Menempa Warisan Leluhur di "Paneupaan Kujang Pajajaran"

Di tengah derasnya suara aliran Bendungan Katulampa, Kota Bogor, terdengar sayup-sayup denting logam dari sebuah bengkel sederhana bertuliskan "Paneupaan Kujang Pajajaran". Tempat ini bukan sekadar bengkel biasa, di sinilah warisan budaya Sunda ditempa dan dilestarikan oleh tangan-tangan terampil, di bawah bimbingan seorang maestro kujang, Abah Wahyu Affandi Suradinata, satu-satunya Guru Teupa (pengrajin kujang pusaka) yang tersisa di Bogor.

Pada suatu siang yang mulai merunduk sore, rombongan peserta Jalan Pagi Sejarah (Japas) bersama Om Johnny Pinot, menyambangi bengkel legendaris tersebut. Meski hujan mengguyur tanpa kompromi, semangat peserta tidak surut. Mereka menyeberangi Pintu Air Kali Baru, bendung bersejarah yang telah berusia lebih dari seratus tahun, dengan semangat dan senyum lebar, tujuan mereka jelas, menyerap ilmu dan kisah dari sang pewaris budaya.

Di lantai atas bengkel yang bersahaja, beralas papan kayu namun sarat makna, Abah Wahyu menyambut dengan hangat. Mantan guru matematika di Sekolah Teknik Menengah (kini SMK) ini berkisah tentang perjalanannya yang panjang dan penuh makna. Semuanya bermula dari tahun 1993, ketika ia menemukan sebilah kujang tua di kawasan Sukawayana, Pelabuhan Ratu. Temuan itu menjadi awal dari perjalanan spiritual untuk menemukan jati diri, perjalanan yang mempertemukannya dengan Ki Anis Jatisunda, seorang budayawan dan guru spiritualnya.

Dalam perbincangan hangat bersama peserta Japas, Abah Wahyu mengisahkan pertemuannya dengan pantun-pantun Bogor yang sarat sejarah Sunda Pajajaran. Dari situlah ia mengenal enam jenis kujang pusaka dan berbagai makna filosofis yang melekat pada masing-masing bentuknya. Ketertarikannya pada seni dan budaya membawanya menelusuri berbagai museum dan literatur sejarah.

Tahun 1995 menjadi titik awal ia mulai menempa kujang secara otodidak. Awalnya hanya iseng, ia membuat kujang dan memberikannya secara cuma-cuma kepada setiap orang yang ia kehendaki. Namun, ia kemudian ditegur oleh Ki Anis, yang mengingatkannya bahwa kujang bukan benda biasa yang bisa diberikan sembarangan. Kujang adalah pusaka yang sarat makna, dan harus diperlakukan dengan penuh penghormatan.

Momen itu menjadi titik balik. Tahun 2005, Abah Wahyu memutuskan untuk menekuni dunia perkujangannya secara serius. Meski kujang adalah warisan zaman kerajaan, nyatanya tak semua masyarakat mengenal bahkan memahami fungsinya. Untuk menjangkau generasi muda, ia mulai membuat inovasi berupa pin, souvenir, dan gantungan kunci kujang yang lebih mudah diterima masyarakat luas.

Namun, dalam setiap karya yang ia hasilkan, Abah Wahyu tetap teguh memegang tatali paranti—adat tak tertulis yang diwariskan turun-temurun dalam budaya Sunda. Ia hanya menempa kujang pusaka pada hari Senin dan Kamis, seraya menjalani puasa sunah. "Saat berpuasa, tubuh dan hati kita dalam keadaan bersih. Ia mempercayai, hasil kerja pun akan lebih baik," tuturnya. Bahkan, pembeli kujang pusaka pun tak bisa sembarangan. Jenis kujang harus disesuaikan dengan profesi dan niat pemiliknya, sebab setiap bentuk menyimpan filosofi yang dalam.

Abah Wahyu juga menekankan pentingnya melihat kujang secara rasional. Ia ingin meluruskan pandangan bahwa kujang bukan benda mistis atau penuh mitos, melainkan simbol budaya dan identitas yang perlu dihargai secara intelektual dan historis. Baginya, kujang bukan hanya milik orang Sunda, tapi milik Indonesia, sebuah warisan yang harus dijaga, dikenalkan, dan dirawat lintas generasi. Ia berharap agar pusaka ini tetap menjadi simbol identitas yang hidup, bukan relik diam dalam ruang museum.

Di akhir kunjungan, Japas memberikan penghargaan kepada Abah Wahyu sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya melestarikan pusaka Sunda. Piagam diserahkan langsung oleh Om Johnny Pinot dalam suasana hangat. Sebagai kenang-kenangan, seluruh peserta mendapatkan gantungan kunci kujang Pajajaran yang cantik dan penuh makna, oleh-oleh kecil dari sebuah pengalaman besar.

Hujan pun reda, dan para peserta pulang membawa lebih dari sekadar souvenir. Mereka membawa pulang kisah, nilai, dan semangat dari seorang Guru Teupa—penempa warisan, penjaga budaya, dan pewaris sejati pusaka Pajajaran.

Bogor, 25 Juni 2025
Abdullah Abubakar Batarfie






Posting Komentar untuk "Menempa Warisan Leluhur di "Paneupaan Kujang Pajajaran""