Menguak Jejak Margonda di Bogor


Pada 16 November 1945, seorang pejuang muda bernama Margonda gugur dalam sebuah pertempuran heroik melawan tentara Inggris di Kalibata, Pancoran Mas, Depok. Ia menghembuskan napas terakhirnya demi kemerdekaan, menjadikan namanya abadi dalam sejarah Republik. Untuk menghormati jasanya, pemerintah mengabadikan namanya pada sebuah ruas jalan sepanjang 6,5 kilometer yang kini menjadi salah satu jalan paling sibuk dan vital di Kota Depok. Dari jalan kecil yang dulu sepi, kini "Jalan Margonda Raya" berubah menjadi poros utama kehidupan urban, namun kisah di balik nama itu nyaris terlupakan oleh banyak warganya.

Margonda bukan sekadar nama jalan. Ia adalah sosok nyata yang pernah hidup, mencinta, dan berjuang. Ia bukan asli Depok, melainkan pejuang yang menghabiskan dan mengabdikan hidupnya di Bogor. Di kota hujan inilah benih-benih perjuangannya mulai tumbuh. Ia dikenal sebagai pemimpin Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) cabang Bogor, dan juga pendiri organisasi pergerakan bernama Jasana Obor Pasoendan (J.O.P), sebuah organisasi yang digagas kaum bumiputra Sunda untuk melawan penjajahan dan menanamkan semangat kebangsaan.

Tak hanya perjuangan, di Bogor pula Margonda menemukan cinta sejatinya Maemoenah, seorang aktivis perempuan yang setia dalam gerakan. Cinta mereka bersemi di tengah semangat perlawanan. Margonda menjabat sebagai Ketua J.O.P cabang Buitenzorg, sementara Maemoenah menjadi Sekretaris J.O.P Istri. Kedua sayap organisasi ini berkantor di tempat yang sarat makna: Margonda mengontrak kamar di Jalan Kepatihan No. 2, sedangkan Maemoenah tinggal bersama keluarganya di Jalan Slot No. 1.

Angka satu dan dua bukan sekadar urutan, tapi takdir. Rumah kos perjuangan di Jalan Kepatihan menjadi saksi awal cinta mereka yang kemudian menyatu dalam mahligai pernikahan. Margonda pindah ke Jalan Slot No. 1, memulai hidup baru bersama "mawar" yang dipetiknya dari ladang perjuangan. Kisah mereka adalah harmoni antara cinta dan pengorbanan, dua hati yang berpadu dalam cita-cita kemerdekaan.

Johnny Pinot

Kisah cinta dan perjuangan ini kemudian diangkat kembali oleh Johnny Pinot, pegiat sejarah dan konten kreator Bogor Tempo Doeloe, sekaligus pendiri kegiatan Jalan Pagi Sejarah (JAPAS). Ia mengajak para pecinta sejarah dari berbagai generasi menapaki jejak Margonda bertajuk “Menguak Jejak Margonda di Bogor.”

Untuk pertama kalinya, kisah Margonda ditelusuri secara langsung di kota Bogor, kota perjuangannya. Para peserta menyusuri jalan raya dan gang-gang sempit yang dipenuhi rumah-rumah warga, dimulai dari pagi yang mendung di Kota Hujan. Titik awal penelusuran adalah Museum Perdjoangan di Jalan Merdeka, Bogor, tempat satu-satunya foto Margonda tersimpan dalam almari kaca, benda berharga yang ironisnya tidak dimiliki oleh kota Depok.

Di museum yang redup dan bangunannya lapuk dimakan zaman itu, kenangan tentang Margonda hidup kembali. Di sana pula tersimpan foto makam massal tempat Margonda dan rekan-rekannya dimakamkan tanpa identitas di depan Stasiun Bogor. Tubuhnya yang hancur tak bisa dikenali, menjadikannya dijuluki “Pahlawan Tanpa Pusara”. Nama Margonda pun tertulis sebagai pemimpin AMRI Bogor, lengkap dengan koleksi surat kabar perjuangan yang mencatat jejaknya dalam sejarah.

Ibu Ratu Farah Diba

Pemandu utama tur ini, Ibu Ratu Farah Diba dari Depok Heritage Community, dengan piawai menjelaskan foto-foto dan dokumen sejarah Margonda, mulai dari masa kecilnya hingga akhir hayat.

Perjalanan berlanjut ke Gang Tirta, saksi bisu infrastruktur Buitenzorg masa kolonial. Di gang sempit ini masih bisa dijumpai jalan setapak dari dipadu balai batu kali peninggalan tahun 1920-an. Dulu, jalan ini terhubung ke kompleks pemakaman Belanda "Memento Mori" di Tjikeumeuh Weg, yang kini berubah menjadi Jalan Merdeka, jalan dimana tempat didirikannya monumen perjuangan Kapten Muslihat. 

Gang Kepatihan

Langkah kaki para peserta JAPAS kemudian diarahkan ke Jalan Kepatihan di kawasan Panaragan. Di sinilah  Margonda pernah indekos, di Jalan Kepatihan No. 2, yang juga menjadi sekretariat J.O.P dan kediaman aktivis lain seperti Tubagus A. Muzani.  Muzani adalah putera Tubagus Habib Atmakusuma, pemilik rumah kos, seorang Ambtenaar yang bertugas sebagai opzichter. 

Indekos adalah kata yang berasal dari bahasa Belanda “In De Kost”. Kini, rumah kos itu telah hilang ditelan zaman, tapi memorinya tetap hidup lewat foto dan cerita.

Nama Kepatihan sendiri berasal dari sejarah lorong itu yang dahulu menjadi tempat tinggal para petinggi (patih) di masa kerajaan. Demikian juga nama Panaragan, dari bahasa Sunda "panah raragragan", tempat berjatuhannya anak panah. Kedua nama itu menjadi penanda bahwa kawasan ini pernah menjadi medan pertempuran di masa lalu.

Dari Gang Kepatihan, peserta Jalan Pagi Sejarah (JAPAS) melanjutkan langkah ke Alun-Alun Kota Bogor, tempat yang diyakini menjadi lokasi jenazah Margonda dan para pejuang lainnya dipusarakan. Setelah gugur dalam pertempuran di Depok dan dimakamkan sementara di sana, jasad mereka dipindahkan ke Bogor. Petunjuk tentang keberadaan makam itu diperoleh dari foto dan lukisan yang disimpan di Museum Perdjoangan Bogor, serta dari kesaksian lisan sejumlah tokoh. Lokasinya disebut-sebut berada di dekat barisan dua dari tiga pohon besar yang berdiri tepat di depan Stasiun Bogor. 

Alun-alun itu dulunya merupakan pintu gerbang utama masuk ke Buitenzorg bagi mereka yang datang menggunakan kereta dari Batavia. Kawasan ini telah mengalami berbagai perubahan nama dan fungsi: dari Wihelmina Park, Station Park, Taman Kebon Kembang, Taman Topi, hingga kini tertata kembali sebagai Alun-Alun Kota Bogor. Namun di balik keindahan dan keramaiannya hari ini, tersimpan cerita pilu tentang pejuang yang gugur tanpa pusara, Margonda salah satunya.

Bersamaan dengan dibangun dan diresmikannya Taman Makam Pahlawan Dreded, sekaligus mengubah nama Jalan Bondongan menjadi Jalan Pahlawan, sskitar tahun 80-an, para pejuang asal kota Bogor yang makamnya tersebar di berbagai tempat, termasuk makam Margonda bersama makam-makam lainnya yang tanpa nama di depan stasiun Bogor, kemudian dengan upacara khusus dan prosesi secara syariat Islam, kerangka jenazah para pahlawan dikafani dengan kain kafan baru dan dishalatkan, kerangka jenazah para pejuang dengan upacara militer disatukan dalam Taman Makam Pahlawan Dereded, persis saat peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November.

Sebelum tiba di alun-alun, peserta JAPAS diajak berhenti sejenak oleh Johnny Pinot untuk melihat sebuah bel lonceng tua penanda kereta yang melaju di perlintasan. Lonceng yang dahulu diputar secara manual ini dulunya berdiri sejajar dengan alun-alun, menjadi suara harapan bagi Maemoenah, istri Margonda. Setiap dentingnya menghidupkan asa: mungkin suaminya akan turun dari kereta, kembali pulang. Hampir empat tahun lamanya, Maemoenah setia menunggu di stasiun bersama putrinya yang masih kecil, Jopiatini—bersepeda atau berlari kecil dari rumah mereka di Jalan Selot, berharap sosok yang mereka rindukan muncul dari balik pintu gerbong.

Jl.Selot No.1

Perjalanan pun sampai di titik akhir: kediaman Margonda dan Maemoenah di Jalan Selot No.1. Rumah itu kini dimiliki oleh Bapak Enday sejak 1966. Di rumah inilah cinta dan perjuangan berpadu erat. Rumah itu bukan sekadar hunian keluarga, tetapi juga menjadi sekretariat J.O.P bagian isteri dan saksi pengorbanan seorang ibu pejuang. Demi menghidupi keluarganya setelah Margonda gugur, Maemoenah membuka rumah jahit yang dinamainya Modeste Jopiatini, diambil dari nama anaknya dan organisasi yang pernah mereka perjuangkan bersama.

Yang membuat rumah ini semakin istimewa adalah kenyataan bahwa Ibu Hartini, istri Presiden Sukarno, menjadi pelanggan tetap di sana. Ia kerap datang untuk menjahit kebaya kepada tangan-tangan telaten Maemoenah. Rumah ini juga menjadi tempat tinggal salah satu tokoh besar Indonesia, Mohammad Sjafaat Mintaredja, adik Maemoenah dan ipar Margonda. Tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial dan Duta Besar Indonesia di Turki ini juga dikenal luas sebagai pemimpin Partai Persatuan Pembangunan dan aktivis HMI serta Muhammadiyah.

Bapak Enday, dengan kerendahan hati dan rasa cinta sejarah yang tulus, terus merawat rumah bersejarah itu. Lantai, pintu, jendela utama, bahkan mesin jahit peninggalan Maemoenah masih terjaga baik. Album-album foto tua koleksi keluarganya masih tersimpan rapi, membuka lembaran nostalgia kota yang dulu dikenal sebagai Buitenzorg. Para peserta JAPAS yang menyaksikan semua itu pun terharu dan larut dalam suasana masa silam yang terasa hidup kembali.

Sebagai penutup, untuk mengabadikan jejak sejarah dan menjaga ingatan kolektif warga Bogor, komunitas JAPAS secara simbolis menyerahkan plang nama untuk dipasang di gerbang masuk Jalan Selot. Sebuah upaya kecil, namun bermakna, agar jejak Margonda tak terhapus oleh waktu.

Margonda bukan sekadar nama jalan, ia adalah Pahlawan Bogor yang hidup dalam sejarah, cinta, dan pengorbanan.

Bogor, 24 Mei 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Menguak Jejak Margonda di Bogor"