Hikayat Ibu Esah, Part 1

Ibu Esah

Awal Kehidupan dan Kenangan Masa Kecil Ibu, di Kampung Rawa Belong

Dalam deburan ombak waktu, terurai sebuah hikayat yang menggetarkan, mirip dengan kisah Siti Nurbaya karya Sutan Marah Rusli. Kisah seorang putri yang terperangkap dalam belenggu perjodohan dan takdir, yang dipaksakan oleh kedua orang tuanya. Cerita ini melampaui batas zaman, merajut legenda di balik belenggu cinta dan kehormatan. Seiring masa dan bayang-bayang serupa, menyelinap di setiap langkah, merentangkan diri melalui zaman yang berganti, mengukir luka di hati para wanita yang dulu, kini, dan akan datang. Tidak terkecuali bagi nenek penulis, yang dalam panggilan hangat dipanggil oleh anak-anak dan cucunya dengan sebutan, "Ibu".

Di usia empat belas tahun, sebuah usia yang masih sangat belia, Ibu telah dijodohkan oleh orang tuanya, dipersatukan dengan seorang pemuda dewasa dari keturunan Arab bernama Ali, yang masih terikat oleh benang kekerabatan dari garis ibunya, seorang wanita dari Kampung Rawa Belong. 

Ali adalah anak dari pasangan Oemar Tharmoem dan Siti Na'iyeh, yang menetap di Kampung Janis Pekojan-Batavia, sebuah daerah pemukiman kaum Arab yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan sistem wijkenstelseel & passenstelseel. Sebuah aturan yang mengatur tempat tinggal penduduk dikelompokan berdasarkan etnis yang dihuninya dan dikepalai oleh seorang kepala koloni. Di Batavia kepala koloni ini dikepalai oleh seorang Hoofd der Arabieren berpangkat Kapten, kapitan atau Kapitein der Arabieren

Ibu lahir diperkirakan tahun 1915 dari pasangan Salim bin Kisar dan Siti Salamah. Ayahnya, Salim, meninggal dunia saat ia masih dalam kandungan. Cahaya senja menyambut kelahirannya dengan tradisi Betawi yang kental, sebuah kampung yang terpaut erat dengan sejarah keluarganya, Ibu dinamai Siti Mu'anah. 

Tidak diketahui dengan pasti, arti dan maksud kandungan makna Siti Mu'anah, bisa jadi nama itu diambil dari kata al-Muawanah yang di dalam al-Qur'an diartikan sebagai bentuk tolong menolong atau bantu membantu untuk meringankan beban serta kesukaran. (Wallahu'alam).

Meski tidak pernah menyaksikan kelahiran puterinya Siti Mu'anah, ayahnya Salim memiliki angan-angan besar untuk masa depan yang gemilang bagi anak-anaknya kelak, untuk mengikuti jejak leluhurnya yang agamis dan telah mengakar kuat dalam kisah perkampungan itu sejak zaman yang tak terhitung lamanya. 

Angan-angan itu melambangkan harapan dan warisan budaya yang akan terus hidup di dalamnya. Dari ikatan tradisi yang kental inilah, Siti Mu'anah pun tumbuh dikelilingi oleh suasana riuh kampung dengan diwarnai oleh cerita nenek moyangnya. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunitas Betawi yang kokoh, di tengah arus perjalanan sejarah yang tak kenal lelah. 

Ayahnya Salim, atau kelak oleh anak dan keturunannya disebut dengan Kong La'im, sejak masa mudanya menggeluti profesi sebagai pemilik dan penarik Dokar yang oleh penduduk pribumi di Batavia, dinamai dengan sebutan Sado. Rute yang ditempuhnya adalah dari kampungnya di Rawa Belong hingga ke bilangan Palmerah, tapi terkadang jarak rutenya jauh hingga ke pasar Tanah Abang. 

Ayahnya Salim, adalah anak pasangan Kisar bin Godog dan Siti Noer'aini, atau kelak disapa akrab oleh Ibu dengan panggilan Nyai Aini. Sedangkan ibunya, Siti Salamah yang disapa oleh cucu dan kerabatnya dengan panggilan Nyai Lameh, merupakan anak pasangan Taping bin Pi'ie dan Nyai Enong. Bisa jadi nama Pi'ie yang terlampau sederhana di ucapkan oleh lidah dan dialetika Betawi, nama sebenaranya adalah Sjafe'i. 

Nyai Lameh 
Jelang usianya ke 100 Tahun

Keturunan kedua orang tua Ibu telah mengakar di kampung itu sejak zaman dahulu kala, sejak permulaan kampung itu dihuni oleh manusia, ketika peradaban mulai tumbuh dan berkembang, sebelum nama Rawa Belong muncul. Kampung itu menjadi bagian esensial dari komunitas Betawi pribumi, suku asli yang nendiami kota Jakarta, yang pada era kolonialisme Belanda dikenal sebagai Batavia, kota yang megah, kota yang pernah di pimpin oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen, yang oleh warga pribumi Batavia menyebutnya Mur Jangkung. 

Kehidupan di Kampung Rawa Belong, dengan segala hiruk-pikuk dan tradisinya, telah membentuk Siti Mu'anah menjadi wanita yang tegar dan penuh semangat. Setiap sudut kampung menyimpan cerita, bahkan derap langkah kuda yang berpijak di atas tanah kampungnya pun mengandung makna. Di bawah rindangnya pohon yang berjejer di antara rumah beralaskan tanah merah, Siti Mu'anah mengenal kehidupan yang dilewatinya dengan segala keindahan dan kepahitannya.

Dalam setiap helaan nafasnya, mengalir kisah tentang perjuangan dan harapan, tentang cinta yang tersembunyi di balik adat dan tradisi. Seperti daun yang jatuh kembali ke tanah, begitulah kenangan masa kecil Siti Mu'anah yang tertanam di dalam hati, menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Sebuah hikayat yang mengajarkan bahwa dibalik setiap takdir, ada tangan-tangan yang tak terlihat, merajut benang kehidupan dengan segala warna dan coraknya.

Hikayat Ibu Esah, nama lain dari Siti Mu'anah, yang penuh dengan liku dan cerita, mengajarkan kepada generasi berikutnya, jika setiap langkah dalam kehidupan adalah sebuah kisah yang berharga. Bahwa di balik setiap senyuman dan air mata, ada kekuatan yang membentuk kita menjadi pribadi yang kokoh. Dan di tengah hiruk-pikuk zaman yang terus berputar, hikayat itu akan terus hidup, menjadi bagian dari perjalanan yang tak pernah usai. 

Selanjutnya penulis, cucu yang mencintainya sepanjang masa hingga yaumil kiyamah, menulis sapaan Ibu untuk menuliskan kisah di hikayat berikutnya. (Bersambung ke-Part.2)

Bogor, 2 Juni 2025

Ditulis oleh cucu tersayang, Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Hikayat Ibu Esah, Part 1"