Sarongge Ubrug, Dari Stigma Buangan Menjadi Aroma Kopi Dunia
Rosidi muda pernah bersinar sebagai bintang sepak bola dan aktor tonil kebanggaan Cikawung, hingga gelombang prahara 1965 merenggut masa terbaik hidupnya. Ketika tentara datang, sejatinya mereka mencari Mang Ocon, pamannya yang dituduh aktif dalam organisasi berafiliasi dengan PKI. Paman tak ditemukan, keponakan pun dijadikan sasaran. Rosidi diperiksa, dan dengan polos ia menunjukkan kartu anggota Sarbupri yang disimpannya. Sarbupri, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, merupakan bagian dari SOBSI, konfederasi buruh yang kala itu berafiliasi dengan PKI.
Namanya Ibu Entin, dan suaminya Kang Ajun. Bukan nama samaran, melainkan nama yang sungguh-sungguh mereka sandang. Saya sendiri tidak pernah sempat menanyakan nama lengkapnya, ketika suatu hari saya berjumpa dengan pasangan suami istri itu. Dari raut wajah mereka, sekilas tampak seolah usia telah melampaui enam puluh tahun. Namun siapa sangka, keduanya masih dalam hitungan paruh baya, belum genap enam dasawarsa. Wajah yang menua sebelum waktunya itu bukan lantaran kerja keras mereka di sawah, bukan semata karena cangkul yang menoreh tanah, atau kopi yang mereka tanam di lereng Gunung Gede. Ada riwayat lain yang jauh lebih getir, yang meninggalkan garis dalam di wajah mereka. Riwayat yang lahir dari badai politik bangsa ini, dari luka sejarah 1965 yang tak pernah benar-benar kering.
Entin dan Kang Ajun bukanlah sepasang kekasih yang bersua di pasar, saling pandang lalu jatuh cinta, sebagaimana kisah cinta kebanyakan. Mereka dipersatukan oleh nasib, oleh sejarah yang menempatkan keduanya dalam lingkaran yang sama, anak-anak dari keluarga buangan, generasi kedua eks tahanan politik Orde Baru. Mereka bertumbuh di sebuah dusun yang lahir dari pembuangan, Sarongge Ubrug namanya, sebuah nama yang sendiri menyiratkan getir. Dalam bahasa Sunda, ubrug berarti dibuang begitu saja, ditambrugkeun seperti barang tak berguna.
Entin lahir dari rahim Oneh, istri Rosidi, di sebuah kamp tahanan terbuka di Panembong. Rosidi adalah seorang buruh perkebunan teh di Ciguha, yang tak pernah terlibat politik, selain memiliki kartu anggota Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri). Kartu kecil itu, yang semula hanya membawanya sekadar bingkisan sarung menjelang Idul Fitri, justru menjadi surat kutukan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Tahun 1965, Rosidi ditangkap Tentara Nasional Indonesia, dikurung dalam jeruji besi sebelas tahun lamanya tanpa proses pengadilan. Lalu ia, bersama ratusan lainnya, dipaksa kerja paksa di Panembong. Oneh, istrinya, mencari dan menemukan suaminya di sana, memilih ikut, dan di situlah lahir Entin, anak seorang tahanan yang tumbuh di tengah camp terbuka.
Tahun 1978, Rosidi dan kawan-kawan dipindahkan dari Kebon Waru, lalu “dibuang” ke lereng gunung Gede. Bukan sebagai transmigran dengan beroleh hibah tanah, bibit, dan modal, melainkan benar-benar dibuang begitu saja. Mereka membuka hutan sendiri, menebang, membakar, lalu mengolahnya jadi ladang. Lima puluh orang eks-tapol ditempatkan di sana, dengan pengawasan seorang tentara. Mereka membangun rumah dari bilah kayu, atap ilalang, berjuang hidup seadanya. Anak-anak tumbuh dengan label sebagai anak PKI.
Entin dewasa dalam stigma itu. Sarongge terbagi dua, Girang dan Ubrug. Girang adalah kampung lama, sedangkan Ubrug adalah kampung baru, rumah para buangan. Gadis-gadis dari Ubrug tidak mudah menikah dengan pemuda kampung lain. Stigma menutup pintu. Maka jodoh hanya bisa ditemukan sesama anak buangan. Dari sanalah Entin bertemu Ajun, dan mereka membina rumah tangga. Cinta mereka bukan buah rayuan, melainkan warisan luka yang sama.
Kartu Sarbupri yang dulu menyeret Rosidi ke camp, berubah menjadi kartu tanda penduduk dengan cap “Eks Tapol”. Stempel itu merenggut hak mereka sebagai warga negara. Tiap kali pemilu digelar, mereka tidak ikut serta memilih. Justru dikurung dalam gubuk interniran, seperti ternak dalam kandang, hanya bertemu keluarga ketika ompreng makanan datang. Demokrasi berjalan, tapi tidak untuk mereka.
Namun hidup tetap bergulir. Sarongge Ubrug yang dulu hanya hutan belukar kini menjadi kampung yang indah menghadap Gunung Geulis. Entin, Kang Ajun, dan warga lain menanam kopi, sayur-mayur, dan membangun ladang. Di sana berdiri masjid, ada tanah wakaf untuk pemakaman keluarga, tanda bahwa mereka bukan kaum tanpa Tuhan, melainkan umat beriman yang terjerat stigma politik. Tanah pemakaman itu wakaf Rosidi.
Rosidi, lelaki yang sepanjang hidupnya digelari “komunis”, padahal tak pernah menjadi anggota partai, akhirnya menutup usia di atas delapan puluh lima tahun. Ia dikenang bukan sebagai penghianat bangsa, melainkan sebagai petani tua yang bertahan hidup di pembuangan. Sebuah paradoks sejarah yang menyayat: Rosidi adalah “hantu komunis” yang sesungguhnya bukan komunis.
Kisah hidup Rosidi, yang pertama kali diangkat oleh Tosca Santoso dalam buku Cerita Hidup Rosidi, bukan sekadar riwayat seorang petani yang salah tangkap pada Oktober 1965, menjalani 13 tahun sebagai tahanan politik, kerja paksa, lalu kembali ke ladang dengan cap “eks tapol.” Lebih dari itu, Tosca Santoso telah merubah hidup Rosidi dan keturunannya yang telah menjelma mendapatkan energi positif, mengubah stigma negatif menjadi kebanggaan.
Dari tanah pembuangan Rosidi, Tosca merintis kebun kopi yang kini dikenal dunia sebagai Kopi Sarongge, dengan varian terbaiknya di dedikasikan untuk nama Abah Idi, Kopi Rosidi, dan sebuah persembahan cinta abadi bagi istrinya dalam kemasan Kopi Oneh ; Manis dan Setia.
Rosidi wafat pada hari Senin dini hari 8 Oktober 2017, Abah Rosidi, demikian warga menyapanya, menutup usia pada 86 tahun, beristirahat tenang di samping makam Oneh, perempuan yang lebih dulu mendahuluinya cinta yang bersemi dalam buangan, berbuah keabadian.
Posting Komentar untuk "Sarongge Ubrug, Dari Stigma Buangan Menjadi Aroma Kopi Dunia"
Posting Komentar