Jejak Kehidupan Mbah Dalem Sholawat di Bogor: Penelusuran Warisan Spiritual dan Kepemimpinannya

Raden Adipati Aria Suriawinata
Dalem Sholawat


Bagi sejumlah kalangan, Haul Kanjeng Dalem Sholawat yang ke-151 (Mei, 2023) di Masjid Agung At-Thoriyah yang penyelenggaraannya diinisiasi oleh generasi ke-7 Mbah Dalem Sholawat, yaitu Raden Muhammad Padmanagara, tentunya telah menjadi momen yang penuh makna dan istimewa bagi banyak orang yang hadir. Ribuan jamaah dari berbagai kota di Jawa Barat , Banten, DKI Jakarta, dan dari kota-kota lainnya tumpah ruah memadati masjid tertua dan bersejarah di kota Bogor tersebut.

Informasi penting tentang sejarah pendirian masjid tertua dan bersejarah di kota Bogor ini menjadi sangat menarik yang dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang warisan spiritual dan kearifan lokal di bumi tatar Sunda. Hubungan nasab yang panjang dan keterkaitannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Prabu Siliwangi dan Sunan Gunung Jati menegaskan peran penting masjid ini dalam membentuk identitas dan keberagaman budaya di wilayah tersebut.

Masjid yang resmi dibangun pada tahun 1815 ini, pendirinya adalah Raden Muhammad Thohir yang memiliki nasab langsung pada Prabu Siliwangi penguasa kerajaan Pajajaran. Sedangkan istrinya bernama Ratu Syarifah, yang nasabnya terhubung langsung kepada Raja Banten, yaitu Sultan Maulana Hasanudin, putra dari Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo yang silsilahnya disebut-sebut terhubung langsung kepada Baginda Nabi Muhammad S.A.W.

Informasi tersebut menggambarkan latar belakang yang menarik dari Raden Muhammad Thohir, yang juga dikenal sebagai Auliya Thohir Al Bughuri. Sebagai putera kesembilan dari Bupati Ke-7 Bogor, Raden Tumenggung Wiradiredja, dia memiliki warisan keluarga yang kaya dalam pemerintahan Bogor pada masa itu, dimana kedudukannya sebagai Penghulu Kampong Baroe telah menunjukkan peran pentingnya dalam struktur sosial dan politik pada saat itu. Raden Muhammad Thohir memiliki pemahaman dan pandangan yang kuat terhadap agama Islam, sehingga dia memilih untuk tidak menjadi Bupati atau Umaro seperti leluhurnya. Sebaliknya, dia lebih memilih peran sebagai Ulama untuk menyebarkan dakwah Islam dan mempengaruhi kebijakan politik penguasa Sunda dengan pendekatan nilai-nilai dari ajaran Islam.

Masjid Agung Empang dan Alun-Alun Tempo Dulu


Raden Adipati Wiradinata atau ayah dari Tumenggung Wiradireja yang merupakan kakek Raden Muhammad Thohir adalah Bupati Bogor ke-6 yang menjadi penerus tradisi kepemimpinan para Bupati di Bogor. Raden Adipati Wiradinata diperkirakan memerintah sebagai Bupati pada 1749-1758. Ayah Raden Adipati Wiradinata yang bernama Pangeran Wiramenggala, yang dikenal pula sebagai Raden Haji Aria Wiratanu Datar II atau digelari sebagai Mbah Dalem Tarikolot Cianjur, pernah mengukuhkan diri sebagai Bupati Cianjur ke-II, karena itu beliau terkenal dengan julukan "Dalem Mandiri", meski akhirnya Pemerintah Belanda mengakuinya sebagai Regent yang memerintah Cianjur pada 1691-1707.

"Penerusnya adalah anaknya yang bernama Dalem Aria Wiratanu III sebagai Bupati ke-III yang memerintah Cianjur 1707-1726. Dalem Aria Wiratanu III yang dikenali juga sebagai Dalem Cicondre yang memiliki nama Raden Astramanggala adalah ayah dari Raden Aria Wiratanu Datar IV, atau akrab disapa Ki Sabiruddin yang memerintah Cianjur sebagai Bupati ke-IV, yang kelak salah seorang cucunya, Nyi Raden Ayu Kendran binti Ki Muhiddin bergelar Dalem Aria Wiratanudatar V - Bupati Cianjur ke-V, dinikahi oleh R.A Wiranata putera Raden Muhammad Thohir".

"Pernikahan R.A Wiranata dengan Nyi Raden Ayu Kendran sekaligus mempertemukan leluhur nasab mereka yang sama-sama berasal dari Pangeran Wiramenggala yang bergelar Raden Haji Aria Wiratanudatar (Bupati Cianjur ke-II) atau Mbah Dalem Tarikolot. Dengan demikian nasab itupun terhubung sebagai berikut; Mbah Dalem Tarikolot bin Pangeran Ngabehi Jayasasana atau Raja Gagang yang bergelar Raden Aria Wiratanu I - Bupati Cianjur pertama yang dijuluki sebagai Mbah Dalem Cikundul".

"Mbah Dalem Cikundul bin bin Pangeran Aria Wangsa Goparna (Sunan Sagalaherang bin Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih/Sunan Ciburang) bin Raden Raga Mantri (Prabu Pucuk Umum/Raja Maja/Raja Talaga "bin" Munding Sari Ageung/Munding Dalem/Munding II/Prabu Munding Suria Ageung/Prabu Munding Wangi/Munding Sari "bin" Prabu Silih Wangi/Raden Pamanah Rasa/Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Pajajaran - Tahun 1521".

Penerus trah para Bupati Priyayi Sunda justru diteruskan oleh anak laki-lakinya yang bernama Raden Wiranata yang setelah dianugerahi gelar Raden Tumenggung (17 April 1813) dan Adipati (1 September 1815), Ia pun telah secara resmi dilantik menjadi Bupati Bogor ke-15 pada 1 November 1815. Oleh anak dan keturunannya, ia akrab disapa dengan sebutan Mbah Dalem Sepuh.

Mbah Dalem Sepuh adalah putera kedua dari Raden Muhammad Thohir dan Ratu Syarifah, yang merupakan anak dari Bangsawan Banten Pangeran Sogiri. Pangeran Sogiri adalah anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten ke-VI dan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perlawanan terhadap Belanda dan menolak perjanjian monopoli perdagangan, yang menginginkan Banten menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Perpindahan pusat pemerintahan dari Kampong Baroe, Soekaradja ke Kampung Soekaati, yang kemudian dikenal sebagai Empang, menandai perubahan penting dalam sejarah Bogor. Mbah Dalem Sepuh memainkan peran kunci dalam pembangunan dan perkembangan kawasan tersebut. Atas desakan dan permohonan yang diajukannya kepada Jacob Mossel, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1760-1761) pada masa itu, guna mendapatkan izin menempati lahan kosong bekas alun-alun luar Keraton Pakuan, sebagai lokasi baru pusat pemerintahan yang akan dipimpinnya, langkah strategis itu berdampak besar dalam perkembangan Bogor dikemudian hari. Penempatan pusat pemerintahan di lokasi tersebut tidak hanya mengubah lanskap fisik kota, tetapi juga memberikan dorongan bagi perkembangan administratif dan sosial di wilayah baru itu.

Seiring dengan berjalannya waktu,  perkembangan Empang yang kemudian perlahan mengubah identitasnya menjadi kampung Arab yang ramai, adalah cerminan dari migrasi dan interaksi budaya yang kaya di kawasan itu, dimana hal itu dimulai sejak ditetapkan kawasan bersejarah tersebut menjadi zona pemukiman bagi warga keturunan Arab akibat diberlakukannya aturan kependudukan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda atau "Passen en Wijken Stelsel", yaitu aturan untuk membatasi mobiltas dan percampuran antar etnis di negeri jajahan mereka. Warisan budaya dan sejarah yang terjalin di kampung Empang itu kini tidak hanya memperkaya keberagaman yang ada, tetapi juga menghidupkan aura kekayaan budaya yang masih terasa hingga sekarang.

Raden Adipati Aria Wiranata atau Mbah Dalem Sepuh, dengan jasanya dalam pembangunan irigasi, telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan pertanian dan pengembangan infrastruktur di wilayah tersebut. Irigasi yang menghubungkan sumber air dari sungai Cisadane ke sawah-sawah luas di sepanjang area pertanian, khususnya yang mengarah ke timur Batavia, merupakan langkah strategis dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat. Aliran sumber air ini dikerjakannya dengan pembuatan sobekan parit yang dimulai dari pintu Air Pulo Empang sekarang, dan karenanya telah menjadi fondasi penting dalam pengairan dan pertanian yang berkelanjutan di wilayah yang dilintasi oleh sobekan sungai Cisadane tersebut.

Penamapakan sobekan (canal) sungai cisadane untuk aliran irigasi pertanian yang dibuat oleh Raden Tumenggung Aria Wiranata
Sunber Foto ; Editing Coloring By Muhammad Affan Nasution pada postingan di Fb Teras Bogor



Dikutip dari catatan Bapak Rd.Endang Suhendar (Daeng Idang) dari situs rodovid, Mbah Dalem Sepuh, dari keempat garwanya (istri), memiliki 13 orang putera dan puteri. Dari pernikahan dengan Nyi Raden Ayu Kendran, mereka dikaruniai tujuh orang putera dan puteri, yaitu 1.Nyi Raden Ayu Hadji Radja, 2.Raden Adipati Surianata Wiranata yang bergelar Adipati Wanajasa atau Dalem Santri, 3.Nyi Raden Ayu Bentang, 4.Nyi Raden Ayu Domas, 5.Nyi Raden Ayu Surjanagara, 6.Nyi Raden Ayu Esin Kuraesin, dan 7.Raden Adipati Aria Suriawinata, yang terkenal dengan sebutan Mbah Dalem Sholawat. Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata dikenali pula dengan nama asli Raden Haji Muhammad Sirodz.

Nyi Raden Ayu Kendran, sebagai istri pertama Mbah Dalem Sepuh, memang memiliki peran yang penting dalam menentukan keturunan mereka yang kemudian meneruskan tradisi kepemimpinan para Bupati di wilayah tersebut. Dua dari anak laki-laki mereka, Raden Adipati Surianata Wiranata dan Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata, kemudian memegang peran sebagai Bupati, melanjutkan jejak kepemimpinan yang telah diletakkan oleh leluhur mereka. Ini menunjukkan pentingnya status muasal keluarga meski sedarah, dalam mempengaruhi struktur dan arah politik pada hirarki kekuasaan di kalangan menak Sunda.

Bahkan Raden Ayu Suryanagara, salah seorang puteri dari Raden Winata dengan Nyi Raden Ayu Kendran yang menikah dengan Raden Rangga Suryanagara, putera Bupati Cianjur ke-7 Raden Wiradireja, konon prosesi pernikahannya dilangsungkan di Istana Gubernur Jenderal di Buitenzorg yang dihadiri oleh para petinggi pemerintah Hindia Belanda, termasuk Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles dan kaum bangsawan dari kalangan elit Menak Sunda, dimana hal itu menunjukkan tingginya status sosial dan pentingnya hubungan keluarga dalam lingkungan pemerintahan kolonial pada masanya.

Nyi Raden Ayu Kendran berasal dari kalangan elit menak Sunda, yaitu puteri dari Raden Adipati Aria Wiratanudatar V, Bupati ke-V Cianjur, dikenal juga dengan nama lain Ki Muhidin yang merupakan cucu dari Dalem Cicondre atau Dalem Aria Wiratanu III. Dalem Cicondre Raden dikenal pual sebagai Raden Astramanggala. Peran dan keputusannya dalam memindahkan ibu kota Cianjur serta hubungannya dengan VOC memberikan gambaran penting tentang dinamika politik pada masa itu. Upayanya untuk mendapatkan gelar yang setara dengan Amangkurat, Sultan di Mataram menunjukkan ambisi politiknya yang dipandang berbahaya oleh VOC.

Informasi mengenai peran Raden Adipati Surianata Wiranata dan Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata dalam sejarah Karawang juga sangat menarik. Raden Adipati Surianata Wiranata, yang juga dikenal sebagai Raden Adipati Wanayasa, memiliki kontribusi besar dalam pembangunan Karawang dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Karawang ke Wanayasa. Sedangkan Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata, yang juga dikenal sebagai Raden Hadji Muhammad Sirodz, kemudian meneruskan jabatan saudaranya sebagai Bupati Karawang. Dia juga memainkan peran penting dalam perubahan lokasi pusat pemerintahan, memindahkannya kembali ke dusun Sindangkasih dan menamainya Purwakarta. Tindakan ini menandai awal dari pembentukan kota Purwakarta yang menjadi pusat administratif dan pusat kegiatan ekonomi di wilayah tersebut hingga sekarang, sebagaimana asal usul penamaan kota itu sendiri, Purwa berarti yang pertama dan Karta bermakna ramai. Lokasinya berada pada pusat Purwakarta sekarang, disekitar Situ Bueleud yang menjadi ikon di kota itu.

Raden Adipati Wanayasa wafat di tempat kedudukannya di Wanayasa pada 1828 dan dimakamkan pada lokasi yang sama di desa Nusa Situ Wanayasa, Purwakarta. Kedua istrinya Nyi Raden Salamah Sastradipura dan Nyi Raden Fatimah Komalaningrat Sastradipura, keduanya berasal dari kalangan elit menak Sunda, orang tua dan leluhurnya adalah para penerus dari tradisi kepemimpinan Bupati di Karawang.

Setelah masa tugasnya sebagai Bupati di Karawang ke-X berakhir, pelanjut dari kepemimpinan saudaranya Raden Adipati Wanayasa yang menjadi Bupati ke-IX, Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata kemudian kembali ke Bogor untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya Raden Adipati Aria Wiranata, Bupati Bogor ke-15 (1815-1849). Raden Adipati Aria Suriawinata resmi dilantik menjadi Bupati ke-16, menggantikan ayahandanya pada 21 Februari 1849.

Masjid Agung Empang yang menjadi central kegiatan spiritual dan selesai pembangunannya setelah resmi digunakan pada 1815 oleh Raden Muhammad Thohir, mengalami banyak penataan saat dikelola oleh cucunya Raden Adipati Aria Suriawinata, sebagai bagian dari upayanya dalam rangka pengembangan spiritual dan dakwah Islam di wilayah yang dipimpinnya.

Raden Adipati Aria Suriawinata Wiranata memang memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan spiritual dan dakwah Islam di wilayah Bogor. Selain sebagai pemimpin, dia juga aktif sebagai ulama dan memperkuat identitas spiritual masjid-masjid, termasuk Masjid Agung Empang. Julukan "Dalem Sholawat" mencerminkan kesalehan dan kegiatan rutinnya dalam mendawamkan sholawat, yang menjadi ciri khas dari identitas spiritual dan tradisi di masjid-masjid lama Bogor, termasuk tradisi membaca sholawat sebelum khutbah Jum'at yang masih berlanjut hingga saat ini di Masjid Agung Empang.

Raden Adipati Aria Suriawinata menikah dengan Nyi Ayu Raden Radjapermas atau akrab disapa dengan panggilan "Ibu Djero" yang bermakna "Ibu Dalam". Panggilan "Ibu Djero" yang diberikan kepada Nyi Ayu Raden Radjapermas menunjukkan penghormatan terhadap sikap taatnya dalam menjalankan ajaran syariat Islam. Keputusannya untuk tidak menampakkan diri kepada yang bukan mahramnya mencerminkan kesalehan dan kepatuhannya terhadap nilai-nilai agama. Ini adalah contoh nyata dari kesetiaan pada prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari yang dilakoninya sebagai istri utama Dalem Sholawat.

Ibu Djero yang dinikahi oleh Dalem Sholawat, tak lain anak dari puteri pamannya sendiri, puteri dari pasangan Nyi Raden Siti Fatimah/Ratu Mantria/Ratu Mutiara dengan Raden Haji Tumenggung Sastranegara yang pernah berkedudukan sebagai Bupati Purwakarta ke-11 (1849-1854) menggantikan kedudukannya sebagai Bupati sebelumnya (menantunya Raden Adipati Aria Suriawinata-Dalem Sholawat).

Raden Haji Tumenggung Sastranegara merupakan saudara sekandung ayahnya, Raden Wiranata, yaitu putera ke-8 anak pasangan Penghulu Kampung Baru Raden Haji Muhammad Thohir atau Auliya Thohir Al-Bughuri dengan Ratu Syarifah.

Nyi Raden Siti Fatimah/Ratu Mantria/Ratu Mutiara, ibu yang melahirkan Nyi Ayu Raden Radjapermas (Ibu Djero), adalah anak Raden Haji Kamil, cucu Pangeran Sake, atau Raden Syafruddin Shoheh putera Sultan Ageng Tirtayasa. Nasabnya inilah yang terhubung langsung dengan silsilah suami Ibu Djero, Mbah Dalem Sholawat dari garis neneknya Ratu Syarifah binti Pangeran Sogiri bin Sayyid Abul Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa) atau yang dijuluki dengan sebutan Pangeran Ratu, Sultan Banten ke-VI.

Raden Adipati Aria Suriawinata wafat13 Mei 1872. Meski ada sumber lain yang menyebutkan beliau wafat dan dimakamkan di tanah suci Mekkah, tapi kita dapat menjumpai makamnya yang berada dalam cungkup yang bersebelahan dengan kakeknya Aulia Kampung Baru, Raden Muhammad Thohir dan keturunannya, komplek pemakaman keluarga besar Dalem Sholawat yang lolasinya berada di dekat pintu Air Pulo Empang, berjarak kurang lebih 500 meter dari Masjid Agung At-Thohiriyah.

Dari istrinya Nyi Ayu Raden Radjapermas (Ibu Djero), Raden Adipati Aria Suriawinata (Dalem Sholawat), dikaruniai sembilan belas (19) orang putera puteri, mereka adalah; 1.Rd Surianingrat, 2.Nji Rd Siti Rahmah (Andung), 3.H Rd Musa, 4.Nji Rd Ratu, 5.Nji Rd Mariam, 6.Nji Rd Bisi, 7.Nji Rd Lenggang, 8.H Rd Ali, H 9.Rd Enggang Sulaeman, 10.Rd Surianagara, 11.H Rd Abdul Rahim, 12.H Rd Muhammad Soleh (Natadilaga), 13.Rd Entjang, 14.H Rd Sadikin, 15.Nji Rd Maemunah, 16.Nji Rd Komala, 17.Rd Tobri, 18.Nji Rd Entu Baninadjar dan 19.Rd Jusuf.

Sejak kematian suaminya Raden Adipati Aria Suriawinata (Dalem Sholawat), Ibu Djero (Nyi Ayu Raden Radjapermas) sempat menikah untuk yang kedua kalinya dengan Raden Kusumahdilaga atau adik satu bapak dengan Dalem Sholawat, anak Raden Adipati Aria Wiranata dari istri keempatnya (Ibu Cisarua). Pernikahan Ibu Djero bersama Raden Kusumadhilaga ini kemudian dikaruniai satu orang putera bernama Raden Habib Kusumahnagara.

Ibu Dejro menikah kembali untuk yang ketiga kalinya (terakhir) sejak setelah kematian suaminya yang kedua, dengan Hoofdpenghoeloe Tjilamaja Raden Adhilaga. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Nyi Raden Aisah, Nyi Raden Maeumunah (Eming Tjiteureup) dan Nyi Raden Patimah

Tulisan di atas menjadi sebuah potret yang sangat kaya akan sejarah dan budaya yang ada di kota Bogor. Dari detail-detail tentang kepemimpinan, struktur keluarga, peran dalam pembangunan, hingga pengaruh Islam di wilayah Bogor dan sekitarnya, semuanya insya Allah diharapkan dapat memberikan gambaran yang lengkap tentang warisan dan identitas budaya yang kaya akan bermanfaat pada nilai-nilai dan sejarah yang ada di kota Bogor sebagai kota Pusaka.

Bogor, 10 Februari 2024
Abdullah Abubakar Batarfie


Belum ada Komentar untuk "Jejak Kehidupan Mbah Dalem Sholawat di Bogor: Penelusuran Warisan Spiritual dan Kepemimpinannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel