Pendidikan Islam Modern dan Warisan Surkati bagi Peradaban Bangsa


Setiap peradaban besar selalu ditopang oleh bangunan pendidikan yang kokoh. Dalam lintasan sejarah Islam modern, tiga nama besar berdiri tegak sebagai pembaharu dan pemikir besar: Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Rasyid Ridha, dan Syaikh Ahmad Surkati. Ketiganya bukan hanya ulama, tetapi arsitek gagasan yang menghubungkan iman dengan kemajuan, tauhid dengan ilmu, dan Islam dengan pencerahan zaman.

Muhammad Abduh dan Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan

Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905), mufassir dan reformis Mesir, menekankan pentingnya rasionalitas dan pendidikan dalam membangun umat. Ia mengkritik jumud dalam pemikiran Islam dan menyerukan agar umat Islam kembali pada sumber-sumber pokok ajaran—Al-Qur’an dan Sunnah—tanpa melupakan semangat ijtihad.

Abduh menyatakan, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membebaskan umat dari belenggu kebodohan dan penjajahan.” Baginya, pendidikan bukan hanya tentang menghafal teks, tetapi menumbuhkan daya kritis dan etika kemajuan. Ia mengadvokasi pembaruan kurikulum Al-Azhar, memasukkan ilmu modern seperti matematika dan filsafat, sebagai bentuk integrasi antara ilmu agama dan sains.

محمد رشيد بن علي رضا

Rasyid Ridha: Membangun Peradaban melalui Madrasah

Rasyid Ridha (1865–1935), murid sekaligus penerus pemikiran Abduh, mengembangkan gagasan gurunya melalui Majalah Al-Manar yang berpengaruh luas di dunia Islam, termasuk di Nusantara. Ridha menekankan pentingnya madrasah sebagai institusi yang mendidik umat menjadi insan beradab dan mandiri.

Dalam salah satu tulisannya, Ridha menulis, “Umat yang ingin bangkit harus memiliki sistem pendidikan yang menggabungkan ilmu dunia dan ilmu agama; dengan itulah mereka bisa menandingi bangsa lain dan mengukir kembali kejayaan.” Madrasah, menurutnya, harus menjadi laboratorium akhlak, akal sehat, dan semangat ijtihad.

Syaikh Ahmad Surkati 

Ahmad Surkati: Reformis dari Jantung Nusantara

Di antara para pembaharu itu, Syaikh Ahmad Surkati (1875–1943) menjadi figur penting dalam lanskap pendidikan Islam modern di Indonesia. Datang dari Sudan dan dibentuk oleh semangat Al-Azhar yang reformis, Surkati mendirikan Jam‘iyat al-Irsyad al-Islamiyyah di Batavia tahun 1914. Al-Irsyad menjadi pionir dalam menghadirkan sekolah Islam modern di tengah komunitas Arab-Indonesia dan bumiputera.

Surkati menyatukan semangat tajdid (pembaruan) dan takhlish (pemurnian) dalam dunia pendidikan. Ia menolak taqlid buta dan feodalisme keilmuan. Dalam salah satu catatannya, ia menyatakan:

“Ilmu yang tidak mendidik akal dan membebaskan jiwa adalah setengah ilmu, dan setengah ilmu lebih membahayakan daripada kebodohan.”

Madrasah-madrasah Al-Irsyad tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga ilmu eksakta dan sosial. Surkati menghapus sekat-sekat keturunan dalam akses pendidikan. Semangat egalitarian ini menjadi cermin Islam progresif yang berpihak pada keadilan dan kemajuan.

Surkati di Mata Para Tokoh Bangsa

Pandangan dan kontribusi Surkati tidak luput dari perhatian tokoh nasional. Mohammad Natsir, tokoh Masyumi dan Menteri Penerangan pertama RI, pernah menyebut Surkati sebagai "ulama besar yang menyinari bangsa dengan ilmu dan keteladanan.” Natsir mengagumi keberanian Surkati dalam memperjuangkan pemurnian ajaran Islam sekaligus membangun lembaga pendidikan yang terbuka dan rasional.

Ki Hajar Dewantara & Bung Karno

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, meskipun tidak secara langsung berinteraksi dengan Surkati, sejalan dalam semangat. Konsep "pendidikan sebagai pembebasan” yang diusung Taman Siswa bersinggungan dengan visi Surkati—bahwa pendidikan harus membentuk manusia merdeka, beriman, dan berakal.

Warisan untuk Hari Ini dan Esok

Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional, warisan pemikiran Abduh, Ridha, dan Surkati mengingatkan kita bahwa pendidikan Islam bukanlah benteng konservatisme, melainkan jendela pembebasan dan kemajuan. Pemurnian ajaran tidak bertentangan dengan modernitas, justru menjadi fondasi peradaban yang tahan uji.

S.Surkati di Al-Azhar Cairo

Bangsa yang besar membutuhkan ulama yang berani berpikir merdeka dan sistem pendidikan yang membentuk insan rabbani sekaligus rasional. Dari Kairo hingga Batavia, dari Al-Azhar hingga Al-Irsyad, mereka menanam benih yang kini menjadi pohon rindang dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.

Hari ini, saat dunia terus berubah, semangat mereka masih relevan: membangun sekolah, menanam akhlak, mengasah akal, dan memurnikan iman—demi umat yang tercerahkan dan bangsa yang berperadaban.

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Bogor, 2 Mei 2025
Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "Pendidikan Islam Modern dan Warisan Surkati bagi Peradaban Bangsa"