Saudagar Banten dan Surkati di Chaulan Weg
![]() |
Foto adalah ilustrasi |
Rumah di Chaulan Weg bukan sekadar bangunan tua yang menatap aliran Kali Krukut, tapi menjadi lambang hidup dari perjuangan, pengorbanan, dan kasih sejati, sebuah warisan ruhani yang selayaknya dijaga sebagai cagar budaya umat dan bangsa.
Langit sore di atas Chaulan Weg seolah menyimpan banyak kenangan. Di antara riuh rendah Jakarta Pusat, di jalan yang kini bernama KH Hasyim Asy'ari No. 25, berdiri sebuah rumah yang tak lekang oleh zaman. Rumah bergaya Indies ini, dengan jendela-jendela kayu tinggi dan halaman luas yang menatap aliran Kali Krukut, telah menjadi saksi bisu zaman kolonial, revolusi kemerdekaan, hingga era republik. Dan di balik pintu kayunya yang tua, sejarah menjelma menjadi denyut yang hidup, karena di sinilah Syaikh Ahmad Surkati pernah tinggal, berpikir, dan mencintai umatnya dengan seluruh keberanian dan keluruhan akhlaqnya.
Pada suatu hari di awal 1930-an, sore itu hangat dan tenang. Di beranda rumah itu, Surkati duduk bersama dua murid kesayangannya, Al-Ustadz Ali Salim Hubeis dan Syaikh Ali bin Mugieth. Mereka berbincang dengan nada suara rendah, membahas keadaan umat, madrasah, dan pergerakan yang masih terus mereka rawat di tengah tekanan zaman. Gelas-gelas teh hangat berembun di atas baki tembaga. Aroma melati dan kayu manis pelan-pelan menyatu dengan napas sore.
Lalu datanglah seorang laki-laki. Ia tak langsung bicara, hanya menunduk, duduk bersila dekat tangga. Pakaian yang dikenakannya kusam, dan wajahnya—ya, wajah itu—penuh luka dan cacat yang tak biasa. Ia tampak seperti fakir yang tersesat jalan, namun cara duduknya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar lapar atau meminta sedekah. Surkati menghampiri, menawarkan salam, dan sebuah koin benggol. Laki-laki itu menolak. Diam.
Batin Surkati terusik. Ada yang dikenal dalam diam itu. Sesuatu yang tak terucap, tapi menggantung erat di antara waktu dan luka. Setelah tamu-tamunya pamit, Surkati kembali menghampiri pria itu, kini lebih dekat. Laki-laki itu akhirnya berbicara. Dengan suara parau, ia berkata: “Saya Haji Abdurrahman, dari Banten.”
Surkati tertegun. Dunia serasa berhenti berputar sejenak.
Haji Abdurrahman. Nama itu menembus ingatan dengan deras. Ia adalah sahabat lama, saudagar dermawan dari Cilegon yang pernah bersama-sama berjuang menyiarkan ajaran Islam murni. Kini, wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Penyakit lepra telah merenggut ketampanan dan kebesaran yang dulu melekat padanya. Ia bercerita, dengan mata berkaca-kaca, tentang penderitaan yang selama bertahun-tahun ia sembunyikan dari dunia. Tentang pengasingan sunyi di rumah sakit lepra di Medan, dan tentang satu keinginan terakhirnya sebelum ajal: berjumpa dengan sang guru, memohon doa, dan menyampaikan terima kasih.
Surkati, dengan kebesaran jiwanya yang agung, tak ragu sedikit pun. Ia memeluk sahabatnya itu dengan kasih yang tak terucapkan. “Haram bagi setiap Muslim untuk berputus asa,” katanya. Dan sejak hari itu, di rumahnya di Chaulan Weg, ia merawat Haji Abdurrahman sendiri, dengan telaten dan penuh rahim.
Sebuah ruangan kecil diubah menjadi kamar perawatan. Di pojoknya, sebuah jolang besar dari tembikar disiapkan untuk mandi air hangat yang dicampur minyak kasturi dan ramuan herbal warisan ilmu kedokteran Arab klasik. Surkati, yang mewarisi ilmu pengobatan dari kakeknya di Sudan, mencatat semua dosis dan metode dalam buku-buku tuanya yang kini entah hilang ke mana. Hari demi hari, kulit Abdurrahman mulai mengelupas, luka-lukanya mengering, dan tubuhnya perlahan pulih. Dalam waktu hampir setahun, ia sembuh.
Sebuah "mukjizat" kecil. Namun lebih dari itu: sebuah kemenangan cinta dan keteladanan.
Beberapa waktu setelah pulang ke Banten, Haji Abdurrahman datang kembali. Kali ini, ia membawa sebundel surat kepemilikan tanah dan dokumen resmi. “Ini kebun saya di Cilegon. Saya hadiahkan untuk Tuan Syech, sebagai tanda terima kasih,” katanya.
Surkati menerima dengan lapang dada. Namun, di hadapan murid-muridnya, ia serahkan kembali hadiah itu. “Apa yang saya lakukan adalah kewajiban. Dan balasannya hanya saya harapkan dari Allah semata,” ucapnya, dengan nada merunduk, mengutip QS. Asy-Syu’ara ayat 180: "Dan aku tiada meminta imbalan kepadamu, upahku hanyalah dari Allah Rabbul 'Alamin."
Kisah ini bukan sekadar potret kebaikan satu orang kepada sahabatnya. Ia adalah lensa yang menyorot seluruh semangat zaman. Bagaimana seorang ulama bukan hanya menjadi guru dalam ilmu, tapi juga dalam kasih sayang dan keikhlasan. Chaulan Weg 25 menjadi semacam titik temu antara sejarah, akhlak, dan cinta kemanusiaan.
Kini, rumah itu masih berdiri. Dikelilingi oleh deretan gedung perkantoran dan toko-toko modern yang sibuk dan acuh. Tapi di dalamnya, waktu seperti mengendap. Keluarga almarhum Ustadz Siddiq Surkati masih setia menjaga keaslian bentuk dan ruhnya. Rumah itu adalah pusaka, bukan hanya milik satu keluarga, tapi milik sejarah umat Islam Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat melihat rumah ini sebagai warisan tak ternilai. Sebuah museum bisa dihidupkan di dalamnya, sebagai penanda bahwa Jakarta pernah menjadi saksi hidup perjuangan seorang ulama besar. Bila ini terwujud, maka rumah ini akan menjadi satu-satunya cagar budaya di ibu kota yang menyimpan kenangan hidup seorang pejuang Islam modernis, seorang tokoh yang bahkan diakui oleh Presiden Indonesia ketujuh dalam pidatonya saat Hari Santri 2015 di Istiqlal, dan sebelumnya oleh Bung Karno, sebagai salah satu yang mempercepat jalan menuju kemerdekaan.
Namun, ini bukan sekadar tentang bangunan. Ini tentang ingatan. Tentang seseorang yang memberi tanpa meminta kembali. Tentang keteladanan yang tidak dibuat-buat, yang mengalir dari iman yang tulus, dari ilmu yang matang, dari akhlak yang dibentuk oleh kesadaran ilahiah.
Dan kita, sebagai generasi penerus, hanya bisa berharap: semoga kisah ini tidak sekadar dibaca dan dilupakan, tetapi menjadi suluh dalam perjalanan kita—untuk mencintai sejarah, menghormati para guru bangsa, dan menyelami makna dari sebuah rumah yang pernah menyembuhkan tubuh dan jiwa seorang saudagar dari Banten.
Namun jejak Surkati tak hanya tertinggal di Chaulan Weg. Di ujung selatan tanah Banten, di kota Cilegon, berdiri sebuah surau kecil yang sunyi. Dindingnya polos, lantainya beralas keramik kusam, dan langit-langitnya rendah. Namun di salah satu sisinya, terpasang sebuah prasasti dari marmer, dengan tulisan yang di tatah sederhana namun menyimpan makna yang dalam.
Di situ terukir nama: Syaikh Ahmad bin Muhammad Surkati al-Anshari. Nama itu dipahat bukan oleh pemerintah, bukan pula oleh lembaga resmi. Ia adalah ungkapan cinta dan penghormatan seorang sahabat yang pernah jatuh, lalu dipapah kembali menuju cahaya oleh tangan kasih seorang guru.
Haji Abdurrahman—yang dulu datang dalam keadaan putus asa dan berpenyakit, lalu pulang dengan tubuh yang pulih dan hati yang lapang—mendirikan surau itu sebagai bentuk syukur. Dan ia sematkan nama Surkati pada dindingnya, agar doa-doa dari bibir para musafir, pengembara ilmu, dan anak-anak kecil yang mengaji di sana, senantiasa mengalirkan pahala untuk sang muallim, sang pelita zaman.
Begitulah, warisan sejati tak hanya berupa tanah atau bangunan. Ia terpatri dalam jiwa-jiwa yang tercerahkan, dalam amal yang tersembunyi, dan dalam nama yang ditanamkan diam-diam di dinding surau kecil di pelosok Banten.
Dan mungkin, itulah keabadian yang paling luhur—sebuah nama yang hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam cinta yang tak meminta kembali.
Bogor, 6 Juli 2025
Abdullah Abubakar Batarfie
Kisah di atas diambil berdasarkan sumber dari buku "Keluhuran Budi" yang ditulis oleh A.K. Said Bawazier, hasil rekaman wawancara beliau dengan almarhum ustadz Muhammad Munif.
Posting Komentar untuk "Saudagar Banten dan Surkati di Chaulan Weg"
Posting Komentar