7 Desember 1918 : Mengenang Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemoela dari Bogor

"Dalam lintasan sejarah kebangkitan Indonesia, tercatat dua perkumpulan yang sama-sama menandai geliat kesadaran kaum pribumi, keduanya bernama Sjarekat Dagang Islam dan Sjarekat Dagang Islamijjah, disingkat S.D.I."

Yang pertama, Sjarekat Dagang Islamijjah lahir di Bogor pada 5 April 1909, diprakarsai oleh jurnalis bumiputera visioner, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, bersama para saudagar Arab di kota itu. Sementara yang kedua, Sjarekat Dagang Islam tumbuh di kota Solo, dipimpin oleh Hadji Samanhoedi, seorang saudagar batik dari Kampung Laweyan.

Sjarekat Dagang Islam di Kampung Laweyan berakar dari perkumpulan Rekso Roemekso yang berdiri sejak 1905. Perkumpulan ini dibentuk untuk melindungi para pengusaha batik Laweyan dari gangguan keamanan serta persaingan ketat dengan pedagang Tionghoa yang kala itu berupaya memonopoli perdagangan batik. Karena terkendala izin dan belum dimilikinya Anggaran Dasar sebagaimana diwajibkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Rekso Roemekso kemudian meminta bantuan Tirto untuk membuatkan Anggaran Dasar perkumpulan tersebut, hingga pada akhirnya bertransformasi menjadi cabang S.D.I. Atas permintaan para anggotanya, Tirtho membantu menyusun Anggaran Dasar perkumpulan tersebut, sekaligus memperkuat eksistensinya sebagai bagian dari gerakan kebangkitan ekonomi Bumiputera. 

Kedua perkumpulan ini sama-sama menjadi cikal bakal bangkitnya kesadaran ekonomi dan sosial umat Islam di Hindia Belanda. Namun melalui pena tajam dan keberanian pikirannya, Tirto lah yang oleh Pramoedya Ananta Toer digambarkan sebagai "Sang Pemoela", pelopor kebangkitan intelektual Indonesia. 

Melalui koran yang dirintisnya, Medan Prijaji, Tirto menggerakan opini publik melawan ketidakadilan Kolonial, seperti kasus tragis yang menimpa buruh perkebunan di Deli, Sumatera Timur, tahun 1909. Media bagi Tirto bukan sekedar sarana informasi, melainkan senjata untuk membebaskan pikiran dan martabat bangsa. 

Bersamaan dengan semangat itulah Tirto menggagas pendirian Sjarekat Dagang Islamijjah di Bogor, sebuah wadah yang menghimpun kaum saudagar dan masyarakat Muslim untuk "menjaga kepentingan Kaoem Moeslimin di Hindia". Langkah ini bukanlah reaksi tandingan terhadap S.D.I di Solo, seperti yang kerap disalahpahami, melainkan ekspresi dari idealismenya untuk memajukan rakyat tanpa bergantung pada kaum bangsawan atau pejabat kolonial.

"Berbeda dengan Boedi Oetomo, yang gagasan pendiriannya lahir dari kalangan "prijaji jawa", organisasi ini sejak awal mencerminkan semangat kebangsawanan yang elitis. Bahkan, menurut sejumlah catatan, pada masa-masa awalnya Boedi Oetomo sempat menolak cita-cita persatuan nasional, dengan tidak membuka keanggotaannya bagi mereka yang bukan berasal dari golongan priyayi. Sikap eksklusif ini bukan tanpa sebab. Jika ditelusuri lebih jauh, beberapa sumber menyebut bahwa pendirian Boedi Oetomo justru diinisiasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, melalui tangan Bupati Serang, Banten, yang kala itu berperan sebagai perpanjangan kekuasaan Hindia Belanda di kalangan bangsawan pribumi."

Bagi Tirto, kemajuan sejati hanya mungkin dicapai bila rakyat jelata, "kaoem terprentah" yang disebutnya sebagai "seperempat manusia", mampu berdiri di atas kaki sendiri, mandiri secara ekonomi dan berpikir bebas.
Menurut Tirto, bila ingin memajukan Bumiputera, hendaknya jangan bergantung kepada priyayi yang mencari makan di pemerintahan, tapi harus diurus oleh orang yang bebas, mandiri dan berdikari, yakni "kaoem mardika".

Hubungan antara Tirto dan Hadji Samanhoedi justru menunjukan kedekatan idiologis, bukan persaingan seperti yang diprasangkakan oleh sejumlah kalangan. Dalam catatan sejarah, Tirto bahkan membantu mengurus legalitas Sjarekat Dagang Islam di Solo, menyusun Anggaran Dasar, dan memperkuat kedudukan hukumnya pada 9 November 1911. Ia melakukannya atas permintaan langsung Samanhoedi.

Fakta ini menegaskan bahwa, S.D.I Bogor tahun 1909 bukanlah organisasi "binaan Belanda" ataupun tandingan dari S.D.I Solo yang embrionya telah lahir lewat Rekso Roemekso pada pada tahun 1905, melainkan bagian dari semangat besar yang sama, kebangkitan bangsa melalui persatuan dan kesadaran ekonomi umat.

Adapun kemunduran S.D.I Bogor terjadi setelah akhir tahun 1912, ketika Tirto dibuang ke Maluku oleh Pemerintah Kolonial. Sebelumnya, pada awal 1910, Ia sempat dipenjara dua bulan karena dituduh menghina pemerintah lewat tulisannya. Tirto sempat dituding oleh Belanda, bahwa S.D.I bentukannya terafiliasi dengan gerakan Pan-Islamisme, tuduhan yang tak pernah terbukti. 

Tidak ditemukan pula bukti sahih bahwa S.D.I Bogor dibubarkan pada 1912 atau melebur ke dalam S.D.I Solo yang kemudian berubah menjadi Sjarekat Islam di bawah kepemimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, "Sang Raja Jawa tanpa Mahkota".

Sekembalinya dari pembuangan, penjara tanpa jeruji di tanah Maluku, kondisi Tirto kian terpuruk. Ia hidup dalam pengawasan ketat pemerintah kolonial, tubuhnya melemah dan jiwanya terguncang. 

Pada 7 Desember 1918, Tirto berpulang dalam kesunyian dan jasadnya dikubur dalam kawasan dekat Mangga Doea Abdat di Batavia, pada usia 38 tahun. Lima puluh lima tahun kemudian, tahun 1973, jasadnya dipindahkan ke pemakaman umum di Bogor oleh keluarga besarnya. Tanggal wafatnya "Sang Pemoela", kemudian ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Hari Pers Nasional, pengakuan atas jasanya sebagai Bapak Pers Indonesia. 

Menurut ulasan Randy Wirayudha dalam Historia, Sang Pemoela ternyata masih memiliki garis keturunan Pangeran Sambernyawa, bahkan disebutkan mengalir darah Arab dalam dirinya. Ia lahir di Blora dengan nama Raden Mas Djokomono, putra kesembilan dari sebelas bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan (Khan) Tirtodhipoero merupakan anak pegawai pajak, dan kakeknya R.M.T Tirtonoto, bupati Bojonegoro yang sebelum 1827 bernama Rajegwesi. Nama ibunya tak tercatat dalam sejarah, begitu pula tahun kelahirannya yang pasti. Ada yang menyebut 1875, seperti tertera di nisannya di Bogor, sementara Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Sang Pemoela menuliskan 1880 sebagai tahun kelahirannya.

Sepanjang hidupnya, Tirto pernah menerbitkan beberapa surat kabar penting: Soenda Berita (1903–1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Medan Prijaji tercatat sebagai surat kabar nasional pertama yang seluruhnya dikelola oleh pribumi, dari redaksi hingga percetakan, dan ditulis dalam bahasa Melayu. Dari ruang redaksi sederhana itulah Tirto mengobarkan semangat kebangsaan, jauh sebelum kata “Indonesia” menjadi identitas bersama.

Dalam laporan harian De Locomotief tertanggal 24 Agustus 1903, disebutkan edisi perdana Soenda Berita, sebuah mingguan berbahasa Melayu, penerbitannya dicetak oleh firma ternama G.Kolff & Co di Batavia. Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh di pers Melayu, menjabat sebagai editor, sementara JC Van Haeften, seorang pengacara dan avodkat di Batavia, bertanggung jawab atas konten hukum majalah tersebut. (Sumber Poestaha Depok)

 

Raden Ayu Siti Suhaerah

Penerbitan Soenda Berita di Cianjur pada tahun 1903 mendapat dukungan besar dari Bupati Cianjur, Raden Adipati Aria Prawiradiredja II, yang menyumbangkan dana sekitar 1000 gulden, jumlah yang sangat besar pada masa itu. Dukungan tersebut juga terjalin melalui hubungan keluarga, karena istri pertama Tirto yang dinikahinya pada 1903, Raden Ayu Siti Suhaerah, berasal dari keluarga bangsawan Cianjur. Dalam catatan lain disebutkan, ia kemudian menikah dengan Raden Ayu Siti Habibah, juga dari keluarga bangsawan setempat. Tirto tercatat menikah tiga kali, tiga di antara istrinya adalah termasuk Boki Fatimah, putri Sultan Bacan Moehammad Oesman Sadik, yang dikenal sebagai Prinses van Kasiruta. Pernikahan itu terjadi saat Ia berada di pengasingan pulau Maluku. Pada keluarga Fatimah itu pula Tirto mendapatkan dukungan finansial saat menerbitkan Medan Prijaji dari Oesman Sjah, kakak kandung sang putri."

Dari pengalaman jurnalistiknya yang berani hingga kiprahnya mendirikan perkumpulan bersama para saudagar Arab di Buitenzorg, termasuk tokoh pribumi seperti Hadji Mohamad Arsjad, Tirto akhirnya menemukan bentuk perjuangan yang paling jujur, melawan ketidakadilan dengan pena dan persaudaraan lintas kelas.

Melalui Sjarekat Dagang Islamijjah, ia menyalakan lentera kesadaran baru, bahwa kemerdekaan bangsa harus dimulai dari keberanian berpikir, menulis, dan bertindak secara merdeka.

Bekas Hotel Pasar Baroe di Pecinan

"Selama masa perintisan dan pengembangan Sjarekat Dagang Islam di Bogor, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo banyak menghabiskan waktunya di sebuah bangunan tua di kawasan Pecinan, tak jauh dari Klenteng Hok Tek Bio. Bangunan itu, dahulu dikenal sebagai Hotel Passer Baru, menjadi saksi bisu kiprahnya di kota hujan. Kini, sisa hotel bersejarah itu berdiri rapuh, menunggu waktu untuk benar-benar hilang dari ingatan"

Satu-satunya sumber tertulis yang mencatat susunan pengurus awal Sjarekat Dagang Islamijjah berasal dari karya sastra-nonfiksi Pramoedya Ananta Toer, berjudul Sang Pemoela. Dalam buku itu, tercatat susunan pengurus sebagai berikut:

Presiden: Sjech Achmad bin Abdoerachman Badjenet (saudagar), Wakil Presiden: Mohamad Dagrim (dokter), Komisaris: Sjech Achmad bin Said Badjenet, Sjech Galib bin Said bin Tebe, Sjech Mohamad bin Said Badjenet, Mas Ralioes, dan Hadji Mohamad Arsyad. Kasir: Sjech Said bin Abdoerachman Badjenet, Sekretaris Advisor: Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Kantor pusatnya disebut-sebut berlokasi di sebuah gedung sewaan di Jalan Tandjakan Empang, yang diperkirakan kini berada di sekitar SDN Empang, tak jauh dengan Hotel Bellevue yang terkenal di Buitenzorg, kini Bogor Trade Mall di Jalan Ir.Hadji Djuanda. Sebuah sketsa tentang rapat S.D.I telah dibuat oleh seorang seniman Bogor, Faisal MW, sketsa itu kemudian disempurkannya dan kini diabadikan menjadi salah satu lukisan koleksi pada Galeri Bumi Pariwara di kota Bogor, yang menggambarkan tentang tokoh Sang pemoela bersama para tokoh lainnya dengan apik.
Jalan Tanjakan Empang, menuju kampung Arab

Menariknya, meski dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial, S.D.I bentukan Tirtho hanya memiliki izin dari Kepala Pengadilan Negeri Bogor, belum dari Gubernemen. Namun hal itu tak menyurutkan langkah mereka. Kegiatan organisasi tetap berjalan aktif, bahkan berhasil mengangkat C.J. Feith, Asisten Residen Buitenzorg, sebagai pelindung resmi perkumpulan tersebut. 

Sjech Galib bin Said Tebe adalah saudagar Arab berpengaruh yang berperan penting dalam awal pergerakan kebangsaan. Ia aktif di Sjarekat Islam di Batavia dan Buitenzorg, serta menjadi tokoh penting dalam masa awal berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dipelopori Syaikh Ahmad Soorkatty pada 1914. Galib juga terlibat dalam pembukaan cabang Al-Irsyad di Bogor pada 1928.

Nama Hadji Mohamad Arsjad diduga kuat merujuk pada nama Goesti Hadji Mohammad Arsjad, tokoh buangan asal Kesultanan Banjarmasin putera Panembahan Muda Muhammad Said yang diasingkan Belanda ke Empang, Buitenzorg pada 1 Agustus 1904, disisul kemudian istrinya Ratoe Zaleha puteri Sultan Muhammad Seman pada 1906, bersama anggota keluarga pagustian lainnya . Mereka adalah penerus perjuangan Pangeran Antasari, pemimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kawasan yang dulu menjadi tempat pembuangannya, hingga kini dikenal sebagai Gang Banjar di Kampung Arab Empang.

Sultan Muhammad Seman (1836–1905) dan Pangeran Muhammad Said (memerintah 1862–1875) adalah dua bersaudara, putra Pangeran Antasari, yang mewarisi semangat perjuangan ayahandanya dalam mempertahankan Kesultanan Banjar. Setelah Antasari wafat, Muhammad Seman memimpin Pagustian dari pedalaman Murung Raya hingga gugur pada 1905, sementara Muhammad Said dikenal sebagai Panembahan Muda, penerus tahta Banjar yang tetap menjaga martabat dan perlawanan bangsanya di tengah tekanan kolonial.

Keluarga Badjened, yang hampir seluruh anggotanya menempati posisi penting dalam Sjarekat Dagang Islamijjah, menjadi penopang utama lahirnya perkumpulan tersebut. Salah satunya, Sjech Ahmad bin Said Badjened, dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan Student Hadharimah di Mesir. Dari lembaga ini pula muncul Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan dan propagandis kemerdekaan Indonesia lewat karyanya Audatul Firdaus (Kembalinya Surga yang Hilang, terjemahan Nabil A. Karim Hayaze).

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened bukan sekadar tokoh kampung Arab di masa Hindia Belanda. Ia adalah wijkenmeester pertama di Buitenzorg, pemimpin yang disegani di tengah komunitas Arab dan salah satu figur penting di balik berdirinya Sarekat Dagang Islam (S.D.I.). Dalam perkumpulan itu, ia dipercaya sebagai Presiden, menandai peran strategis kaum peranakan Arab dalam geliat ekonomi dan kebangkitan Islam di awal abad ke-20.

Namun warisan Syaikh Abdurrahman tidak berhenti pada kepemimpinannya. Dua putranya, Ahmad dan Said Bajened, tumbuh menjadi generasi terdidik yang berpikiran maju, melampaui zamannya. Keduanya dikenal memiliki kemampuan bahasa yang mengagumkan, fasih dalam Arab dan Melayu, sekaligus menguasai Inggris, Prancis, dan Turki. Said bin Abdurahman tercatat dalam Sang Pemoela tertulis sebagai Kasir (Bendahara) dari susunan awal Sarekat Dagang Islamijjah, yang dirintis oleh sang pendiri, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Jalan pendidikan membawa Ahmad dan Said jauh dari tanah Buitenzorg menuju jantung dunia Islam kala itu: Istanbul, Turki Utsmani. Mereka bersekolah di Asiret Mektebi, lembaga pendidikan bergengsi yang didirikan oleh Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1892 untuk para pelajar dari berbagai negeri Islam, termasuk Hindia Belanda.

Beasiswa mereka bukan kebetulan. Mehmed Kamil Bey, Konsul Turki Utsmani di Batavia, merekomendasikan Ahmad dan Said sebagai bagian dari gerakan Pan-Islamisme yang digelorakan Istanbul pada akhir abad ke-19. Di sanalah mereka tidak hanya menimba ilmu pengetahuan modern, tetapi juga menyerap semangat kebebasan, persaudaraan, dan perjuangan umat yang bergelora dari Timur Tengah hingga Nusantara.

Dari Buitenzorg yang tenang hingga Istanbul yang bersejarah, kisah keluarga Bajened adalah jejak keterhubungan antara peradaban dan perjuangan, antara akar lokal dan cakrawala dunia Islam yang luas.

Bogor, 7 Desember 2025

Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "7 Desember 1918 : Mengenang Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemoela dari Bogor"