Kisah Gerrit Willem Casimir van Motman
Gerrit Willem Casimir van Motman
Gerrit Willem Casimir van Motman lahir di Gennep, Belanda, pada 11 Januari 1773. Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, terdiri atas enam putra dan satu putri. Masa kecilnya jauh dari kebahagiaan. Empat kakaknya meninggal muda akibat tuberkulosis, penyakit yang kemudian juga merenggut nyawa ibunya saat Gerrit baru berusia 15 tahun. Kehilangan demi kehilangan itu membentuk ketangguhan dirinya sejak belia.
Pada 16 Juni 1790, di usia 17 tahun, Gerrit meninggalkan Gouree menuju Hindia Belanda dengan menumpang kapal “Gerechtigheid” yang berarti "Keadilan". Ia berangkat sebagai pedagang junior yang dipekerjakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Setelah menempuh perjalanan panjang di lautan, ia tiba di Batavia pada 1 Februari 1791. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 12 Agustus 1791, ia sudah dipercaya bekerja sebagai administrator di gudang gandum Batavia.
Namun perjalanan hidupnya tidaklah lurus. Pada tahun yang sama, Gerrit sempat kembali ke Belanda, sebelum akhirnya berlayar lagi ke Hindia Belanda pada 1793 untuk melanjutkan kariernya. Di Batavia, pada Februari tahun itu, ia menikahi Anna Apollonia Jens, seorang janda enam tahun lebih tua darinya yang telah memiliki enam anak. Pernikahan ini memberinya status sosial yang lebih mapan, bahkan kemungkinan besar sebuah rumah besar. Tetapi kehidupan rumah tangga mereka jauh dari harmoni. Anna memiliki reputasi buruk karena perlakuannya terhadap budak-budak, dan hubungan keduanya memburuk hingga berujung pada perpisahan di tahun 1797, hanya lima tahun setelah mereka menikah.
Tak lama kemudian, kehidupan membawa Gerrit bertemu dengan Reiniera Jacoba Bangeman. Kisah pertemuan mereka tercatat penuh nuansa romantis, dikatakan Gerrit terpikat padanya saat melihat Reiniera menari di sebuah lantai dansa. Reiniera sendiri telah berpisah dari suaminya, Albertus Hartman, sejak 1795. Meski demikian, secara hukum mereka masih terikat perkawinan, sehingga Gerrit dan Reiniera harus menunggu lama untuk bisa bersatu secara resmi.
Selama bertahun-tahun mereka hidup bersama, melewati masa penuh penantian dan hambatan hukum kolonial. Baru pada tahun 1809, setelah dua belas tahun menunggu izin resmi pembubaran pernikahan pertama Reiniera, keduanya akhirnya dapat menikah secara sah.
Kisah hidup Gerrit Willem Casimir van Motman memperlihatkan bagaimana seorang anak muda yang dibentuk oleh kehilangan, berlayar ke dunia baru demi mencari peruntungan, lalu melewati pasang surut kehidupan pribadi dan sosial di Batavia pada akhir abad ke-18. Dari sana, ia kelak menurunkan salah satu keluarga paling berpengaruh di tanah Priangan dan Bogor pada masa kolonial.
Dari dek kapal Gerechtigheid yang berderit diterpa angin samudra, ia tak pernah membayangkan bahwa kelak namanya akan melekat dalam sejarah tanah Priangan dan Bogor.
Setelah perantauannya di Batavia, perkawinannya yang gagal dengan Anna Apollonia Jens, serta penantian panjang bersama Reiniera Jacoba Bangeman hingga sah menikah pada 1809, Gerrit mulai menata hidup baru. Reiniera menjadi pasangan yang setia menemaninya, dan dari pernikahan itu lahirlah keturunan yang kelak menyebar dan berpengaruh besar di Hindia Belanda.
Memasuki abad ke-19, Gerrit van Motman meraih kedudukan penting di jajaran birokrasi kolonial. Ia dikenal sebagai seorang administratur yang tekun, sekaligus pedagang yang lihai membaca peluang. Latar belakangnya sebagai pegawai VOC memberinya pengalaman berharga dalam memahami arus perdagangan dan birokrasi kolonial.
"Gerrit Willem Casimir van Motman pernah menjadi tokoh penting dalam sejarah kolonial di tanah Jawa. Ia mendampingi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dalam ekspedisi hukuman terhadap Sultan Banten, yang kala itu memerintahkan pembunuhan seluruh pejabat dan prajurit Eropa di ibu kota kesultanannya.
Atas perintah Daendels, kota Banten diratakan dengan tanah, sultan digulingkan, dan kekuasaan lokal pun runtuh. Gerrit Willem Casimir mendapat imbalan besar atas jasanya. Daendels menghadiahkan kepadanya pedang emas, sorban, serta seperangkat gamelan milik sang pangeran. Catatan keluarga bahkan menyebutkan bahwa Daendels turut membawa istri tercantik sang sultan. Gerrit Willem Casimir sendiri diberi kesempatan memilih seorang istri, tetapi ia menolak lantaran takut mengusik istrinya yang sah.
Benda-benda rampasan itu kemudian menyebar bersama sejarah keluarga Van Motman. Sorban disimpan oleh putranya, Frits, lalu dikuburkan bersamanya setelah para ahli waris gagal mencapai kesepakatan mengenai siapa yang berhak memilikinya. Gamelan itu dibiarkan terbengkalai di Djamboe. Sedangkan pedang emas, biasanya disimpan di Dramaga. Dalam tradisi lisan yang hidup, di ruangan tempat pedang itu berada, keyakinan dalam takhayul keluarganya, terdengar isakan arwah sang sultan, ratapan abadi atas ketidakadilan yang menimpanya."
Seiring melemahnya VOC dan lahirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah Kerajaan Belanda, Gerrit melihat peluang untuk menguatkan posisi keluarga. Ia mulai mengarahkan langkah ke wilayah pedalaman Barat di Priangan, daerah subur yang menjadi basis perkebunan dan pemasok hasil bumi. Dari sanalah nama Van Motman mulai mengakar.
Menjadi Tuan Tanah Priangan
Sekitar paruh pertama abad ke-19, Gerrit dan keturunannya memperoleh konsesi tanah luas di sekitar Bogor. Wilayah itu, dengan hawa sejuk pegunungan dan tanah yang subur, sangat ideal untuk perkebunan kopi, teh, dan kina. Keluarga Van Motman dengan cepat menjelma menjadi landheer (tuan tanah) yang menguasai berbagai perkebunan sekaligus memainkan peran penting dalam perekonomian kolonial di Priangan.
Bogor, yang oleh Belanda dinamai Buitenzorg (tanpa kesusahan), menjadi basis utama mereka. Keluarga Van Motman membangun rumah-rumah besar, bercorak kolonial dengan sentuhan arsitektur lokal. Dari sanalah dinasti mereka berkembang, mengawinkan darah Belanda dengan perempuan Indo dan pribumi, melahirkan generasi baru yang berakar kuat di tanah Priangan.
Dinasti Van Motman di Bogor
Gerrit Willem Casimir van Motman bukan hanya seorang perantau yang mencari untung, tetapi juga pendiri sebuah dinasti. Dari keturunannya lahirlah keluarga besar yang berjejaring luas dengan kalangan pejabat kolonial, bangsawan lokal, dan pedagang besar. Nama Van Motman bahkan bertahan hingga generasi akhir kolonialisme Belanda di Hindia.
Mereka dikenal sebagai salah satu keluarga paling berpengaruh di Bogor. Kehadiran mereka meninggalkan jejak pada toponimi, catatan arsip kolonial, hingga cerita rakyat setempat. Dinasti Van Motman membentuk lanskap sosial-ekonomi Bogor, menanamkan warisan yang masih terasa gaungnya hingga abad ke-20.
Potret Jacob Gerrit Theodoor van Motman, salah satu putera lelaki Gerrit Willem Casimir van Motman yang dilahirkan di Karawang pada 18 November 1816 dan wafat di Buitenzorg (Bogor) 20 September 1890. Ia diduga dimakamkan yang berada dalam satu komplek pada pemakaman Mausoleum Van Motman di Djamboe.
Dan semua itu bermula dari seorang pemuda 17 tahun yang, dengan keberanian dan tekad, meninggalkan Gennep menuju negeri seberang. Dari kehilangan masa kecil hingga kejayaan di tanah jajahan, kisah Gerrit Willem Casimir van Motman adalah cermin betapa perjalanan seorang manusia bisa membentuk sejarah sebuah kota.
Perkebunan dan Warisan Van Motman di Priangan
Sebagai seorang landheer atau tuan tanah, Gerrit Willem Casimir van Motman mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai tanah seluas 117.099 hektar di Priangan dan Banten. Luas yang luar biasa ini menjadikannya salah satu penguasa tanah paling berpengaruh pada masanya.
Wilayah-wilayah yang masuk dalam kepemilikannya membentang dari kaki Gunung Salak hingga perbukitan Banten: Semplak, Kedong Badak, Rumpin, Cikoleang, Trogong, Dramaga, Ciampea, Jambu, Nangung, Bolang, Jasinga, Pondok Gedeh, Pasar Langkap, dan Rosa di Gunung Priangan, hingga Cikandi Ilir dan Cikandi Udik di Banten. Tanah-tanah ini menjadi basis bagi perkebunan kopi, teh, dan hasil bumi lainnya yang menyuplai roda perekonomian kolonial.
Potret Jan Casimir Theodorus van Motman, salah satu putera lelaki Gerrit Willem Casimir van Motman yang dilahirkan di Tjiandoer (Preanger), pada 2 April 1819 dan wafat di Tjikoleang Buitenzorg pada 04 Desember 1865, (dalam usia 46 tahun).
Namun kejayaan itu tidak berlangsung lama. Pada 25 Mei 1821, Gerrit Willem Casimir wafat dalam usia 48 tahun. Ia dimakamkan di Dramaga, Bogor, dalam sebuah kompleks pemakaman keluarga yang dikenal dengan sebutan Astana Jamboe atau Mausoleum Van Motman. Kompleks ini diperuntukkan khusus bagi keluarga Van Motman dan menjadi simbol status bangsawan tanah Priangan. Sayangnya, seiring waktu, pemakaman itu kini terbengkalai, rusak, bahkan dirusak oleh vandalisme.
Menariknya, beberapa sumber menyebutkan bahwa jasad Gerrit sendiri tidak dimakamkan di kompleks tersebut. Justru Maria Henrietta van Motman, putri Gerrit yang meninggal pada 5 Desember 1811, disebut sebagai anggota pertama keluarga Van Motman yang dikebumikan di Astana DJamboe.
Potret Pieter Cornelis van Motman, salah satu putera lelaki Gerrit Willem Casimir van Motman yang dilahirkan di Batavia pada 10 September 1820 dan wafat di Buitenzorg pada 08 Oktober 1902 dalam usia 82 tahun. Ia dimakamkan yang berada dalam satu komplek pada pemakaman Mausoleum Van Motman di Djamboe.
Dari dua belas anak Gerrit, delapan di antaranya dimakamkan di sana. Sebagian besar berpulang di usia sangat muda, bahkan ada yang belum melewati lima tahun. Hanya satu anak yang mencapai usia lanjut, Petrus Cornelis van Motman, yang wafat pada usia 82 tahun. Ia dipercaya sebagai salah satu jenazah keluarga Van Motman yang diawetkan melalui proses mumifikasi di kompleks makam tersebut. Sayangnya, setelah keluarga Van Motman meninggalkan Indonesia pada tahun 1958, baik jasad mumi maupun peti matinya hilang, diduga dicuri oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
![]() |
Mausoleum Van Motman tempo dulu |
Maka, dari kejayaan perkebunan luas hingga tragedi pemakaman yang kini tak terawat, kisah Gerrit Willem Casimir van Motman dan keturunannya meninggalkan jejak kontras: antara kebesaran dinasti kolonial dan rapuhnya warisan sejarah ketika ditelan waktu.
![]() |
Landhuis Van Motman tempo dulu |
Keluarga Van Motman memiliki sebuah rumah besar di kawasan Dramaga yang dikenal dengan nama Groot Dramaga atau Dramaga Besar. Disebut demikian karena bangunan bergaya landhuis ini berukuran megah dengan 20 kamar yang menjadikannya salah satu rumah kolonial terbesar di wilayah Bogor pada masanya.Sejak didirikan pada tahun 1813, Landhuis Groot Dramaga menjadi kediaman utama keluarga Van Motman. Selama lebih dari satu abad, hingga tahun 1958, rumah besar ini dihuni oleh lima generasi keluarga, menjadikannya pusat kehidupan sekaligus simbol kejayaan dinasti Van Motman di tanah Priangan.Kini, jejak kolonial itu masih berdiri, meski dengan fungsi yang berbeda. Landhuis Groot Dramaga telah beralih menjadi wisma tamu milik IPB, berlokasi di Jalan Tanjung No. 4, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Dengan demikian, bangunan yang dahulu menjadi saksi sejarah keluarga tuan tanah besar, kini berubah menjadi bagian dari dunia pendidikan, tetap menyimpan cerita masa lalu dalam dinding-dinding tuanya.
Posting Komentar untuk "Kisah Gerrit Willem Casimir van Motman"
Posting Komentar