Menapaki Jalan Tengah: Refleksi atas Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”


Pagi itu, di meja kayu yang menghadap taman kecil, secangkir kopi Bah Sipit mengepulkan aroma yang akrab di hidung. Di sampingnya, sepiring jajanan khas Sunda dan Arab, dodongkal dan kamir, menjadi teman setia. Dari hedset di telinga, terdengar lembut suara emas Mohammad Rafi melantunkan lagu India lawas "Mujhe isk hai tujhi se", mengiringi saya membuka lembar demi lembar sebuah buku otobiografi: Menerbitkan Kebenaran: Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia, karya Tohir Bawazir, diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada September 2025.

Sejujurnya, bukan hanya judul utamanya yang langsung menarik perhatian saya, melainkan subjudulnya: “Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia.” Frasa itu seakan berbicara langsung pada kegelisahan batin yang kerap saya rasakan, terutama dalam memandang dinamika pemikiran keagamaan di kalangan keturunan Arab di Indonesia, lingkungan yang begitu dekat dengan kehidupan saya di Kampung Empang.
Keberadaan kawasan Empang di Bogor, kota yang sejak masa kolonial dikenal dengan nama “Buitenzorg” itu, telah menjadi rumah bagi komunitas peranakan Arab selama berabad-abad, dengan segala tradisi, pergaulan, dan dialektika keagamaannya yang khas.
Membaca kisah Pak Tohir, saya seperti bercermin. Ada kesamaan pandangan dan pengalaman dalam menyikapi gelombang dakwah yang oleh seorang sahabat pernah disebutnya sebagai “agama baru”. Ia berkata, “Sembilan puluh sembilan persen sama, tapi yang satu persen itulah yang membuat jurang.” Jurang itu bukan sekadar perbedaan fikih atau manhaj, melainkan celah ideologis yang menandai pergeseran arah dakwah dari akar sejarahnya. Padahal, selama lebih dari seabad, jalan dakwah yang dirintis oleh para pendiri Al-Irsyad telah menegakkan tiga pilar perjuangan yang kokoh: pemurnian ajaran Islam, kesetaraan umat manusia, dan rasionalitas keilmuan.

Tiga pilar inilah yang menjadi fondasi peradaban dakwah modern di Nusantara, gagasan besar Syaikh Ahmad Surkati yang kemudian diadopsi dan diteruskan oleh banyak organisasi pembaruan Islam seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS). Dari sinilah lahir semangat tajdid, pembaharuan Islam Indonesia yang menempatkan ilmu dan akal sehat sebagai cahaya bagi keimanan, bukan sekadar simbol ketaatan yang kaku.
Dalam salah satu bagian buku, saya tersenyum getir membaca kisah pendirian cabang Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Yogyakarta pada 1986. Di situ disebutkan nama Rasyid Baswedan, ayah dari Anies Baswedan, tokoh politik masa kini, yang sempat memberi kesan miring terhadap Al-Irsyad. Ironisnya, jika dulu sang ayah menilai Al-Irsyad sebagai organisasi yang terlalu sempit untuk tidak “membaur”, kini sang anak justru larut dalam stigma politik identitas yang berbalut citra “Arabitas” yang kental. Sejarah, rupanya, gemar berputar dalam ironi yang halus tapi menusuk.
Namun di balik kisah-kisah ringan dan reflektif itu, Tohir juga menyinggung satu bab yang amat menarik dan sensitif, polemik lama antara golongan Irsyadi dan Baalawi. Ia mengulasnya dengan ketelitian dari kacamata seorang sejarawan sekaligus kehati-hatian seorang da’i. Polemik ini, menurutnya, bukan sekadar perselisihan antar-golongan keturunan Arab, melainkan cerminan dari benturan cara berpikir, antara mereka yang meletakkan kemuliaan pada ilmu dan akhlak dengan mereka yang menggantungkan kehormatan pada garis keturunan.

Tohir amat cermat merekam jejak polemik di masa lalu itu, perdebatan yang dahulu memuncak di awal abad ke-20, saat Syaikh Ahmad Surkati berani menggugat keistimewaan sosial kelompok Baalawi yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah dari garis putrinya, Fatimah. Bagi Tohir, kisah itu bukan sekadar sejarah lama, tetapi cermin untuk membaca masa kini. Ia menulis bahwa di era modern, kebanggaan pada nasab tanpa disertai nalar ilmiah hanya akan menjadi relik feodal dalam pakaian baru.
Dalam pandangan Tohir, kebenaran yang diperjuangkan oleh Syaikh Ahmad Surkati dan para Irsyadi bukanlah untuk menafikan kemuliaan keluarga Nabi, tetapi untuk menegakkan prinsip kesetaraan manusia di hadapan Allah. Di sinilah Tohir menegaskan keyakinannya pada apa yang ia sebut sebagai tesis Imadudin, bahwa segala klaim kebenaran, termasuk tentang nasab, mesti diuji dengan rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Ia menyinggung bagaimana kemajuan sains modern, termasuk teknologi DNA, memberi ruang bagi umat Islam untuk menilai ulang klaim-klaim genealogi yang selama ini diterima tanpa kritik. Bagi Tohir, hasil tes DNA bukan sekadar data biologis, melainkan representasi paling ilmiah dari prinsip Qur’ani, bahwa kebenaran tidak boleh dibangun di atas prasangka dan kebanggaan buta.

Dengan gaya tutur yang tenang namun tajam, Tohir menunjukkan bahwa polemik Irsyadi-Baalawi seharusnya dibaca bukan sebagai perpecahan, tetapi sebagai pelajaran, bahwa Islam yang rasional, egaliter, dan ilmiah selalu menuntut keberanian untuk berpikir jernih melampaui mitos asal-usul. Pandangan ini, bagi saya, adalah bentuk keberlanjutan dari semangat tajdid, yakni keberanian untuk membersihkan agama dari segala bentuk takhayul, termasuk takhayul atas nama darah. 

Namun, sebagaimana Tohir Bawazir rasakan, menurut hemat saya menjadi seorang Irsyadi di era ini memang laksana memegang buah simalakama. Di satu sisi, kita hidup di tengah generasi baru yang tumbuh dari rahim yang sama, lingkungan keislaman yang moderat dan rasional, namun sebagian memilih jalan yang lebih keras dan eksklusif. 

Gerakan salafi yang kini menjalar di banyak tempat, memantik kegalauan Tohir, ungkapan saya adalah ibarat semak liar yang tumbuh cepat di ladang subur. Benihnya memang dari ladang yang sama, tapi batang dan daunnya melampaui pohon induknya, bukan karena unggul, melainkan karena tak mengenal batas dan arah tumbuhnya. Semak itu akhirnya menutupi sinar yang dulu menyuburkan tanah tempat ia berasal.

Dalam menyikapi fenomena itu, Tohir tidak memilih untuk menebas semak-semak itu dengan amarah atau retorika tajam. Ia justru menempuh jalan tengah, menanggapinya dengan ilmu, menuntun dengan literasi, dan melawan dengan penerbitan. “Semak liar,” yang tersirat dalam tulisnya yang saya tandai, “tak bisa dibersihkan hanya dengan arit, tapi harus disembuhkan dengan pestisida ilmu.” Kalimat ini menegaskan keyakinannya bahwa dakwah bukan sekadar mimbar dan khutbah, tapi juga pena dan penerbitan. Dari keyakinan itu pula lahir Pustaka Al-Kautsar, penerbit yang ia dirikan dan rawat hingga kini, bahkan di saat dunia penerbitan tengah menghadapi sakaratulmaut akibat digitalisasi dan hilangnya minat baca.

Buku ini, bagi saya, bukan sekadar otobiografi seorang penerbit. Ia adalah cermin dari pergulatan intelektual seorang Irsyadi yang berusaha menyalakan lentera di tengah kabut zaman. Ia menulis bukan untuk membenarkan diri, melainkan untuk menerbitkan kebenaran, sebuah frasa yang dalam makna harfiahnya mengandung dua sisi: to publish dan to illuminate.

Sebagai pembaca yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang sama, saya merasa berhutang pada para pendahulu yang telah merintis jalan ilmu dan kesetaraan itu. Jalan yang mungkin sepi, tapi tetap kokoh dalam arah. Jalan yang memadukan logika dan akal sehat dengan cinta dan hormat pada perbedaan.

Maka, usai menutup halaman terakhir buku Tohir Bawazir, saya menyesap sisa kopi yang telah dingin. Lagu Mohammad Rafi masih mengalun lirih dari instrumen tua, dan saya bergumam dalam hati, bahwa menerbitkan kebenaran, dalam arti yang sejati, bukan hanya tentang buku, tetapi tentang keberanian menjaga akal dari kebodohan, dan menjaga hati dari fanatisme.

Bogor, 14 Oktober 2025

Posting Komentar untuk "Menapaki Jalan Tengah: Refleksi atas Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”"