Luruh dalam Kabut Waktu
Angin pagi yang dingin menggoyangkan dedaunan di perbukitan Desa Girimukti, sebuah desa di tanah Sunda yang terpencil. Asap dari tungku-tungku rumah melayang tipis ke udara, membawa aroma kayu bakar dan sesaji. Desa ini dulunya dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi syariat Islam. Namun, kini, nilai-nilai itu seolah terkikis, berganti dengan ajaran leluhur yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari.
Di tengah hamparan sawah yang membentang, seorang lelaki bernama Raka berdiri termenung. Ia adalah seorang pemuda berusia 25 tahun, satu-satunya yang masih bertahan memegang prinsip Islam di tengah perubahan yang menyakitkan. Raka, dengan jenggot tipis dan sorban sederhana, adalah anak dari almarhum Kiai Muhsin, seorang ulama yang pernah dihormati di desa itu.
Namun, setelah Kiai Muhsin wafat, masyarakat berangsur-angsur meninggalkan pengajaran agama. Mereka kembali pada kepercayaan leluhur yang sarat dengan ritual mistis dan pemujaan. Bahkan, banyak yang fanatik buta hingga menganggap ajaran Islam sebagai penghalang keharmonisan mereka.
Raka memandang ke arah bukit tempat sebuah altar berdiri megah. Altar itu kini menjadi pusat dari ritual masyarakat. Di sana, mereka memberikan sesaji kepada leluhur, meminta berkah, atau kadang bahkan mengutuk orang yang dianggap "melanggar tradisi."
Pagi itu, Raka hendak menemui sahabatnya, Nisa. Nisa adalah satu-satunya orang yang masih bisa diajak berdialog tentang kegelisahannya. Namun, belakangan, Nisa mulai berubah. Ia tampak lebih sering terlibat dalam ritual-ritual desa, dan itu membuat hati Raka semakin resah.
---
“Nisa, apa kau benar-benar percaya dengan semua itu?” tanya Raka saat mereka duduk di bawah pohon cempaka.
Nisa menunduk, menghindari tatapan Raka. “Raka, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi lihatlah sekeliling. Kehidupan desa menjadi lebih damai sejak kita kembali pada tradisi. Tidak ada lagi perpecahan, tidak ada lagi orang yang memaksakan aturan.”
“Damai?” Raka menghela napas panjang. “Damai macam apa yang mengorbankan nilai-nilai kebenaran? Kau tahu apa yang diajarkan ayahku. Apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Bukankah itu lebih baik?”
Nisa terdiam. Ia tahu Raka benar, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ragu untuk melawan arus.
---
Hari itu adalah malam purnama, waktu yang dianggap sakral oleh masyarakat desa. Semua penduduk berkumpul di altar untuk melaksanakan ritual besar. Raka memutuskan untuk datang, bukan sebagai peserta, melainkan sebagai saksi. Ia ingin melihat sendiri bagaimana jauh masyarakat telah berubah.
Ketika ia tiba, suasana terasa mencekam. Api unggun menyala terang, menghalau gelap malam. Sesaji berupa buah-buahan, ayam, dan kain putih terhampar di altar. Seorang tetua desa, Ki Wirya, memimpin ritual dengan suara lantang, memanggil arwah leluhur agar turun dan memberikan berkah.
Namun, di tengah ritual, sesuatu terjadi. Seorang anak kecil tiba-tiba jatuh ke tanah, menggigil hebat. Para penduduk panik, sementara Ki Wirya menyalahkan Raka yang dianggap membawa “aura buruk.”
“Dia penyebabnya!” seru Ki Wirya sambil menunjuk Raka.
“Tidak! Ini adalah peringatan dari Allah,” balas Raka dengan suara yang tegas. “Apa yang kalian lakukan ini adalah kesyirikan. Allah melarang kita menyekutukan-Nya.”
Penduduk semakin gaduh. Beberapa orang berteriak agar Raka pergi, sementara yang lain tampak ragu. Nisa, yang berdiri di kerumunan, merasa hatinya terbelah.
---
Di hari-hari berikutnya, Raka diusir dari desa. Ia tinggal di sebuah gubuk tua di pinggir hutan, namun ia tetap bertahan dengan keyakinannya. Sementara itu, desa mulai dilanda kemalangan. Hujan tak kunjung turun, hasil panen gagal, dan penyakit menyebar.
Nisa akhirnya memberanikan diri menemui Raka. Ia menangis di hadapannya, memohon maaf atas segala yang telah terjadi.
“Raka, kau benar. Kita telah terlalu jauh tersesat. Tolong, bantu aku mengembalikan nilai-nilai yang telah hilang dari desa ini,” ucap Nisa.
Raka menatap Nisa dengan mata penuh harapan. “Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Tapi dengan doa dan usaha, Allah akan menolong kita. Mari kita mulai dengan mengajak mereka yang masih mau mendengar.”
---
Dengan perlahan, Nisa dan Raka mulai menghidupkan kembali pengajian kecil di gubuk Raka. Beberapa orang, terutama anak-anak muda, mulai bergabung. Mereka belajar kembali tentang Islam, tentang keadilan, dan tentang cinta kasih yang diajarkan dalam agama.
Desa itu tidak berubah seketika, tapi benih-benih harapan telah ditanam. Meski menghadapi tantangan besar, Raka dan Nisa percaya bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, meski tersembunyi dalam kabut waktu.
---
"Luruh dalam Syahdu Doa"
Dalam hening malam yang merindu,
Kutitipkan rindu pada Sang Penguasa waktu.
Di bawah langit yang membentang kelabu,
Kebenaran bersinar walau tersembunyi dalam debu.
Oh, tanah leluhur, pernahkah kau lupa?
Syariat-Nya adalah lentera,
Namun manusia terbuai fana dunia,
Menggenggam bayang, melupakan nyata.
Tapi harapan tak pernah pudar,
Di balik kabut, ada fajar.
Doa yang lirih, ikhlas tanpa suara,
Menghidupkan jiwa, menggenggam asa.
Posting Komentar untuk "Luruh dalam Kabut Waktu"
Posting Komentar