Syarikat Dagang Islam, Pilar Kebangkitan Nasional

 

Tirto dan SDI
Seketsa koleksi seniman Bumi Pariwara Bogor

Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional, mengenang berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 sebagai tonggak awal kesadaran kolektif untuk bangkit dari penjajahan. Namun dalam narasi besar kebangkitan bangsa, terdapat pula gerakan lain yang lahir dari denyut nadi rakyat kecil, terutama kaum pedagang dan ulama, yakni Sjarekat Dagang Islamijjah, Syarikat Dagang Islam, dan kemudian Syarikat Islam.

Perlu dicatat, sejumlah sejarawan mengajukan keraguan terhadap Boedi Oetomo sebagai simbol utama kebangkitan nasional. Organisasi ini didirikan oleh para alumni STOVIA yang mayoritas berasal dari kalangan priyayi Jawa, anak-anak elite yang telah diasuh dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Keanggotaan Boedi Oetomo pun terbatas, tidak merangkul rakyat kebanyakan atau etnis non-Jawa, dan tidak secara tegas menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan. Oleh karena itu, sebagian pihak menilai kebangkitan nasional sejati justru ditandai oleh munculnya gerakan yang lebih inklusif dan radikal dalam memperjuangkan keadilan sosial, seperti Syarikat Islam.

Sebelum nama Haji Samanhudi dikenal luas sebagai pendiri Syarikat Dagang Islam di Solo pada 1911, Tirto Adhi Soerjo, pelopor pers nasional, telah merintis organisasi Sjarekat Dagang Islamijjah di Buitenzorg bersama sejumlah saudagar Arab. Organisasi ini lahir sebagai upaya melindungi kepentingan ekonomi umat Islam di tengah dominasi monopoli asing. Meskipun pernah dituduh sebagai “organisasi tandingan” buatan Belanda, tudingan itu tidak berdasar. Justru kolaborasi antara Tirto dan saudagar Arab memperlihatkan embrio awal kesadaran kolektif umat untuk bangkit secara ekonomi dan sosial.

Di Solo, SDI berkembang menjadi Syarikat Islam (SI) di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, yang menjadikan organisasi ini sebagai kekuatan politik Islam terbesar pada masanya. SI menjadi wadah perjuangan rakyat kecil dari berbagai lapisan, menyuarakan semangat anti-penjajahan, persaudaraan seagama, dan kemerdekaan nasional.

Namun pengaruh besar SI membuat pemerintah kolonial curiga. Tuduhan subversif kerap dialamatkan pada aktivis SI, termasuk dalam peristiwa Leles di Garut (1919) yang dianggap pemberontakan sosial. Dalam tekanan itulah, muncul solidaritas dari jaringan-jaringan Islam lain seperti Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati.

Peran strategis Syaikh Surkati dan Al-Irsyad semakin menonjol pasca peristiwa Leles. Dalam situasi politik yang penuh tekanan, ketika para aktivis Syarikat Islam di berbagai daerah diawasi, ditangkap, atau dibungkam oleh pemerintah kolonial, Al-Irsyad tampil sebagai pelindung intelektual dan spiritual. Di bawah arahan Surkati, sejumlah tokoh SI dari Jawa hingga Sumatera dilibatkan dan diberdayakan dalam jaringan sekolah-sekolah Al-Irsyad, baik sebagai guru maupun aktivis. Langkah ini bukan hanya upaya menyelamatkan para kader dari kekejaman politik, tetapi juga memperluas pengaruh pendidikan Islam modern yang berwatak merdeka dan rasional. Terutama di wilayah Sumatera keberadaan tokoh-tokoh eks-SI dalam lingkaran Al-Irsyad menjadi penting dalam menyebarkan paham tajdid serta membangun kesadaran kebangsaan melalui jalur pendidikan yang lebih aman dari intaian penguasa kolonial.

Syaikh Surkati, ulama modernis asal Sudan, membentuk Al-Irsyad sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam dan pendidikan umat. Namun dalam konteks pergerakan, Al-Irsyad juga menjadi tempat aman dan lahan perjuangan baru bagi aktivis SI yang dikejar-kejar Belanda. Melalui lembaga pendidikan dan kepanduan, Al-Irsyad meneruskan api perlawanan dengan pendekatan intelektual dan moral. 

Kini, saat kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, penting untuk merefleksikan bahwa kebangkitan bukan hanya milik segelintir elite, tetapi lahir dari semangat rakyat, pedagang, ulama, dan santri yang bersatu dalam cita-cita kemerdekaan. Peran Syarikat Dagang Islamijjah, Syarikat Islam, dan Al-Irsyad membuktikan bahwa akar kebangkitan itu tumbuh dari bawah, membumi, menyala, dan tetap relevan hingga hari ini.

Bogor, 20 Mei 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Syarikat Dagang Islam, Pilar Kebangkitan Nasional"