Warisan Iedul Adha, Haji, dan Ketokohan Surkati dalam Sejarah Islam Indonesia

old Makkah Photo

Setiap tanggal 10 Zulhijjah, gema takbir menggema di langit-langit Nusantara. Umat Islam menunaikan shalat Iedul Adha di tanah lapang, dilanjutkan dengan menyembelih hewan qurban sebagai bentuk kepatuhan atas perintah ilahi. Namun, lebih dari sekadar ritual tahunan, peristiwa ini menyimpan sejarah panjang yang telah membentuk watak spiritual sekaligus politik umat Islam di Indonesia.

Sejarah ibadah qurban bermula dari peristiwa monumental dalam tradisi kenabian, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk menyembelih putranya, Ismail. Sebuah ujian yang melampaui logika manusia, namun dijawab dengan ketundukan total. Allah kemudian mengganti Ismail dengan seekor gibas, dan sejak saat itu, syariat qurban menjadi simbol kepasrahan dan keikhlasan kepada Sang Pencipta.

Rasulullah Muhammad ﷺ menyempurnakan praktik ini dengan ajaran sunnah-sunnah pelaksanaannya, yang kemudian menjadi tradisi hidup umat Islam. Iedul Adha tak hanya dirayakan dengan penyembelihan hewan, unta, sapi, kambing, atau domba, tetapi juga dilingkupi oleh ibadah lain yang menyertainya: puasa Arafah, shalat Ied, dan tentunya, ibadah haji sebagai rukun kelima Islam.

Tradisi Qurban dan Jiwa Sosial Islam di Indonesia

Di bumi Indonesia, sapi dan kambing menjadi hewan qurban yang paling umum dikorbankan. Selepas shalat Ied, penyembelihan dilakukan, dan dagingnya dibagikan kepada tetangga dan kaum dhuafa. Ibadah ini bukan hanya ibadah individual, tetapi juga gerakan sosial tahunan yang menanamkan semangat gotong royong dan keadilan sosial.

Hari ini, pelaksanaan qurban telah berkembang secara kolektif dan terorganisir. Jika dahulu dilaksanakan secara pribadi, kini lembaga-lembaga sosial, masjid, hingga RT dan RW mengelolanya lewat kepanitiaan. Tradisi ini tidak lepas dari pengaruh gerakan pembaruan Islam modern yang lahir dari semangat para tokoh haji Indonesia.

Haji ke Mekkah Tempo Doeloe


Haji dan Pembaruan Pemikiran Islam

Sejarah mencatat, umat Islam Nusantara telah menunaikan haji sejak ratusan tahun lalu. Dengan kapal layar, mereka menyeberangi samudera Hindia menuju Hijaz. Perjalanan panjang ini bukan sekadar ekspedisi spiritual, melainkan juga petualangan intelektual dan politik. Ibadah haji menjadi "universitas terbuka" umat Islam dari seluruh penjuru dunia, tempat bertukar ilmu dan strategi perlawanan terhadap kolonialisme.

Tokoh-tokoh besar lahir dari alumni Mekkah yang memetik hikmah dan ilmu dari perjalanan haji mereka. KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, Haji Zamzam dengan Persatuan Islam (PERSIS), dan Haji Samanhudi yang bersama HOS Tjokroaminoto mendirikan Syarikat Islam adalah sedikit dari banyak tokoh yang menjadikan haji sebagai titik balik perjuangan. Mereka tidak sekadar membawa pulang status "Haji", tetapi membawa pulang visi perubahan.

Bukan hanya pengalaman ruhani, ibadah haji telah mengubah orientasi banyak tokoh: dari kejumudan menuju kesadaran. Hal ini juga tergambar dalam salah satu karya sastra Indonesia yang monumental ; Hikayat Siti Mariah karya Pramoedya Ananta Toer. Di dalamnya, salah satu tokoh yang sebelumnya berhaluan abangan, sekembalinya dari Mekkah, berubah menjadi fundamentalis dan pemberontak. Sebuah transformasi sosial yang tidak asing bagi sejarah Indonesia, di mana banyak tokoh haji menjadi katalis perubahan sosial dan perlawanan terhadap kemungkaran sistemik.


Syaikh Ahmad Surkati


Ketokohan Surkati, Ikon Intelektual yang Membebaskan

Dari sekian banyak tokoh pasca haji yang menjadi penggerak kebangkitan umat, nama Syaikh Ahmad Surkati menempati posisi istimewa. Ulama kelahiran Sudan ini datang ke Indonesia dan langsung berhadapan dengan dualisme kelas sosial, bahkan di kalangan keturunan Arab sendiri. Ia menolak sistem kasta, menentang diskriminasi, dan menyerukan kesetaraan dalam Islam.

Melalui Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang didirikannya pada 6 September 1914, Surkati membongkar mitos kebangsawanan, menyerukan rasionalitas, dan membangun sistem pendidikan Islam yang modern, logis, dan terorganisir. Ia tidak hanya mengajarkan agama, tetapi membentuk cara berpikir umat: bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai oleh jiwa yang rendah dan terjajah.

Surkati membawa semangat pembebasan, mengajak umat Islam untuk berpikir mandiri, meninggalkan fanatisme buta, dan menolak pembodohan. Ia menjadi mufti di kalangan ulama modernis Indonesia, bahkan dijuluki syaikhul masyaikh, pemimpin para ulama.

Gerakan Surkati menginspirasi pembaharuan dalam syiar Islam di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan ibadah qurban yang kini dilakukan secara terstruktur dan profesional. Apa yang dulu ia rintis bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS), kini menjadi arus utama pelaksanaan syiar Islam Indonesia modern.

Trio Mujaddid dan Qurban yang Terorganisir

Surkati bersama KH Ahmad Dahlan dan A.Hassan (penerus Haji Zamzam) dikenal sebagai "trio mujadid" yang mendobrak status quo umat. Mereka bukan hanya pemikir, tetapi organisator yang mampu mengubah sistem: dari pola pikir, pendidikan, hingga manajemen ibadah. Pelaksanaan qurban yang dulu dilakukan secara individual, kini dilakukan secara kolektif, dengan panitia, laporan keuangan, dan distribusi yang teratur, buah dari semangat modernisme Islam yang mereka usung.

Gerakan ini sempat ditentang dan dicurigai di masa awal, namun hari ini, semua masjid besar hingga instansi pemerintah meniru sistem ini. Inilah bukti bagaimana ide besar bisa lahir dari semangat ibadah yang tampak sederhana, seperti qurban.

Dari Ibadah ke Kesadaran Kolektif

Iedul Adha bukan sekadar ritual tahunan, tapi peringatan akan sebuah perjalanan panjang: dari ujian spiritual Ibrahim, perjalanan transformatif para haji Indonesia, hingga revolusi pemikiran yang digerakkan oleh tokoh-tokoh seperti Surkati. Qurban hari ini bukan hanya penyembelihan hewan, melainkan penyembelihan egoisme dan ketakpedulian sosial.

Melalui figur Surkati, kita diingatkan bahwa Islam adalah agama yang membebaskan. Membebaskan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan kejumudan. Ibadah, dalam narasi ini, bukan hanya soal pahala individual, tetapi juga alat transformasi sosial dan perlawanan terhadap struktur yang menindas.

Surkati telah menunjukkan bahwa pelaksanaan qurban, pendidikan, dan pembaruan tidak bisa dipisahkan. Iedul Adha, pada akhirnya, adalah panggilan untuk menyembelih segala bentuk kemalasan berpikir dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang dinamis, progresif, dan membebaskan.

Bogor, 10 Dzulhijjah 1446 Hijriyah, 6 Juni 2025
Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "Warisan Iedul Adha, Haji, dan Ketokohan Surkati dalam Sejarah Islam Indonesia"