Ipik Gandamana: Bupati Bogor Pertama di Masa Revolusi

 


Dalam lintasan sejarah Indonesia, nama Raden Ipik Gandamana tercatat sebagai salah satu tokoh penting di masa Revolusi Nasional. Ia lahir di Purwakarta, Karawang, Hindia Belanda, pada 30 November 1906. 

Ipik dan keenam  saudaranya merupakan anak pasangan Raden Usup Sumawinata Sumadipura dan Nyi Raden Jenab. Dari garis ayahnya, nenek Ipik yaitu Nyi Raden Habsah Padmanagara adalah cucu Raden Adipati Aria Suriwinata atau Dalem Sholawat, Bupati Karawang ke-10 yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Situ Wanayasa ke desa Sindangkasih dan menamainya dengan Purwakarta. Dalem Sholawat juga dikenal sebagai ulama sepuh dan umaro yang pernah menjabat Bupati Bogor ke-16, anak Raden Tumenggung Adipati Wiranata Bupati Bogor ke-15. 

Leluhur Raden Wiranata atau kakek buyutnya, yaitu Raden Tumenggung Wiradinata, disebut-sebut sebagai orang pertama yang ditunjuk menjadi Demang setingkat Bupati pada masa pemerintahan Guberur Jenderal Hindia Belanda, Gustaaf Willem, Baron van Imhoff saat membentuk sebuah Regentschap dengan menggabungkan sembilan distrik yang kemudian menamainya dengan Buitenzorg pada 1745. Dengan demikian, Ipik Gandamana merupakan keturunan kesembilan dari Raden Wiradinata, tokoh yang menjadi Bupati pertama Buitenzorg atau Kabupaten Bogor yang sekarang kita kenal. 

Sejak muda, Ipik menempuh pendidikan yang cukup mapan bagi seorang pribumi kala itu: mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), hingga Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA/MOSVIA). Semangat kebangsaan pun mulai tumbuh ketika ia aktif dalam organisasi pemuda Jong Java.

Karier Awal di Masa Kolonial

Ipik memulai kariernya sebagai abdi negara sejak usia muda. Tahun 1926, ia diterima sebagai Candidate Ambtenaar dan bertugas sebagai ajudan di Bogor. Kariernya terus menanjak: menjadi Mantri Polisi Cikijing dan Mantri Kabupaten Batavia pada 1931, lalu menjabat Sekretaris II Kabupaten Ciamis (1938). Saat Jepang berkuasa, ia dipercaya menjadi Camat Cibeureum, Tasikmalaya (1942), kemudian Wedana Ujungberung, Bandung. Selepas Proklamasi, ia menduduki jabatan Patih Bogor (1946).

Menolak RECOMBA, Diasingkan ke Jasinga

Titik balik sejarah hidupnya terjadi setelah Agresi Militer Belanda I. Belanda membentuk pemerintahan tandingan bernama RECOMBA (Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden) pada tahun 1947. Ipik dengan tegas menolak bergabung. Akibatnya, melalui besluit Nomor 305 tanggal 14 Agustus 1947, ia ditangkap dan diasingkan ke Jasinga, Bogor.

Namun pengasingan itu justru menjadi ruang perjuangan. Dari Jasinga, Ipik menjalin komunikasi dengan para pejuang Republik melalui kurir kepercayaannya, Nani Karmawan (adik kandung Jenderal Ibrahim Adjie). Meski akhirnya jaringan itu terbongkar dan Nani ditangkap Belanda, peran Ipik tak berhenti. Atas mandat Pemerintah RI, ia membentuk Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor dan ditetapkan sebagai Bupati Bogor pertama dari pihak Republik.

Dalam masa-masa genting Pemerintahan Darurat Kabupaten Bogor, roda pemerintahan tidak pernah berjalan di satu tempat yang pasti. Kantor pemerintahan berpindah dari satu dusun ke dusun lainnya, seakan bergerak dalam senyap, untuk menghindari intaian dan serangan pasukan Belanda. Di balik segala keterbatasan itu, tekad mempertahankan Republik tetap menyala.

Salah satu pusat kegiatan yang sekaligus menjadi rumah tinggal bagi Bupati Ipik Gandamana kala itu adalah Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Dari desa terpencil di kaki hutan Halimun inilah, Ipik bersama para pengikutnya merajut kembali pemerintahan, menyusun strategi, dan menyalakan harapan rakyat Bogor agar pemerintahan Republik tetap berdiri, meski dalam bayang-bayang peluru dan tekanan penjajah.

Eks kantor pemerintahan darurat Kabupaten Bogor setelah dipugar oleh pemerintah di desa malasari kecamatan Nanggung-Kabupaten Bogor Jawa Barat

 

Dari Residen hingga Gubernur Jawa Barat

Perjuangannya berlanjut. Ipik dipercaya sebagai Kepala Staf Sipil Kepresidenan Bogor, lalu diangkat menjadi Residen Bogor. Pada 1948–1949, ia merangkap jabatan sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat sekaligus Bupati Lebak ke-11.

Kariernya semakin menanjak ketika ditunjuk sebagai Residen Priangan (1951). Pada periode ini, ia sempat bergabung dalam Delegasi Studi Indonesia ke Amerika Serikat (September–Desember 1953). Sepulangnya, ia menulis buku Melawat ke Negara Dollar (1956), yang membandingkan praktik demokrasi Indonesia dengan Amerika Serikat.

Puncaknya, pada 1 Juli 1957, Ipik dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat dan mengakhiri masa tugasnya pada 6 Februari 1960.

Karier Nasional

Kiprahnya juga tercatat di tingkat nasional. Ipik dipercaya sebagai Menteri Pembangunan Pedesaan Republik Indonesia (1964–1966). Namun, pasca perombakan kabinet oleh Presiden Sukarno, jabatannya berakhir. Di masa Orde Baru, ia tetap mengabdi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1968–1973).

Akhir Hayat dan Warisan

R. Ipik Gandamana wafat di Bandung pada 6 Agustus 1979. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, meninggalkan seorang istri ; Nyi Raden Endeh Soekarsih Natanegara dan empat orang anak ; Raden Deade Suparsih Gandamana, Uce Sukaesih Gandamana, Rd. Adang Gandamana dan Harmini Gandamana. Istri Ipik, Nyi Raden Endeh Sukarsih adalah cucu dari Raden Haji Asari atau dikenal dengan nama Ama Sandi, yang namanya kini diabadikan sebagai nama ruas jalan di Cikaret Kota Bogor Selatan. 

Sebagai penghormatan, nama Ipik kini diabadikan menjadi Jl. R. Ipik Gandamana di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor. Jejak perjuangannya mengingatkan kita bahwa seorang birokrat pun dapat menjadi pejuang sejati dalam mempertahankan Republik.

(Dikutip dari berbagai sumber dan di susun oleh Abdullah Abubakar Batarfie, Tim Jalan Pagi Sejarah By Johnny Pinot)




Posting Komentar untuk "Ipik Gandamana: Bupati Bogor Pertama di Masa Revolusi"