Polemik Nasab: Warisan Kosong yang Diperebutkan


Di tengah krisis identitas dan degradasi moral, panggung wacana publik di tanah air justru semakin ramai oleh pertikaian usang yang tak kunjung selesai: perebutan klaim nasab. Perseteruan ini kian meruncing dan menyeret banyak pihak ke dalam kubu-kubu, yang untuk memudahkan penyebutan bisa kita kelompokkan dalam dua arus besar ; kaum muhibbin yang mengultuskan garis keturunan, dan kaum mukimad yang kritis terhadap keabsahan nasab.

Sejatinya, isu ini bermula dari manuver Imaduddin dan Fuad Plered. Namun, percikan api kecil itu menjalar cepat, membakar nalar publik hingga menjadi kobaran polemik yang menjebak banyak pihak. Sosok Haji Oma Irama, sang raja dangdut yang dalam beberapa kesempatan turut meramaikan panggung. Bahkan, dari dinamika ini lahirlah kelompok baru bernama Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI), sebuah nama besar yang dibungkus semangat kecil: memburu pengakuan nasab.

Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: untuk siapa sebenarnya klaim-klaim ini diperjuangkan? Apakah bermanfaat bagi umat? Atau sekadar menjadi panggung glorifikasi diri yang dibalut jubah religiusitas dan simbol kehormatan palsu?

Kedua kubu, baik dari barisan Baalawi maupun para pengusung PWI, hari ini tampak tak ubahnya cermin satu sama lain. Keduanya larut dalam kegilaan yang sama: mengklaim kemuliaan melalui nasab, gelar, dan afiliasi darah. Entah itu Habib, Sayyid, Gus, atau Raden, semuanya dijadikan mahkota simbolik yang seolah menjamin legitimasi spiritual dan kultural, padahal tak lebih dari pelarian identitas yang rapuh.

Padahal Islam datang bukan untuk membangun hirarki darah, melainkan menegakkan keadilan dan kesetaraan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini dengan tegas membantah seluruh bangunan sosial yang dibangun di atas kebanggaan semu terhadap asal-usul dan nasab.

Kita tentu tidak bisa melupakan keteladanan para pembaharu Islam yang justru menentang keras bentuk-bentuk hierarki semu ini. Salah satu di antaranya, dan yang paling lantang menyuarakan egalitarianisme Islam, adalah Syaikh Ahmad Surkati.

Ulama asal Sudan yang datang ke Nusantara dan mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah sejak 6 September 1914 ini tidak mewariskan ajaran tentang kebanggaan atas garis keturunan, tetapi menekankan nilai al-musawah, kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah.

Dalam sejarahnya, Syaikh Surkati bahkan berani menantang pemikiran diskriminatif kalangan Baalawi di Batavia yang melarang perempuan dari kalangan sayyid menikah dengan laki-laki non sayyid, sebuah pemikiran yang ia nilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ia menjawab dengan mengutip hadis Nabi SAW:

"Wahai Fathimah binti Muhammad! Mintalah kepada Allah dari harta-Nya, karena aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari (azab) Allah. Ketahuilah, bahwa aku tidak dapat memberikan manfaat kepadamu sedikit pun di hadapan Allah!" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi fondasi bagi Syaikh Surkati dalam menegaskan bahwa tidak ada kekhususan nasab dalam hal kemuliaan atau keselamatan di akhirat. Ia menyuarakan bahwa takwa dan ilmu adalah standar utama dalam menilai manusia, bukan silsilah darah.

Logo Al-Irsyad, sisir yang digenggam tangan, bukan sekadar ornamen simbolik. Ia adalah pernyataan ideologis, bahwa seluruh umat Islam harus diperlakukan setara, seperti gigi-gigi sisir yang rata. Dan bahwa prinsip ini harus digenggam erat, tidak goyah oleh arus feodalisme spiritual dan budaya kasta berdasar nasab.

Hari ini, polemik nasab yang dimainkan oleh Baalawi dan PWI tidak hanya memperlihatkan ketidakdewasaan dalam beragama, tetapi juga memalukan secara intelektual. Mereka yang mengklaim sebagai pewaris darah suci atau wali songo, justru menunjukkan kegagalan memahami inti ajaran Islam. Apa artinya berdebat soal keturunan Nabi jika dalam kehidupan nyata mereka menjauhi sikap tawadhu, adil, dan merendah?

Islam bukanlah agama silsilah. Ia adalah agama akhlak dan perjuangan. Para Nabi dan wali pun tidak pernah meminta dimuliakan karena garis keturunannya. Bahkan Nabi Muhammad SAW menolak diistimewakan dalam bentuk kultus pribadi atau keluarga.

“Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula bagi yang hitam atas yang putih, kecuali dengan takwa.” (Hadis Nabi, HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan lainnya)

Setiap upaya untuk menegakkan kasta berdasarkan nasab adalah pengkhianatan terhadap semangat Islam itu sendiri.

Kedua kubu ini, sadar atau tidak, sedang mempertontonkan absurditas, mereka merebut pepesan kosong. Mengatasnamakan agama, tapi sejatinya berlomba-lomba mencari pengakuan sosial. Dan yang lebih menyedihkan, mereka menyeret masyarakat awam ke dalam pusaran konflik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Saatnya kita kembali ke inti ajaran Islam. Menanggalkan gelar-gelar palsu yang justru menjadi tembok pemisah umat. Membangun peradaban bukan di atas kebanggaan nasab, tetapi di atas fondasi ilmu, amal, dan ketakwaan. Karena yang paling mulia di sisi Allah bukan yang bergelar habib, sayyid, Gus atau raden, tetapi mereka yang paling bertaqwa.

Bogor, 25 Juli 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Polemik Nasab: Warisan Kosong yang Diperebutkan"