JAPAS KOPYOR 14-12-24: Menyusuri Jejak Sejarah Di Antara Dua Sungai Purba

 

By Linda Gumeulis

Sabtu pagi, 14 Desember 2024, gerimis membasahi Kota Bogor saat peserta Jalan Pagi Sejarah (JAPAS) berkumpul di Nasi Uduk Kaum 58, Empang. Meski udara dingin dan basah, semangat tetap membara. Dipandu Johnny Pinot, atau akrab disapa Om Pinot, perjalanan ini membawa kami menyusuri lorong waktu, menelusuri jejak sejarah Bogor yang dulu dikenal sebagai Buitenzorg, di antara aliran dua sungai purba: Cisadane dan Cipakancilan.

Perjalanan dimulai di Masjid Agung Empang, sebuah bangunan bersejarah yang berdiri sejak 1815. Dinding-dinding tuanya menyimpan cerita tentang masa kolonial, saat masjid ini menjadi pusat spiritual masyarakat Bogor. Meski rintik hujan menemani, keheningan dan keagungan masjid ini memberi suasana khidmat yang mengajak kami merenungi perjalanan waktu.

Langkah kami kemudian menuju Kompleks Pemakaman Dalem Sholawat, tempat peristirahatan para tokoh penting yang menjadi pilar sejarah Bogor. Kisah para leluhur seperti Raden Haji Muhammad Tohir dan Raden Adipati Aria Suriawinata membawa pelajaran tentang perjuangan mereka yang telah membentuk identitas Bogor hingga kini.

Dari pemakaman, kami bergerak ke Bendung Empang, yang oleh warga lokal disebut "Dam Pulo." Bendungan ini adalah bagian dari Westerselokan, sistem irigasi besar yang dibangun secara permanen pada 1872, memanfaatkan pertemuan aliran Cisadane dan Cipakancilan. Dua sungai ini, meski berbeda ukuran, memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Bogor. Cisadane yang besar dan deras mengalir dari Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak, sementara Cipakancilan yang lebih kecil menyimpan cerita purba dari masa lalu. Harmoni antara keduanya menjadi saksi bisu perkembangan kota ini.

By @abdha_kiiim

Di sepanjang Westerselokan, kami berhenti di beberapa titik penting. Sisa kejayaan Hotel Bellevue, yang dahulu menjadi tempat peristirahatan para pejabat Belanda, masih terasa meski kini hanya tinggal cerita. Tak jauh dari situ, rumah bekas kediaman Raden Saleh juga menjadi saksi bisu sejarah seni dan budaya di masa kolonial. Hingga akhirnya, kami tiba di Pintu Air Kebon Manggis, sebuah struktur penting yang dibangun pada tahun 1904 untuk mengatur debit air dan mencegah banjir.

Setelah menyusuri hulu aliran pertemuan dua sungai purba, dan Bendung kecil di Kebon Manggis, perjalanan membawa kami ke jalur menurun yang curam. Jalan ini terjal, sempit, dan licin akibat hujan pagi itu. Diapit oleh tebing di satu sisi dan aliran sungai cipakancilan di sisi lainnya, langkah kami harus ekstra hati-hati. Pegangan yang kuat pada tali atau dinding batu di sepanjang jalan menjadi keharusan, terutama bagi peserta yang tak terbiasa dengan medan seperti ini. Namun, setiap kesulitan justru menghadirkan keseruan tersendiri. Hingga akhirnya kami sampai di bendungan Tua Mantarena, dekat wisata air terbengkalai di bawah tebing curam Paledang dan wisata warung kerek yang belum lama viral. 

Di tengah perjalanan, kami melintasi Sungai Cidepit, sebuah jalur air kecil yang menjadi penghubung Cisadane dan Cipakancilan. Dari tepiannya, panorama Gunung Salak terlihat megah, melengkapi keindahan alami yang berpadu dengan sejarah panjang kota ini. Mitos dari masyarakat setempat, konon nama "Cidepit" berasal dari sebutan seorang mandor Belanda bernama David, yang kemudian diadaptasi menjadi bagian dari cerita rakyat.

Setelah menyusuri jalan terjal di sepanjang bantaran sungai Cipakancilan dan lorong sempit padat penduduk yang menurun di sisi kali cidepit, akhirnya membawa kami ke sebuah bantaran sungai di lembah Cisadane dan melihat sebuah dermaga kecil yang sederhana dengan rakit kayu yang disebut eretan. Mata kami pun langsung tertuju pada seorang lelaki tua yang tengah berada di tepi sungai. Dialah pemilik dan sekaligus penarik eretan ini, satu-satunya eretan yang ada di kota Bogor, mengabdikan dirinya untuk membantu orang-orang menyeberangi sungai itu sejak puluhan tahun silam.

Rakit kayu ini berukuran kecil, hanya cukup untuk empat orang dalam satu perjalanan. Tali panjang yang terikat di kedua ujung dermaga menjadi kendali utama rakit ini. Begitu tali ditarik perlahan, rakit mulai bergerak menyeberangi arus Cisadane yang besar dan terkadang deras.

Saat menyeberang, di tengah perjalanan, kami merasakan tiupan angin sungai yang dingin dan segar, sementara percikan air mengenai wajah kami. Rakit yang bergoyang lembut mengikuti arus menimbulkan sensasi menegangkan sekaligus menyenangkan. Dari atas eretan, kami bisa melihat aliran Cisadane yang luas, dikelilingi oleh tebing-tebing hijau yang menjulang dan padatnya pemukiman. Keindahan ini terasa begitu kontras dengan kesederhanaan rakit yang kami naiki, menghadirkan pengalaman yang begitu berkesan.

Perjalanan berlanjut ke Pabrik Tahu Cibalagung yang telah berdiri sejak 1972 dan disambut oleh aroma khas tahu yang sedang dimasak. Pabrik ini masih mempertahankan cara tradisionalnya. Menggunakan tungku kayu bakar yang mengepul, sementara para pekerja dengan cekatan mengolah kedelai menjadi tahu kuning yang kenyal dan gurih. Beberapa dari kami tak tahan untuk membeli "Tahu Cibalagung" sebagai oleh-oleh, membawa pulang rasa lezat, sekaligus kenangan manis dari kunjungan kami ke pabrik itu. 

Aroma khas tahu tradisional yang masih membekas dihidung, terbawa oleh peserta japas yang melanjutkan langkah mereka ke kebun kelapa kopyor. Di kebun ini, kami diajak memahami proses budidaya kelapa kopyor, mulai dari ruang grading hingga nursery, yang dijelaskan dengan antusias oleh Mas Fahmi, pemandu dari "Kopyor Bogor", perkebunan kelapa kopyor terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.


By Maya Venny

JAPAS Kopyor 2024 bukan sekadar perjalanan sejarah. Ini adalah momen penuh makna untuk menyelami harmoni antara alam, sejarah, dan kebersamaan. Hidangan makan siang di taman kebun kopyor dengan sajian khas dan segarnya es kelapa menjadi penutup yang sempurna. Setiap peserta membawa pulang kenangan dan cerita, termasuk kelapa kopyor utuh sebagai buah tangan. Perjalanan ini mengajarkan bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga kisah yang terus hidup, mengalir bersama arus sungai dan langkah kaki kami.

Bogor, 16 Desember 2024

Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "JAPAS KOPYOR 14-12-24: Menyusuri Jejak Sejarah Di Antara Dua Sungai Purba"