Kraemer, dan Ketegasan Surkati di Chaulan Weg

Foto adalah ilustrasi

Batavia, 1930-an. Di sebuah rumah bergaya Indis, di Chaulan Weg, sebuah kawasan ramai dekat weltevreden di Betawi, seorang ulama tua duduk di beranda rumahnya. Wajahnya tenang namun tegas, sorot matanya menyimpan cahaya keilmuan yang sulit dibantah, meskipun tubuhnya mulai digerogoti usia. Ia adalah Syaikh Ahmad Surkati, tokoh pembaharu Islam yang disegani, namun kerap disalahpahami.

Namanya bergaung kuat di kalangan pelajar dan pemuka Islam, tapi juga gemetar dibisikkan oleh aparat pemerintah kolonial. Ia tidak membungkuk kepada kekuasaan, tidak tunduk kepada status, apalagi kompromi terhadap akidah. Meski begitu, anehnya, banyak pejabat Belanda justru datang padanya, bukan untuk mengintervensi, melainkan untuk belajar.

Salah satu yang paling sering bertandang adalah Prof. Dr. G.F. Pijper, pejabat dari Voor Islamietische Zaken yang kemudian menjadi sahabat dekat Surkati, sekaligus muridnya dalam bahasa Arab dan fikih. Pijper mengakui, lelaki tua di Chaulan Weg itu bukan sekadar ulama, melainkan juga seorang pemimpin sejati, berprinsip, ramah, cerdas, dan tegas dalam keyakinan.

"Selama hidupnya," kata Pijper dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Amsterdam pada tahun 1955, "Surkati selalu menjaga jarak dari orang-orang Eropa. Tapi tak sekalipun ia menolak tamu yang datang dengan niat belajar."

Suatu sore selepas Ashar, suara azan baru saja menggema dari surau-surau kecil di kampung itu. Angin lembab menyusup di antara sela-sela pohon asam dan jendela yang terbuka lebar. Hari itu, dua orang tamu berdiri di depan rumah Surkati. Yang satu adalah Pijper, dan di sampingnya seorang pria jangkung berambut perak, wajahnya serius: Dr. Hendrik Kraemer, teolog dan konsultan zending Belanda.

Di beranda rumah yang teduh, sambil menyeruput sahi hangat, tiga orang dari dua dunia yang berbeda duduk berdampingan. Mereka bukan sedang bertukar basa-basi diplomatik, melainkan tengah menyusuri tebing curam antara keimanan, kolonialisme, dan kemanusiaan.

Kraemer membuka percakapan dengan nada pelan namun menusuk:

"Saya ingin tahu, Tuan Surkati... bagaimana pandangan Anda terhadap agama Kristen, yang saya anut ini?"

Sejenak, suasana menjadi hening. Bahkan burung pipit pun seolah menahan nyanyiannya. Surkati meletakkan cangkirnya, lalu menatap langsung ke arah Kraemer. Suaranya pelan, namun dalam dan tak tergoyahkan.

“Seandainya Nabi Isa Alaihisalam kembali ke bumi,” katanya, “beliau akan mendapati segolongan umat yang mengaku pengikutnya, namun keyakinan mereka justru berseberangan dengan apa yang beliau ajarkan.”

Kraemer terdiam. Pijper menyandarkan punggungnya ke dinding, memperhatikan.

“Kalian menyebut Isa sebagai anak Tuhan,” lanjut Surkati, “sementara kaum Yahudi, yang memiliki garis keturunan dengannya, menyebutnya anak haram. Dan lihat, bangsa kalian baru mengenal ajaran Kristen tiga abad setelah wafatnya Nabi Isa. Di antara dua pandangan yang bertentangan itu, mana yang lebih patut dipercaya?”

Kata-kata itu tidak disampaikan dalam nada marah, tapi dengan ketenangan seorang guru yang menginginkan kejelasan, bukan kemenangan. Surkati tidak menggurui. Ia mengajak berpikir.

“Kami, umat Islam,” katanya sambil menunjuk ke dadanya, “meyakini Isa sebagai nabi, bukan anak Tuhan. Ia suci, tidak punya ayah, tapi bukan anak haram. Ia utusan Allah, sebagaimana Muhammad adalah utusan terakhir.”

Para murid Surkati yang ikut menyaksikan pertemuan itu—Abdullah Agil Bajerei dan Hasan Saleh Argubi—masih mengingat getar kata-kata itu bahkan bertahun-tahun kemudian. Bagi mereka, hari itu bukan hanya pertemuan antar tokoh, tapi kuliah hidup tentang keberanian dan keteguhan akidah.

Kraemer dan Pijper tak membalas dengan debat. Mereka diam, tetapi bukan diam karena kalah. Mereka diam karena takjub. Mereka tidak hanya bertemu seorang ulama, tapi seorang pria yang tidak pernah bertekuk lutut kepada penjajah, bahkan saat rumahnya dikelilingi marsose dan soldadu demi menjaga dua "tamu penting" dari pemerintah Hindia Belanda.

Dan ini bukan satu-satunya peristiwa yang menyingkap siapa sebenarnya Ahmad Surkati.

Dalam catatan Van der Plas, tokoh penting Kantoor voor Inlandsche Zaken, ia menulis dengan takzim:

“Dalam setengah abad hidupku, belum pernah aku temui seseorang dengan keikhlasan melebihi Surkati.”

Van der Plas pernah meminta Surkati menulis buku tentang etika Islam. Maka lahirlah Al-Adab al-Qur’aniyyah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi Zedeleer uit den Qur’an dan diterbitkan di Den Haag tahun 1932. Buku itu menjadi jendela kecil tentang jiwa besar seorang guru Arab yang lahir di Sudan, dan kemudian mengakar dalam sejarah keilmuan Islam Indonesia.

Tapi tidak semua orang bisa memahami Surkati. Beberapa kelompok puritan menuduhnya “terlalu mesra dengan Belanda”, bahkan menyebutnya terlalu lunak terhadap kaum kafir harbi. Mereka hanya melihat kulit luar, tidak menyelami inti keteguhan Surkati, yang dalam banyak kesempatan, menyebut pejabat kolonial dengan cercaan keras karena kebijakan mereka yang menindas umat Islam.

“Antum kilaab! Antum khanaazir!” — kata Surkati dalam satu peristiwa, menghujat para pejabat Kantoor voor Inlandsche Zaken yang menyimpang dari prinsip keadilan.

Tahun-tahun berlalu. Ketika Jepang menduduki Jawa dan menahan Pijper sebagai interniran, kabar duka menyapanya dalam senyap: Ahmad Surkati telah wafat.

Saat ia akhirnya kembali bebas, ia datang ke pemakaman wakaf Tanah Abang. Di sana, makam Surkati hanyalah gundukan tanah tanpa nisan. Tak ada tanda, tak ada nama. Tapi bagi Pijper, tempat itu lebih suci dari bangunan megah manapun. Sebab di situ, terbaring seseorang yang pernah mengajarkannya arti keyakinan, martabat, dan cinta ilmu.

Hari ini, makam itu telah hilang. Dibongkar. Di atasnya kini berdiri Masjid Said Na’um, dibangun di masa Gubernur Ali Sadikin. Jenazahnya, konon, telah dipindah ke berbagai tempat: Tanah Kusir, Jeruk Purut, atau mungkin Karet Bivak. Tak jelas di mana.

Namun seperti kata orang bijak: tak penting di mana jasad dikuburkan, sebab yang abadi adalah jejak dan keberanian yang ditinggalkan.

Ahmad Surkati bukan hanya nama. Ia adalah suara keras yang tak bisa dibungkam. Ia adalah guru dari para guru, yang mengajarkan bahwa keadilan, keberanian, dan ilmu adalah cahaya yang bahkan penjajahan tak mampu memadamkannya.

Bogor, 6 Juli 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Kisah di atas diambil berdasarkan sumber dari buku "Keluhuran Budi" yang ditulis oleh A.K. Said Bawazier, hasil rekaman wawancara beliau dengan almarhum ustadz Muhammad Munif


Posting Komentar untuk "Kraemer, dan Ketegasan Surkati di Chaulan Weg"