Menyambut Tahun Baru Hijriyah: Antara Tradisi, Syariat, dan Semangat Pemurnian Islam

 

Di sekolah-sekolah inilah, semangat kebebasan berpikir dan kesetaraan sosial ditanamkan sejak dini, sebuah bentuk penyantunan yang tidak hanya bersifat materi, tetapi juga spiritual dan intelektual.


Hari ini, kalender Hijriyah akan berganti dari tahun 1446 ke 1447. Seiring momen ini, umat Islam di berbagai penjuru Indonesia merayakannya dengan beragam cara, dari ritual keagamaan hingga tradisi budaya yang telah mengakar selama ratusan tahun. Peringatan malam satu Muharram, atau yang lebih populer dikenal sebagai malam satu Suro di Jawa, adalah contoh konkret dari bentuk akulturasi yang terjadi sejak masuknya Islam ke Nusantara.

Islam di Indonesia memang tidak hadir sebagai kekuatan yang memaksa. Ia datang dengan pendekatan damai dan bermartabat, bersanding dengan tradisi lokal tanpa harus merusaknya. Justru dari perjumpaan itu, lahirlah bentuk budaya baru yang khas: budaya Nusantara yang bercorak Islam. Nilai-nilai keislaman menyatu dalam seni, adat, dan laku hidup masyarakat, menciptakan wajah Islam yang ramah, membumi, dan inklusif.

Namun, tidak semua tradisi yang berkembang kemudian diterima begitu saja oleh seluruh kalangan umat Islam. Di tengah semangat pelestarian tradisi, ada pula suara-suara kritis dari kelompok pembaharu yang menilai perlunya kembali kepada ajaran Islam yang murni, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Tiga organisasi besar yang menjadi motor gerakan tajdid (pembaruan) di Indonesia—Muhammadiyah, Al-Irsyad Al-Islamiyyah, dan Persatuan Islam (Persis), menjadi penyuara utama pentingnya pemisahan antara ajaran Islam dengan praktik tradisional yang dinilai menyimpang.

Dalam pandangan mereka, tradisi bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah. Tradisi dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, ketika tradisi mulai dicampuradukkan dengan praktik agama secara tidak tepat, maka upaya pelurusan perlu dilakukan. Salah satu jargon yang dikenal dalam gerakan pembaruan ini adalah istilah T.B.C.: Takhayul, Bid’ah, dan Churafat, tiga bentuk praktik yang dianggap merusak kemurnian ajaran Islam.

Salah satu tradisi yang kerap dipersoalkan adalah perayaan "Lebaran Anak Yatim" setiap tanggal 10 Muharram (Hari Asyura). Di berbagai tempat, momen ini dijadikan ajang menyantuni anak yatim secara besar-besaran, disertai dengan kegiatan seremonial yang meriah. Sekilas, tradisi ini terlihat baik karena menunjukkan empati terhadap anak-anak yatim. Namun dari perspektif kalangan pembaharu, kegiatan seperti ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam praktik Rasulullah dan para sahabat. Bahkan, kegiatan menyantuni yang dilakukan dengan cara memamerkan atau mengeksploitasi status anak-anak tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur Islam.

Dalam praktik kekinian, eksploitasi simbolik terhadap anak yatim seringkali muncul dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan dan sosial. Salah satunya adalah khitanan massal anak yatim yang dilakukan di ruang publik, lengkap dengan label, dokumentasi media, hingga pelabelan status mereka sebagai "yang disantuni." Kegiatan seperti ini secara tidak sadar mengokohkan stigma sosial dan memperlebar jarak psikologis antara mereka yang memberi dan yang menerima. Label "anak yatim" dijadikan alat legitimasi untuk mengangkat citra kepedulian, padahal pada saat yang sama bisa menimbulkan luka dalam bentuk lain: rasa rendah diri, kehilangan martabat, dan penegasan status sosial yang tak setara.

Ilustrasi santunan pada anak yatim 

Bagi organisasi seperti Al-Irsyad Al-Islamiyyah, menyantuni anak yatim memang merupakan perintah agama, namun harus dilakukan dengan cara yang menjaga martabat dan kesetaraan mereka. Anak yatim bukan objek belas kasihan yang dipertontonkan di panggung amal, melainkan subjek yang harus dibesarkan dalam jiwa yang merdeka dan lingkungan yang setara. Inilah semangat al-musawah (kesetaraan) yang menjadi inti dari perjuangan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Ahmad Surkati. Dalam pandangannya, diskriminasi, baik atas dasar nasab maupun status sosial, adalah bentuk kezaliman yang harus dihapuskan dari tubuh umat Islam.

Karenanya, Al-Irsyad tidak mendirikan panti asuhan atau rumah yatim dalam pengertian konvensional. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena ada pendekatan lain yang lebih mendidik dan bermartabat: mendirikan lembaga pendidikan yang inklusif, di mana anak-anak yatim dapat belajar dan tumbuh tanpa perlu merasa berbeda atau dikasihani. Di sekolah-sekolah inilah, semangat kebebasan berpikir dan kesetaraan sosial ditanamkan sejak dini, sebuah bentuk penyantunan yang tidak hanya bersifat materi, tetapi juga spiritual dan intelektual.

Penting untuk dicatat bahwa penolakan terhadap tradisi yang dianggap tidak bersumber dari Islam tidak serta-merta menjadi bentuk anti budaya. Justru, di sinilah letak peran strategis gerakan pembaruan Islam: meluruskan makna tanpa memutus akar, membimbing umat agar tidak terjebak dalam formalitas ritual semata, tetapi memahami substansi ajaran agama secara lebih utuh dan bertanggung jawab.

Maka, menyambut tahun baru Hijriyah bukan hanya soal merayakan momen dengan pesta atau ritual. Ia adalah panggilan untuk membaca ulang sejarah, menyaring warisan, dan melanjutkan dakwah dengan akal dan adab. Tradisi boleh ada, selama ia tidak menabrak prinsip dasar Islam. Dan menyantuni anak yatim tetaplah mulia, selama dilakukan dengan cara yang tidak mencederai nilai kesetaraan dan kemuliaan insani yang diajarkan Islam.

Bogor, 1 Muharam 1447, bertepatan dengan tanggal 26 Juni 2025


Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Menyambut Tahun Baru Hijriyah: Antara Tradisi, Syariat, dan Semangat Pemurnian Islam"