Bumi Ageung Cikidang, Rumah yang Mengingatkan Kita pada Siapa Kita


"Masa lalu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dirawat, seperti gedung tua yang berdiri dengan anggun meski catnya mulai mengelupas.

Kata-kata itu terasa hidup ketika kaki menapaki halaman Bumi Ageung Cikidang. Di bawah rindang pepohonan, rumah besar peninggalan Raden Adipati Aria Prawiradiredja II itu seakan berbisik, seolah ingin menuturkan kisahnya. Dindingnya yang tebal, jendela-jendela tinggi yang kini mulai renta, seakan merekam ribuan percakapan yang pernah terjadi, percakapan yang tak hanya menentukan nasib keluarga pemiliknya, tetapi juga arah sejarah bangsa.

Pertemuan dengan Raden Pepet Djohar (78), cicit Prawiradiredja II, dan Rachmat Fajar, atau kami akrab menyapanya dengan panggilan Kang Fajar, generasi ke lima Bupati Raden Adipati Aria Prawiradiredja II, membuka pintu kenangan itu. Kang Fajar, dengan senyum ramah yang tak pernah pudar, bukan sekadar keturunan, tetapi penjaga api sejarah. Ia merawat rumah leluhurnya bukan sekadar sebagai museum, melainkan sebagai pusaka yang menyambungkan kita dengan masa silam.


Franz Ferdinand (18 Desember 1863 – 28 Juni 1914) adalah putra tertua Adipati Agung Karl Ludwig dari Austria, adik Kaisar Franz Joseph. Setelah kematian Putra Mahkota Rudolf pada 1889 dan wafatnya Karl Ludwig pada 1896, ia menjadi pewaris takhta Austro-Hungaria.

Kisah cintanya dengan Sophie Chotek, seorang dayang istana, menimbulkan konflik dalam keluarga kekaisaran. Pernikahan mereka pada 1900 hanya diizinkan dengan syarat morganatik, yang berarti keturunan mereka tidak memiliki hak atas takhta.

Franz Ferdinand dikenal memiliki pengaruh besar dalam militer, dan pada 1913 ia diangkat sebagai inspektur jenderal angkatan bersenjata Austro-Hungaria. Namun, hidupnya berakhir tragis pada 28 Juni 1914 ketika ia dan Sophie dibunuh di Sarajevo oleh Gavrilo Princip, seorang pemuda berusia 19 tahun anggota kelompok revolusioner Pemuda Bosnia. Peristiwa ini memicu Krisis Juli yang kemudian menjadi pemicu meletusnya Perang Dunia I.

 

Ilustrasi kunjungan Franz Ferdinand

Bumi Ageung awalnya dibangun pada 1886 sebagai kediaman pribadi Bupati Cianjur ke-10. Namun, rumah ini lebih dari sekadar hunian. Di masa lalu ia ibarat istana kecil di Priangan, tempat persinggahan para tokoh besar dunia. antaranya adalah Archduke Franz Ferdinand dari Austria, pewaris takhta yang kelak kematiannya memicu Perang Dunia I.

Rumah ini juga menjadi ruang persahabatan. Pangeran Hidayatullah, pejuang asal Kalimantan yang diasingkan ke Cianjur, menghabiskan banyak waktunya di sini. Ia menjadi sahabat dekat R.A.A. Prawiradiredja II, dan kisah-kisah mereka bergaung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di ruang yang sama, tokoh pergerakan nasional, RM Tirtho Adhisoerjo, pernah duduk berembuk dengan penhuninya. Tirtho bahkan mendapatkan modal dari sang bupati untuk menerbitkan Soenda Berita, surat kabar pribumi pertama yang diterbitkan dalam bahasa Melayu.

Soenda Berita adalah surat kabar berbahasa Melayu yang pertama kali terbit pada 7 Februari 1903, didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo di sebuah desa di Cianjur.

Meski bernama besar sebagai pelopor pers pribumi, pada masa itu Tirto masih mencari pijakan untuk terjun sepenuhnya ke dunia pers dan pergerakan. Karena itu, Soenda Berita lebih bernuansa lokal dan berjangkauan terbatas, tetapi menjadi jejak awal yang menandai arah perjuangan intelektual Tirto di kemudian hari.

Tirto mengelola koran ini hampir seorang diri menjadi pemimpin redaksi, penulis utama, sekaligus mengurus administrasi. Terbit mingguan dengan tebal 16 halaman, Soenda Berita memuat aneka tulisan pada 13 halaman pertama dan sisanya berisi iklan.

Memasuki masa Revolusi, Bumi Ageung menjelma menjadi markas rahasia para pejuang. Dari rumah inilah Gatot Mangkupraja dan Hasyim Ning bersama rekan-rekannya merintis gagasan pembentukan tentara PETA. Malam-malam panjang dipenuhi bisikan strategi, dengan resiko maut yang selalu mengintai. Ibu Raden Ayu Tjitjih Wiarsih, puteri R.A.A. Prawiradiredja II, kerap ikut terlibat dalam pertemuan-pertemuan itu. Hingga suatu hari pasukan Belanda datang mengepung. Selongsong peluru beterbangan, dan keluarga ini terpaksa mengungsi. Rumah kosong selama bertahun-tahun, menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tidak pernah berhenti. Baru pada dekade 1950-an, rumah ini kembali dihuni oleh Raden Ayu Tjitjih Wiarsih, puteri tunggal sekaligus pewaris rumah ini, yang dikenal pula sebagai salah satu perintis pendidikan perempuan di Cianjur. Bersama Raden Siti Jenab, ia mendirikan Sakola Kautamaan Istri, sekolah yang membuka pintu ilmu bagi kaum perempuan di awal abad ke-20.

Namun, kisah Bumi Ageung tidak bisa dilepaskan dari silsilah panjang keluarga Wiratanu Datar, para bupati Cianjur yang memimpin sejak awal abad ke-18. Garis keturunan ini bermula dari Pangeran Ngabehi Jayasasana alias Mbah Dalem Cikundul, bupati pertama Cianjur yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kampung Cijagang di Cikalong Kulon

Penerusnya, Wiratanu Datar II atau Pangeran Wiramenggala (dikenal sebagai Mbah Tarikolot), melahirkan banyak tokoh penting di Priangan, sebut saja dua antara anaknya ialah, Raden Aria Wiratanu III (Raden Astramenggala), Bupati ke-3 Cianjur, dan Raden Aria Wiradinata, Bupati pertama di Kampung Baru sejak Baron van Imhoff membentuk Regentschap Buitenzorg pada 1745.

Sejak masa Wiratanu Datar I, jabatan bupati Cianjur terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan gelar yang sama, hingga mencapai Wiratanu Datar VI yang dijabat oleh Raden Wiranagara atau Dalem Noh.

Sesudah masa kepemimpinan Wiratanu Datar VI (Dalem Noh) berakhir, tampuk jabatan bupati berpindah kepada keponakan kandungnya, yakni Raden Prawiradireja I, yang sebelumnya menjabat sebagai Patih Cianjur. Ia adalah putera dari Nyi Raden Ayu Tandjungnagara, saudari Wiratanu Datar VI yang menikah dengan Raden Aria Mangkupraja, cucu dari Raden Adipati Aria Wiratanudatar IV atau Ki Sabirudin.

Nyi Raden Ayu Tandjungnagara, Ibunda Raden Prawiradiredja I, atau adik Dalem Noh, adalah putri kedua Dalem Aria Wiratanudatar V, Bupati Cianjur kelima yang dikenal masyarakatnya dengan sebutan Ki Muhidin. Ki Muhidin sendiri merupakan putra sulung Adipati Wira Tanu Datar IV, yang naik takhta menggantikan ayahnya ketika wafat.

Masa pemerintahan Ki Muhidin tercatat sebagai periode yang relatif tenang dalam sejarah Cianjur. Kedamaian itu sebagian besar merupakan buah dari jasa Wira Tanu III, pendahulunya, yang berhasil menanamkan pengaruh Cianjur di mata pemerintah kolonial Belanda. Di bawah kepemimpinannya, kehidupan sosial dan budaya berkembang pesat. Salah satu tanda kemajuan itu terlihat dari berkembangnya seni bela diri. Bahkan, pada masa pemerintahannya, salah satu aliran pencak silat yang legendaris, Kari Madi, mencapai masa kejayaannya.

Raden Aria Wiratanu Datar V wafat pada tahun 1776 dan dimakamkan di Pasarean Agung, Cianjur. Ia meninggalkan 17 orang putra dan putri, tiga antaranya adalah Nyi Raden Tanjungnagara (ibunda Raden Prawiradireja I), Nyi Raden Kandran, dan Raden Haji Muhyidin yang juga dikenal dengan sebutan Raden Natapraja.

Dari garis keturunan Raden Natapraja inilah lahir tokoh ulama karismatik Cianjur, Raden Haji Idris, yang menjadi ayah dari KH Abdullah bin Nuh. KH Abdullah bin Nuh dikenal sebagai ulama pejuang, pendiri dua lembaga pendidikan Islam terkenal di Jawa Barat, Al-Ghozali di Bogor dan Al-I’anah di Cianjur, serta tokoh yang terlibat aktif dalam pembentukan PETA. Sebagai ulama produktif, ia banyak menulis kitab dalam berbagai bahasa, terutama Arab dan pernah nemimipin Majalah Hadramaut yang terbit di kota Surabaya. Atas jasa-jasanya yang besar bagi pendidikan dan perjuangan, namanya kini diabadikan sebagai nama jalan utama di Bogor dan Cianjur.

Perlu dicatat pula bahwa Nyi Raden Ayu Kendran, salah satu keturunan keluarga besar ini, menikah dengan Raden Tumenggung Adipati Wiranata atau Dalem Sepuh, yang menjabat sebagai Bupati Bogor ke-15 pada periode 1815–1849.

Raden Tumenggung Adipati Wiranata adalah putra Raden Haji Muhammad Thohir — penghulu Kampung Baroe — yang merupakan cucu dari Raden Wiradinata dan cicit dari Pangeran Wiramenggala (Mbah Tarikolot), Bupati Cianjur ke-2 bergelar Wiratanu Datar II.

Raden Haji Muhammad Thohir sendiri tercatat sebagai salah satu pendiri Masjid Agung di kota Bogor pada tahun 1815. Untuk menghormati jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Masjid Agung At-Thohiriyah di kawasan Empang, Bogor.

Dari pernikahan Nyi Raden Ayu Kendran dengan Wiranata, lahir dua putra yang kelak menjadi bupati di Priangan. Pertama, Raden Adipati Surianata Wiranata — yang dikenal dengan sebutan Adipati Wanayasa atau Dalem Santri — menjabat sebagai Bupati Karawang ke-9 (1820–1827) dan memindahkan pusat pemerintahan ke Situ Wanayasa. Kedua, Raden Adipati Aria Suriawinata (H. Raden Muhammad Sirodz), yang dikenal sebagai Mbah Dalem Sholawat.

Mbah Dalem Sholawat kemudian diangkat menjadi Bupati Karawang ke-10 (1827–1849). Pada awal pemerintahannya, pusat pemerintahan masih berada di Wanayasa. Namun pada 1830, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Sindangkasih dan menamakan wilayah tersebut Purwakarta — dari kata purwa (permulaan) dan karta (ramai atau hidup) — yang menandai awal dikenal luasnya nama Purwakarta. Pada tahun 1849, ia dipindahkan sebagai Bupati Bogor dan menjabat hingga wafat pada 1872. Makamnya kini dikenal sebagai Makam Dalem Sholawat di Empang, Bogor.

Hubungan erat antara keluarga Cianjur dan Bogor semakin kokoh dengan pernikahan Raden Aju Surjanagara, putri Wiranata dan Kendran, dengan Raden Rangga Surjanagara, putra pasangan Tanjungnagara dan Wiradireja I. Peristiwa pernikahan ini menjadi sorotan besar pada masanya karena resepsi pernikahan diadakan di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (kini Istana Bogor) pada 15 November 1815, dua bulan setelah Wiranata dilantik sebagai Regent atau Demang Bogor oleh Sir Thomas Stamford Raffles.

Raffles, yang diangkat sebagai Letnan Gubernur pada 1811 ketika Inggris menguasai Hindia Belanda, dikenal sebagai sosok yang menggagas cikal bakal pendirian Kebun Raya Bogor. Ia juga tercatat sebagai pendiri kota Singapura dan penulis karya monumental The History of Java.

Raden Prwiradireja I secara resmi menjabat sebagai Bupati Cianjur ke-7 pada periode 1813–1833. Ia tercatat sebagai bupati pertama Cianjur pada masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah dibubarkannya VOC.

Selama dua dekade, kurang lebih dua puluh tahun lamamya, Prawiradiredja I memimpin Cianjur. Namun, pada tahun 1833 ia memilih turun takhta.

Setelah lengser, ia tidak lagi tinggal di pendopo kabupaten, melainkan pindah ke sebuah rumah di dekat Masjid Agung Cianjur.

Sejak itu masyarakat menyapanya dengan sebutan Dalem Sepuh, tanda penghormatan kepada sang sesepuh Cianjur. Setahun kemudian, pada 1834, Prawiradiredja I wafat, meninggalkan warisan kepemimpinan yang kelak menjadi fondasi pemerintahan Cianjur di masa-masa berikutnya.

Dari pernikahannya, ia dikaruniai sekitar 39 orang putra dan putri, menjadikannya salah satu bupati dengan keturunan terbanyak dalam sejarah Cianjur. Dari garis keturunannya inilah, kepemimpinan Cianjur kemudian dilanjutkan oleh dua orang putranya:

  • Raden Tumenggung Wiranagara, yang menjabat sebagai Bupati Cianjur ke-8 pada 1833–1834.
  • Dalem Dipati Kusumah Ningrat atau lebih dikenal sebagai Dalem Pancaniti, yang memimpin Cianjur sejak 1834 hingga 1862. Menurut sumber lain ada pula yang menyebutkan masa jabatannya berakhir hingga 1886.

Dalem Pancaniti tidak hanya dikenal sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi juga sebagai tokoh seni Sunda dan ulama, yang memadukan dakwah dengan seni. Dari tangan dan inspirasinya lahir seni mamaos, yang kelak berkembang menjadi salah satu warisan budaya khas Cianjur, yaitu seni tembang Cianjuran.

Setelah wafatnya Dalem Pancaniti, kepemimpinan Bupati Cianjur diteruskan oleh putranya, Dalem Dipati Prawiradireja II. Beliau dikenal sebagai pendiri sekaligus pemilik Bumi Ageung Cikidang, kediaman megah yang kemudian menjadi salah satu situs sejarah terpenting di Cianjur.

R.A.A. Prawiradiredja II

Bumi Ageung Cikidang adalah simpul dari semua kisah itu, tentang bupati-bupati yang memimpin Priangan, tentang persahabatan dengan tokoh pergerakan nasional, tentang perempuan yang berani membuka jalan pendidikan, dan tentang para pejuang yang merancang strategi kemerdekaan.

Tidak hanya para bupati, perempuan dari keluarga ini juga meninggalkan jejak penting. Nyi Raden Ayu Tjitjih Wiarsih atau Juang Cicih, puteri R.A.A. Prawiradiredja II, tercatat sebagai salah satu perintis pendidikan perempuan di Cianjur. Bersama Raden Siti Jenab, ia mendirikan Sakola Kautamaan Istri, sebuah langkah berani yang membuka akses pendidikan bagi kaum perempuan awal abad ke-20.

Bersama Kang fajar (kanan)

Bumi Ageung Cikidang, dengan segala kisah di dalamnya, adalah museum hidup. Ia menyimpan cerita tentang pengaruh keluarga menak Cianjur yang bukan saja menggerakkan roda pemerintahan, tetapi juga membentuk wajah sosial, budaya, dan perjuangan bangsa. Kini, rumah ini tetap berdiri, berkat dedikasi Kang Fajar dan keluarga yang merawatnya dengan penuh cinta.

Kehadiran Kang Fajar sebagai pelestari Bumi Ageung menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dengan sikap ramah dan rendah hati, ia memastikan bahwa generasi hari ini dapat melihat, mendengar, dan merasakan napas sejarah dari rumah yang dulu menjadi tempat lahirnya gagasan-gagasan besar. Dari dinding yang lapuk, lantai yang berderit, dan halaman yang teduh, kita seakan diajak merenung bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dijaga agar tetap hidup.

"Mereka yang menjaga gedung tua, menjaga denyut masa lalu agar tetap terdengar di telinga masa depan."

Kini, berkat Kang Fajar dan keluarga besarnya, rumah ini masih berdiri anggun. Ia merawat setiap sudutnya dengan hati-hati, seolah menjaga bukan hanya bangunan, tetapi ingatan kolektif bangsa. Melihatnya, kita sadar, sejarah bukan sesuatu yang beku di buku, tetapi sesuatu yang hidup, sesuatu yang bisa disentuh, dirasakan, dan dijaga.

Terima kasih, Kang Fajar, yang telah menjadikan rumah ini bukan sekadar peninggalan, tetapi cermin agar kita ingat siapa kita, dari mana kita datang, dan bagaimana kita harus melangkah ke masa depan. 

Bogor, 12 September 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Referensi ; diambil dari berbagai sumber dan silsilah merujuk pada catatan R.Idang atau Endang Suhendar

Posting Komentar untuk "Bumi Ageung Cikidang, Rumah yang Mengingatkan Kita pada Siapa Kita"