Menir Hendrik, Anak Tuan Tanah Eksentrik di Bogor Zaman Belanda

F.H.C van Motman

"Nama Frederik Hendrik Constant van Motman barangkali paling tepat dikenang sebagai sosok flamboyan, seorang bangsawan Belanda yang penuh gairah hidup, pecinta pesta, pemburu, sekaligus ayah dari banyak keturunan. Ia sering dijuluki bon vivant, penikmat hidup sejati dan juga Casanova pada masanya."

Dalam kehidupan rumah tangganya bersama Sophia Maria van Riemsdijk, istri yang dinikahinya pada usia 24 tahun, Van Motman dikaruniai sembilan orang anak. Namun di luar ikatan pernikahan, darah Van Motman mengalir pula pada anak-anak dari dua perempuan keturunan Tionghoa, Tan Nieo dan Tan Kang Nio. Dari merekalah lahir beberapa putra-putri di luar nikah, yang meski tidak sah secara hukum, tetap menyandang nama besar Van Motman dan dibesarkan di lingkungan keluarganya.

Di luar urusan asmara, Van Motman dikenal sebagai seorang pemburu ulung. Ia tergabung dalam Nimrodclub, sebuah perkumpulan eksklusif kaum elit Eropa yang gemar memburu hewan besar di tanah Hindia. Dari gaya hidup mewahnya lahirlah sebuah ungkapan satir yang populer kala itu: “Van Motman tanpa sampanye adalah Belanda tanpa Oranje.” Konon, kalimat ini pertama kali terdengar pada tahun 1861 ketika seorang bangsawan Belanda, H.D. Levyssohn Norman, berjalan bersama N.P. van den Berg dan rombongan dari perkebunan Tjampea menuju solfataras Gunung Salak.

Selain hobi dan pesta, Van Motman juga memiliki kuasa besar atas tanah. Ia tercatat sebagai pemilik sekaligus tuan tanah di Semplak, Tjikandi Oedik, dan Kedong Badak, serta penyewa tanah luas di kawasan Tjampea, Tjiboenboelan, dan Sadeng Timur milik ahli waris Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk. Sejak 1882 ia membayar sewa sebesar £202.000 per tahun, angka fantastis pada masanya, meski kemudian turun menjadi £150.000 pada 1886–1887 akibat kesulitan keuangan. Kontrak sewa itu akhirnya berakhir pada 1 Januari 1888.

Van Motman bukan sekadar tuan tanah penerus ayahnya, ia juga ksatria dalam Ordo Singa Belanda dan anggota loji Freemason “Ster in het Oosten” di Batavia sejak 1846. Pemerintah kolonial mencatat jasanya, salah satunya ketika ia membantu memadamkan pemberontakan di tanah Tjikandi.

Menariknya, meski tercatat lahir di Pondok Gedeh, tanah itu sebenarnya bukan milik keluarganya melainkan kepunyaan Nicolaas Engelhard, anggota Dewan Hindia Timur. Kemungkinan besar, ayah Van Motman, Gerrit bersahabat dekat dengan Engelhard, sehingga mereka bisa berbagi tempat tinggal dalam harmoni kaum elite kolonial.

Gerrit van Motman (1773 - 1821)

Kehidupan keluarga Van Motman diakhiri dengan kisah yang penuh ironi. Makamnya, yang menurut cerita keluarga sempat dianggap keramat oleh penduduk, lenyap dijarah dan hilang tak berbekas pada masa pendudukan Jepang.

Dengan segala kelebihan dan kontradiksinya, antara kehormatan bangsawan, gairah asmara, kekuasaan atas tanah, hingga tragedi akhir hayatnya, Frederik Hendrik Constant van Motman tetap menjadi salah satu figur paling berwarna dalam sejarah tanah Bogor pada masa kolonial Belanda.

Bogor, 28 Agustus 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Referensi : Stichting Van Motman Familie Archief

Posting Komentar untuk "Menir Hendrik, Anak Tuan Tanah Eksentrik di Bogor Zaman Belanda"