Al-Irsyad: Sekolah Ilmu, Bukan Sekolah Arab
Di tengah zaman yang riuh dengan glorifikasi keturunan dan hiruk-pikuk identitas, Al-Irsyad hadir dengan misi besar ; meruntuhkan tembok feodalisme nasab. Ia menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh darah dan garis keturunan, melainkan oleh ilmu, amal, dan takwa. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa…" (QS. Al-Hujurat: 13)
Syaikh Ahmad Surkati, ulama besar dari Sudan, datang ke Jawa bukan untuk menjual Arabitas atau menghidupkan kasta nasab. Ia datang untuk menegakkan Islam di atas ilmu dan kesetaraan manusia. Baginya, kemuliaan diukur dari takwa, bukan darah keturunan.
Pada awal pendirian, di negeri yang masih sering sibuk bertengkar soal keturunan, Al-Irsyad memilih jalan lain, membangun sekolah, menggaji guru, dan memberi beasiswa. Ia tidak sibuk menghitung siapa cucu siapa. Ia sibuk menyiapkan masa depan bangsa.
Sejak awal, Syaikh Ahmad Surkati menolak segala bentuk diskriminasi dan kasta nasab. Ia mengajarkan bahwa kemuliaan bukanlah milik keturunan atau harta benda, tetapi milik orang yang berilmu dan beradab. Dalam syairnya beliau berpesan:
“Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab. Dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal.”
Maka, Al-Irsyad tidak pernah berdiri sebagai “sekolah Arab”. Ia adalah sekolah ilmu dan kesetaraan. Dari rahimnya lahirlah generasi pribumi yang kelak menjadi pejuang, pendidik, dan pemimpin bangsa.
Sejarah mencatat sejumlah nama besar seperti antaranya; Prof. HM Rasyidi, Menteri Agama pertama Republik Indonesia; KH Saleh Syuaidi, pengusul lahirnya Kementerian Agama; M. Yunus Anis, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah; KH.Muhammad Farid Ma’roef; Iskandar Idris; Ahmad Syukri; Anang Kirom; Rachim Kasim; KH Abdul Halim; Tubagus Syuaib Sastradiwirya; Haji Saleh Djufiri; Atmawijaya; Sirodz Dahlan (putra KH Ahmad Dahlan); Husein Thaha; M. Akib; dan sederet panjang nama lainnya. Mereka adalah bukti hidup bahwa Al-Irsyad adalah milik bangsa, bukan milik garis keturunan tertentu.
Dan hari ini, semangat itu masih terus berdenyut. Cabang-cabang Al-Irsyad hadir dari kota besar hingga pelosok, bahkan sampai ke Papua. Mereka tidak sekadar memasang papan nama, lalu hilang tanpa kabar. Mereka hadir, bekerja, membangun sekolah, menggaji guru, memberi beasiswa, dan mengelola kegiatan sosial.
Lihatlah Pesawaran, Lampung. Pengurus Cabang Al-Irsyad di sana adalah anak-anak negeri yang berjuang dengan penuh keikhlasan. Mereka mengorbankan harta, ilmu, dan tenaga untuk menghidupkan sekolah, meski honor guru-gurunya jauh dari kata cukup. Namun, dengan kemandirian dan semangat pengabdian, mereka tetap memajukan pendidikan, bahkan mayoritas muridnya berasal dari keluarga tidak mampu. Inilah wajah asli Al-Irsyad, tulus, sederhana, namun penuh makna.
Fakta di lapangan tak bisa dibantah. Dalam setiap muktamar, separuh lebih utusannya bukan keturunan Arab. Mereka datang dari berbagai daerah, dari kota sampai desa, bahkan ada yang menggunakan dana bantuan pemerintah daerah, agar pendidikan terus berjalan.
Simbol-simbol pun berbicara lantang. Dalam peringatan Milad Al-Irsyad di Pekalongan, penghargaan diberikan kepada tiga tokoh, ada yang keturunan Hadramaut, ada yang pribumi, semua berjuang bersama. Inilah wajah Indonesia, inilah wajah Al-Irsyad yang sesungguhnya.
Al-Irsyad memang lahir dari rahim warga keturunan Arab. Namun, kelahiran itu bukan berarti harus terus diikat pada romantisme masa lalu. Dari rahim itulah lahir peradaban baru, yang membumi, yang menyatu dengan Indonesia.
Karena itu sejak awal, Al-Irsyad terbuka bagi siapa saja. Siapa pun boleh belajar. Siapa pun boleh memimpin. Ukurannya hanya kapasitas dan integritas.
Identitas Arab bukan lagi soal. Yang ada sekarang hanya satu, identitas Indonesia. Warisan Al-Irsyad telah menjadi warisan peradaban yang mengakar di tanah ini.
Maka, mengaitkan Al-Irsyad hari ini dengan romantisme Hadramaut jelas tidak relevan. Al-Irsyad adalah Indonesia. Ia lahir di sini. Tumbuh di sini. Berjuang untuk negeri ini. Dan Surkati pun pernah berkata kepada murid-muridnya:
“Aku merasa telah bertahun-tahun berkecimpung memimpin Al-Irsyad di Indonesia. Bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dari badan saya telah berganti dengan unsur-unsur Indonesia. Aku akan tetap hidup di Indonesia sampai akhir hayatku.” (Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, 1996: 64).
Pernyataan itu adalah penegasan, Al-Irsyad bukan lembaga untuk menjaga romantisme Hadramaut. Ia sudah berakar di Indonesia, tumbuh bersama bangsa ini, dan menjadi bagian dari denyut sejarahnya.
Karena itu, setiap usaha untuk menarik Al-Irsyad kembali ke romantisme masa lalu, sejatinya adalah langkah mundur. Al-Irsyad sudah selesai dengan perdebatan soal keturunan. Kini ia memandang ke depan, memperkuat pendidikan, menanamkan nilai-nilai tauhid, dan membentuk generasi yang mandiri serta bermanfaat bagi Indonesia.
Hari ini, Al-Irsyad adalah rumah besar bagi bangsa Indonesia. Ia selesai dengan perdebatan soal keturunan, dan kini menatap ke depan, menguatkan pendidikan, menanamkan tauhid, dan melahirkan generasi mandiri yang bermanfaat bagi negeri.
kini tugas kita menjaganya, merawatnya, dan memastikan ia terus berdiri sebagai mercusuar ilmu dan kesetaraan bagi generasi yang akan datang.
Al-Irsyad adalah Indonesia. Ia lahir di sini, tumbuh di sini, dan berjuang untuk negeri ini.
Bogor, 30 September 2025
Posting Komentar untuk "Al-Irsyad: Sekolah Ilmu, Bukan Sekolah Arab"
Posting Komentar