JAPAS ; Rambah Kuliner Legend Kota Hujan

Om Johnny Pinot kembali menghadirkan kejutan yang menyegarkan lewat edisi terbaru Jalan Pagi Sejarah (Japas), kali ini bertajuk Rambah Kuliner Legend Kota Hujan, Rabu 11 Juni 2025. Dalam perjalanan ini, para peserta tak hanya diajak mencicipi ragam kuliner legendaris yang telah mengakar kuat di Kota Bogor, tetapi juga menelusuri jejak sejarah dan toleransi yang hidup dalam setiap sajian dan lokasi yang dikunjungi. Japas bersama Om Johnny Pinot bukan sekadar tentang menyantap makanan dan mendengarkan cerita masa lalu, tetapi juga menyuguhkan potret utuh Kota Bogor sebagai kota multikultural yang harmonis, tempat di mana komunitas Arab dan Tionghoa hidup berdampingan, saling memengaruhi, dan bersama-sama merawat warisan yang telah berlangsung lintas generasi.

Nasi Uduk Kaum 58

Perjalanan dimulai dari kawasan Kampung Arab Empang, sebuah kawasan yang menjadi rumah bagi komunitas Arab sejak ratusan tahun lalu. Di sini, tiga titik kuliner lawas menjadi awal eksplorasi. Nasi Uduk Kaum 58 menjadi sajian pembuka, yang telah berdiri sejak tahun 1890 dan tetap setia mempertahankan resep leluhur dengan cita rasa nasi uduknya yang menggoda. Sarapan pagi, sebelum japasian mengayunkan langkah kakinya ke lorong yang sempit di kampung Arab, menyantap pagi nasi uduk yang gurih dengan lauk khas zaman dulu ini membuat siapa pun merasa seperti kembali ke masa kecil.

Perhentian kedua adalah Kanung Bogor, pionir cemilan khas Timur Tengah yang telah mewarnai cita rasa lokal sejak 1974. Di tempat inilah para peserta disambut hangat dengan kudapan legendaris seperti roti konde dan sambosah. Rasa eksotisnya mengajak lidah berpetualang, menyusuri jejak warisan kuliner yang kaya dan otentik.

Roti konde, salah satu sajian ikonik Kanung, pertama kali dibuat oleh Ibu Nur Ahmad Sungkar dari sebaskom keramik tua di dapur rumahnya. Dari situ, ia berjuang menghidupi ketujuh anaknya yang kelak tumbuh menjadi para sarjana, dengan rasa dan cinta yang ditakar dari tangan. Hingga kini, kualitas dan keaslian resep warisan itu terus dijaga oleh para pewarisnya, menjadikan Kanung bukan sekadar usaha, tetapi juga warisan rasa dan nilai keluarga.

RunCoffe.id

Di sebrang kediaman Kanung yang penuh kenangan, berdiri pula Run Coffee, sebuah coffee shop yang lahir sebagai bentuk penghormatan kepada sang perintis, Ka Nung. Nama “Run” diambil dari pelafalan lokal “Nung”, sapaan akrab untuk Ibu Nur, dan secara unik jika dibalik, membentuk kembali nama "Nur". Sebuah permainan kata sederhana namun sarat makna. Setiap seduhan kopi di Run Coffee sajian kudapannya yang khas, membawa kita kembali pada sosok inspiratif yang menjadi cahaya awal dari perjalanan panjang ini.

Tak jauh dari sana, berjarak puluhan meter dari pohon karet kebo yang menjadi ikon alun-alun Empang, peserta disambut dengan aroma kopi dari sebuah kedai tua bernama Kopi Bah Sipit, yang tahun ini genap berusia satu abad. Ternyata, kedai ini adalah toko kopi tertua di Bogor, milik Yoe Hong Keng, seorang Tionghoa yang membuka usahanya di tengah Kampung Arab. Perpaduan ini bukan hanya unik, tapi mencerminkan bagaimana hubungan antarbudaya telah berlangsung erat dan saling mendukung sejak dulu. Bah Sipit, begitu beliau akrab disapa, menjadi simbol hidup bagaimana cita rasa dan persahabatan bisa tumbuh di atas perbedaan. 

Mbak Nancy, generasi ke 3 Bah Sipit

Dari kawasan Empang, para peserta melanjutkan perjalanan kaki menanjak menuju jantung Pecinan Bogor, melewati sederetan toko tua dan trotoar penuh sesak oleh lapak para pedagang kaki lima, namun sarat akan sejarah dan cerita.

Di tengah langkah yang mulai melambat karena lelah, semangat peserta kembali terangkat saat tiba di Resto Gaya Tunggal, sebuah rumah makan legendaris yang telah berdiri sejak era kolonial Belanda. Dulu, tempat ini dikenal dengan nama Wasington, dan kini tetap eksis sebagai salah satu ikon kuliner bakmi khas Tionghoa di Bogor.

Disambut hangat oleh Tante Tjitja, penerus generasi kedua yang kini hampir berusia 90 tahun namun tetap segar dan penuh semangat. Peserta diajak menelusuri transformasi resto dari masa penjajahan, melewati era kemerdekaan, hingga menjadi tempat makan yang tetap ramai pengunjung sampai hari ini.

Kini, seluruh sajian di Resto Gaya Tunggal telah bersertifikat halal 100%, menjadikan kuliner legendaris ini bisa dinikmati oleh semua kalangan, tanpa memandang latar belakang agama. Tak hanya menyajikan beragam varian bakmi sebagai menu andalan, resto ini juga menghadirkan berbagai pilihan masakan lainnya yang tak kalah lezat, semuanya terjaga kualitas dan kehalalannya.

Suasana semakin hangat ketika Tante Tjitja membagikan kue donat istimewa berbahan dasar buah labu serta pangsit renyah buatannya sendiri. Sentuhan personal dan penuh cinta ini membuat kunjungan terasa begitu spesial, seakan waktu melambat sejenak untuk memberi ruang bagi cerita, rasa, dan kenangan.

Tak jauh dari situ, ada Toko Kopi Agus di Jalan Pedati, produsen kopi legendaris Cap Teko. Sang pemilik menyambut peserta dengan kisah-kisah tentang bagaimana kopi diracik dan dipasarkan dari generasi ke generasi. Aroma kopi yang kuat dan cerita yang dalam seolah membawa peserta menyusuri lorong waktu.

Destinasi terakhir adalah Pabrik Mie Ci Mira yang telah berdiri sejak 1937, terletak di dekat Padepokan Cek Bacih di kawasan Gardu Tinggi. Di sinilah peserta menyaksikan secara langsung bagaimana mie dibuat dengan cara tradisional menggunakan alat genjot kayu tua. Ci Mirah, generasi penerus usaha ini, bercerita tentang suka duka mempertahankan usaha keluarga di tengah arus zaman yang terus berubah. Kisahnya mengalir penuh rasa, "ada tawa, ada haru", dan semuanya bermuara pada satu hal "ketekunan dan cinta pada tradisi". Dari sebongkah kayu dan seutas adonan mie, peserta memahami betapa makanan bisa menjadi warisan yang tak ternilai.

Cerita dari Ci Mira

Perjalanan kuliner dan sejarah ini ditutup di Gang Aut dengan sajian Soto Mie Pak Sugih, soto khas Sukabumi yang halal 100 persen, gurih, segar, dan penuh isian. Di tengah suasana santai, pengamen jalanan yang cerdas melantunkan lagu sambil menyelipkan lelucon-lelucon segar yang mengocok perut. Suasana menjadi cair dan hangat. 

Tak kalah menarik, beberapa peserta sempat membeli bir kocok saat berada di Pecinan minuman dingin khas Buitenzorg yang diracik dari jahe, gula aren, dan rempah-rempah. Meski namanya bir, minuman ini sama sekali tak mengandung alkohol, tapi memberikan sensasi unik yang menggabungkan rasa hangat dan segar sekaligus, seperti menyatukan dua dunia dalam satu tegukan.

Bir Kotjok

Rambah Kuliner bukan sekadar kegiatan wisata kuliner legendaris. Ini adalah cara menyentuh nadi sejarah melalui rasa, menyelami kebudayaan lewat cerita dari pemilik warung hingga pengusaha makanan yang bertahan puluhan bahkan ratusan tahun. Bersama Om Johnny Pinot, Japas menjadi lebih dari sekadar jalan pagi. Ia menjadi perjalanan untuk mengenali kembali Bogor sebagai kota yang hidup oleh toleransi, diperkaya oleh perjumpaan Arab dan Tionghoa, dan disatukan oleh rasa yang tak lekang oleh zaman. Di setiap langkahnya, peserta Japas menyadari bahwa kuliner adalah pintu masuk paling jujur untuk memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita hidup bersama.

Bogor, 13 Juni 2025

Abdullah Abubakar Batarfie




Posting Komentar untuk "JAPAS ; Rambah Kuliner Legend Kota Hujan"