutgers juga menjadi Gubernur Jenderal di Suriname.

Saich Abubakar bin Abdullah Abbad yang  diangkat sebagai "Hoofd der Arabieren" dengan pangkat "Luitenant", resmi dilantik berdasarkan besluit yang di tandatangani oleh Alexander Willem Frederik Idenburg  pada tanggal 17 April 1914. 


Alexander Willem Frederik Idenburg
 (23 Juli 1861 – 28 Februari 1935)


Sjaich Abubakar bin Abdullah Abbad mewarisi tanggung jawab penting untuk memimpin komunitas Arab di Buitenzorg setelah Sjaich Ghalib. Sebagai seorang Kapiten Arab, tugasnya mencakup berbagai aspek administratif dan sosial dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan, serta menjadi perantara antara masyarakat Arab dan pemerintah kolonial.

Sjaich Abubakar Abbad, dalam satu momen menarik, mengajukan protes langsung kepada Alexander Willem Frederik Idenburg, karena merasa tidak adil bahwa kedudukannya sebagai Kapten tidak setara dengan pangkat kepala koloni Arab di Batavia. Ini mencerminkan perjuangan dan aspirasi yang kuat dari komunitas Arab di Hindia Belanda untuk mendapatkan pengakuan yang setara dalam struktur pemerintahan kolonial. Peristiwa ini juga menyoroti dinamika sosial dan politik yang kompleks di koloni Arab, di mana isu kesejahteraan dan hak-hak sipil menjadi fokus utama.


Portrait of Dirk Fock 
by Jan Frank Rijksmuseum Amsterdam


Kedudukan Sjaich Abubakar bin Abdullah Abbad yang berkedukan sebagai "Luitenant Hoofd der Arabieren, kemudian digantikan oleh Sjaich Ahmad bin Said Bajened yang ditunjuk dan dilantik atas berdasarkan Besluit dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 13 Oktober 1921, pada masa kekuasan Gubernur Jenderal Hindia - Belanda dipimpin oleh Mr. Dr. Dirck Fock, yang memerintah antara tanggal 24 Maret 1921 sampai 6 September 1926. 


Sjaich Ahmad bin Said Bajened
Luitenant Hoofd der Arabieren Ke-3
( Periode 1921 - 1929 )

Penunjukan Sjaich Ahmad bin Said Bajened sebagai kepala komunitas Arab menandai momen penting, karena ini merupakan kali kedua keluarga al Bajened memegang tampuk kepemimpinan. Pada tahun 1890-an, saat jumlah orang Arab masih kurang dari 300 jiwa dan belum memenuhi syarat untuk memiliki kepala koloni Arab resmi berpangkat Luitenant, mertuanya, Sjaich Abdurrahman bin Abdullah Bajened, pernah ditunjuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai "wijkmeester", atau Kepala Kampung Arab di Empang. Mertuanya dianggap sebagai tokoh terkemuka dalam komunitas Arab di Buitenzorg, sementara kedua anaknya, termasuk ipar Sjaich Ahmad bin Said Bajened, dianggap sebagai pionir dalam pemikiran progresif dan modern pada zamannya.

Anak-anak Sjaich Abdurrahman bin Abdullah Bajened, Ahmad dan Said, atau ipar Sjaich Ahmad bin Said Bajened, terkenal karena keahlian bahasa mereka yang luar biasa. Selain Arab dan Melayu, mereka juga menguasai bahasa Inggris, Prancis, dan Turki. Bersama-sama, mereka dikenal sebagai aktivis Islam yang gigih, terutama dalam gerakan Sjarekat Islam, setelah organisasi Sjarekat Dagang Islamijjah yang mereka rintis, memfusikan diri kedalam Syarekat Islamiyyah. 

Kedua bersaudara, Ahmad bin Abdurrahman Bajened dan Said bin Abdurrahman Bajened, adalah alumni dari "Asiret Mektebi" di Istanbul, Turki. Sekolah ini didirikan pada tahun 1892 oleh Sultan Abdul Hamid II dan menjadi tempat pembelajaran khusus bagi pelajar dari Hindia Belanda. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Ottoman Turki atas inisiatif Konsul Turki di Batavia, Mehmed Kamil Bey, sebagai bagian dari kampanye Pan-Islamisme pada tahun 1898.


 Portret van Gouverneur-Generaal De Graeff Collectie Tropenmuseum


Meskipun Sjaich Ahmad bin Said Bajened hanya menjabat sebagai "Luitenant Hoofd der Arabieren" di Buitenzorg selama 8 tahun, kontribusinya sangat berarti. Setelah itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda menunjuk penggantinya, Sjaich Salim bin Awab Balweel, yang dilantik pada tanggal 27 Juli 1929 berdasarkan keputusan Gouvernur-general van Nederlands Indie, Andries Cornelies Dirk de Graeff.

Jonkheer Mr. En Dr. Andries Cornelies Dirk de Graeff (1972-1957), memerintah sebagai Gubernur Jenderal - Hindia Belanda antara tanggal 7 September 1926 sampai dengan 11 September 1931.


Sjaich Salim bin Awab Balweel
Luitenant Hoofd der Arabieren Ke-4
( Periode 1929 - 1937 )


Sjech Salim bin Awab Balweel merupakan salah satu pemilik lahan luas di Empang yang terletak menghadap ke arah utara Alun-alun. Penunjukannya diyakini bersifat politis, sebagai hasil dari kompromi antara tokoh-tokoh terkemuka Arab di Buitenzorg dan Batavia untuk memulihkan kehormatan dan reputasinya. Ini terjadi setelah berakhirnya konflik internal di antara orang-orang Arab non alawi di Batavia antara tahun 1922 hingga 1924, yang melibatkan campur tangan pemerintah Hindia Belanda dan konsul Inggris di Batavia.

Sebelum menetap di Buitenzorg, Sjaich Salim bin Awab Balweel membangun reputasi dan kekayaan di kawasan Molenvliet Ost, Batavia, dengan memiliki sejumlah properti yang luas. Salah satu asetnya yang paling mencolok adalah lahan yang sekarang menjadi bagian dari kawasan Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta Utara. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang secara pasti mengonfirmasi asal usul nama Kampung Salemba di Jakarta Pusat, namun legenda menyebutkan bahwa nama ini diambil dari singkatan namanya; "Salem Balweel", sebagai penghormatan atas kepemilikan lahan luasnya di kawasan tersebut.

Kisah ini menciptakan aura misteri dan kekaguman terhadap warisan sejarah Sjaich Salim bin Awab Balweel, yang tidak hanya menjadi figur penting dalam sejarah perkembangan wilayah Jakarta, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi dan sosial pada zamannya. Dengan kepemilikannya yang luas dan prestise yang diakui, namanya tetap dikenang dan dihormati dalam sejarah perkembangan kota Jakarta.

Pada awal kelahiran Jamiatul Kher di Pekojan, Batavia, pada tahun 1901, perkumpulan ini awalnya beroperasi tanpa pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. Namun, setelah upaya yang berkelanjutan, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1903, perkumpulan ini resmi mendapatkan pengakuan dan pengesahan hukum dari pihak kolonial. Sjaich Salim bin Awab Balweel memainkan peran penting dalam kepengurusan perkumpulan tersebut, menjabat sebagai wakil Ketua pada tanggal 9 April 1906. Di bawah kepemimpinannya, kepengurusan perkumpulan ini dipimpin oleh Idrus bin Abdullah al-Masyhur sebagai Ketua, dengan Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad Syahab sebagai Bendahara.

Selain itu, Sjaich Salim bin Awab Balweel juga dikenal sebagai ketua umum pertama Jam’iyyah Al Ishlaah wal Irsyad al ‘Islamiyyah, sebuah organisasi yang didirikan pada 6 September 1914 di Batavia. Namun, masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama, karena organisasi ini kemudian dilanda konflik pada dekade tahun 1920-an. Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 1922, ketika tekanan dan perseteruan di antara orang-orang Arab, khususnya di Batavia, menjadi tidak tertahankan. Akibatnya, Sjaich Salim bin Awab Balweel memutuskan untuk secara resmi keluar dari organisasi yang didirikan oleh Sjaich Ahmad Surkati, mengakhiri masa kepemimpinannya yang singkat namun penting dalam sejarah organisasi tersebut.


Sjaich Awab bin Muhammad Al-Garwi
Luitenant Hoofd der Arabieren ke-5
( Periode 1937 - 1941 )


Pada tanggal 13 Juli 1937, sebuah keputusan penting diumumkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Melalui besluit yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Sjaich Awab bin Muhammad Al-Garwi ditunjuk dan dilantik sebagai Kapten Arab, menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh Sjaich Salim bin Awab Balweel. Sjaich Salim telah memimpin kampung Arab di Empang, Bogor selama 8 tahun lamanya. Kepindahan kepemimpinan ini mengisyaratkan pergantian era dalam dinamika komunitas Arab di wilayah tersebut.


Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer


Empat tahun berikutnya, pada tanggal 5 Juni 1941, pemerintah Belanda kembali membuat keputusan baru. Melalui besluit yang sama dari Gubernur Jenderal Alidius Tjarda, Sjaich Ahmad bin Islam Balweel dilantik sebagai "Luitenant Hoofd der Arabieren" di Buitenzorg yang terakhir. Penunjukan ini menjadi penutup dari periode pendudukan Belanda di Indonesia. Ini adalah langkah terakhir dalam pembentukan kepemimpinan koloni Arab di bawah kekuasaan Belanda, menandai akhir dari satu babak sejarah dan awal dari babak baru dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.


Sjaich Ahmad bin Islam Balweel
Luitenant Hoofd der Arabieren Ke-6
( Periode 1941 - 1942 )


Selain menunjuk Kapten atau Luitenant Hoofd der Arabieren untuk memimpin koloni Arab, pemerintah Belanda juga mengangkat seorang "HoofdPenghoeloe" Arab. Tugasnya bukan hanya mengurus administrasi, tetapi juga menangani masalah-masalah keagamaan dan perkara syariat Islam bagi anggota koloni yang berada di bawah pengawasannya. Ini mencakup segala hal mulai dari urusan pernikahan, perceraian, hingga masalah kematian dan pembagian warisan, termasuk juga hal-hal yang terkait dengan wakaf, hibah, dan zakat.

Dalam catatan sejarah yang ditemukan oleh para peneliti, terdapat satu nama HoofdPenghoeloe Arab yang menonjol dan memegang jabatan tersebut untuk jangka waktu yang cukup lama, bahkan hingga masuk ke masa kemerdekaan Indonesia. Dialah Sjaich Abdullah Bahanan, atau yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Moeallim Bahanan. Kediamannya terletak tidak jauh dari Pekojan, di pertigaan lampu merah Empang, sebuah lokasi yang sejak zaman dahulu dikenal sebagai pusat kegiatan bagi pemilik toko kitab Bahanan.

Keberadaan Moeallim Bahanan tidak hanya mencerminkan peran pentingnya dalam urusan agama dan syariat Islam bagi komunitas Arab di Hindia Belanda, tetapi juga menunjukkan kesinambungan budaya dan tradisi keagamaan yang kental di wilayah tersebut. Sebagai tokoh yang dihormati dan diandalkan, Moeallim Bahanan memberikan kontribusi yang berharga dalam memelihara dan memperkuat identitas keagamaan dan budaya komunitas Arab di masa lampau.


Sjaich Abdullah Bahanan 
(Moeallim Bahanan)
HoofdPenghoeloe Arab

Untuk melacak jumlah pendatang awal dari komunitas Arab di Empang, sebenarnya dapat dilihat dari catatan kematian yang terdokumentasi dalam buku besar pemakaman wakaf Los, yang mulai dipergunakan sejak tahun 1898. Namun, sayangnya, keberadaan buku tersebut sulit untuk dilacak oleh para peneliti saat ini. Ini menimbulkan hambatan dalam upaya rekonstruksi sejarah awal komunitas Arab di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, masih terdapat sumber data primer lain yang belum dieksplorasi secara menyeluruh, yaitu arsip statistik yang disimpan di lembaga kearsipan peninggalan kolonial di Buitenzorg. Meskipun belum dikaji secara mendalam, arsip ini memiliki potensi besar untuk memberikan wawasan yang lebih dalam tentang demografi dan perkembangan komunitas Arab di Bogor pada masa lampau.

Dalam upaya untuk mengisi celah informasi ini, beberapa sumber lain yang dapat dianggap mewakili dan valid telah diidentifikasi. Menyelusuri catatan sejarah, kita menemukan bahwa beberapa keturunan Arab telah menetap dan tinggal di Bogor pada periode antara tahun 1880 hingga 1900. Meskipun hanya sebagian kecil dari gambaran keseluruhan, informasi ini memberikan titik awal yang berharga untuk pemahaman lebih lanjut tentang jejak dan kontribusi komunitas Arab di Bogor pada masa lalu.

Al-Attas, As-Segaff, Al-Habsyi, Al-Idrus, Al-Bawazir, Al-Baharmus, Ba-Fadhal, Ba-Jened, Al Sungkar, Al-Bakri, Askar, Al Breiki, Bin-Agil, Al-bin Munif, Al-Selan, Al-Bin Thalib, Bin Anuz, Al-bin Tebe, Bin Jabir, Ba-Baher, Al-Makarim dan Mahdami.  

Periode 1900 - 1940; 
Basalamah, Bahanan, Ba-Afiff, Batarfie, Basalmah, Bin-Syawi, Jawas, Bin Afiff, Basyebeh, Al-Tuway, Bahreisy, Al-Bathati, Al-Jabri, Balqohum, Al Abdat, Balweel, Tanfirah, Balfas, Bin Abdul Aziz, Al-Owaini, Al-Mahri, Barayyis, Bin Sahaq, As-Syabibi, Muda'da, Bin Bisyir, Bin Abri, Tharmoom, Audhah, Badekuk, Bawahab, Balobeid, Bin-Sa’dun, At-Tufah, Bin Harran, Ad Deqil, Hasanah, Bin Abbad, Sya'ar, Manggusy, Al-Watab, Al-Djum'an, Bareba, Bin Siddiq, Bin-Abud, Galghan, Bin Garwi, Al-Masri, Al-Haddad, Al-Muthohar, Al-Jufri, Al-Hereedz, Shahab, Al-Kaff, Baabud dan Al-Syathri.

Bogor 19 Syawal 1441 Hijriyyah atau bertepatan dengan tanggal 10 Juni 2020. Diperbaharui kembali pada 29 Febuari 2024.


Abdullah Abubakar Batarfie

4 Komentar untuk "Kebijakan "Wijkentelsel & Passenstelseel" Dan Pengangkatan "Luitenant Hoofd der Arabieren" di Empang"

  1. Assalamualaikum, tempat makamnya Syaikh Abu bakar bin abdullah abbad dimana ya, makamnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa ditanyakan ke salah seorang anak beliau yang kini masih hidup di Empang namanya Bapak Ali Abubakar Abbad. Insya Allah beliau (Syaikh Abubakar) dimakamkan di pemakaman wakaf Los Lolongok Empang

      Hapus
  2. Assalamualaikum, saya ada keturunan marga arab dari Bin abbad, nama ane Abdul hakim lama tinggal dibekasi, boleh tahu syaikh Ali bin abu bakar abbad alamat lengkapnya dimana ya? Saya mau tahu silsilah lengkap bin Abbad dari syaikh abu bakar bin Abdullah abbad dst...
    Suqron...

    BalasHapus
  3. Alamatnya di Gang Krupuk Empang, di lokasi itu nanti tanya saja kediaman ustadz/ami Ali Abbad.... insya Allah akan mudah menemukan rumahnya

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel