Menyimak Bisikan Batu: Jejak Abadi Prabu Siliwangi di Prasasti Batutulis

“Sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk dilangkahkan kembali, seperti yang dilakukan ayunan langkah kaki peserta Jalan Pagi Sejarah (Japas)  di Batutulis.”

Abdullah Batarfie

Di bawah rimbun pepohonan dan suasana pagi yang lembut, sekumpulan orang berjalan menyusuri kawasan Batutulis, Bogor. Mereka bukan sekadar pelancong, melainkan para pencinta sejarah, budaya, dan cerita masa lalu. Pada 30 April 2025, kegiatan Jalan Pagi Sejarah (JAPAS) kembali digelar oleh kreator konten Bogor Tempo Dulu Johnny Pinot, membawa para peserta menapak jejak Prabu Siliwangi di jantung sejarah Sunda: Prasasti Batutulis.


Monumen batu ini bukan sekadar peninggalan kuno, melainkan sebuah sasakala, penanda waktu dan kehormatan. Didirikan pada tahun 1533 Masehi oleh Prabu Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, prasasti ini merupakan penghormatan atas wafatnya sang raja agung dua belas tahun sebelumnya. Tercantum dalam candrasangkala "Panca Pandawa Emban Bhumi", prasasti ini mengandung nilai spiritual, historis, sekaligus kebudayaan yang mendalam.

Prabu Surawisesa, yang dikenal dengan berbagai gelar seperti Ratu Sangiang, Ratu Samiam, hingga Mundinglaya Di Kusumah, tak hanya menuliskan penghormatan dalam batu. Ia juga mengadakan upacara Srada, ritual penyempurnaan sukma yang menunjukkan betapa dalamnya cinta rakyat Pajajaran terhadap pemimpinnya.

Dalam ukiran dan kisah yang menyertainya, terungkap pula keberhasilan Prabu Siliwangi membangun ibu kota Pakuan Pajajaran. Beliau mendirikan parit pertahanan, membangun jalan berbatu, menetapkan kawasan hutan larangan, mendirikan monumen gugunungan, dan membentuk telaga suci yang dinamai Telaga Warna Mahawijaya. Semua itu adalah bukti nyata kecerdasan tata kota dan visi keberlanjutan seorang raja di masa silam.

Prasasti ini sendiri baru ditemukan kembali oleh pasukan ekspedisi VOC di bawah pimpinan Kapten Adolf Winkler pada 25 Juni 1690. Saat itu, wilayah Batutulis masih merupakan pedalaman di selatan Batavia. Kini, prasasti tersebut berdiri sebagai warisan sejarah yang terus menginspirasi.

Dalam kegiatan JAPAS, narasi sejarah ini tak hanya diceritakan, tapi dirasakan, melalui langkah kaki, dialog, dan refleksi di hadapan batu tua yang diam namun menyimpan ribuan makna.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh Ibu Iceu Pujiati, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Bogor, bersama jajarannya. Kehadiran beliau menjadi penanda penting bahwa sejarah tidak boleh hanya tersimpan dalam naskah dan batu, melainkan juga hidup dalam kebijakan, pelestarian, dan promosi pariwisata yang berkelanjutan.

“Batutulis adalah pintu untuk memahami siapa kita. Jika dijaga dan dikelola dengan baik, situs ini bisa menjadi pusat wisata sejarah yang mendidik sekaligus membanggakan,” ujar Ibu Iceu dalam wawancara singkat di sela kegiatan.

Puisi-puisi Cianjuran karya Kalipah Apo dan R.E. Majid juga menggambarkan Prabu Siliwangi sebagai sosok abadi, "ngahiyang" dalam dekapan waktu, namun hidup dalam hati dan mitos rakyatnya. Maka tak heran jika Batutulis bukan sekadar situs, melainkan ruang spiritual dan identitas.

Kegiatan seperti JAPAS menjadi contoh bagaimana sejarah bisa dihidupkan kembali melalui gerak, interaksi, dan rasa. Sebab, sejarah yang baik bukan hanya yang dicatat, tetapi yang terus diperjalankan bersama.

Bogor, 30 April 2025, Abdullah Abubakar Batarfie









Posting Komentar untuk "Menyimak Bisikan Batu: Jejak Abadi Prabu Siliwangi di Prasasti Batutulis"