Thung Ho Boen dan Jejak Thung Family di Pecinan Bogor
Hari ini, Sabtu, 27 Juli 2024, menjadi hari yang sangat berharga bagi saya dan teman-teman dari komunitas sejarah. Kami bergabung dalam kegiatan Jalan Pagi Sejarah bersama Johnny Pinot, seorang pemandu sekaligus pendiri Jalan Pagi Sejarah (Japas), yang akrab disapa Om Pinot oleh para penggemarnya. Salah satu momen paling menarik dan berkesan adalah ketika kami mengunjungi rumah hijau nan klasik, sebuah titik kunjungan yang menjadi andalan kegiatan ini dengan tema "Hidden History of Thung Family."
Kami menyelami kisah keluarga besar Thung Ho Boen, sebuah keluarga yang memiliki warisan sejarah yang kaya dan penuh warna. Keluarga ini seringkali disebut-sebut oleh keturunan mereka, Bapak Ajie Bagus Kurnia, atau yang lebih akrab dipanggil Om Ajie, dengan julukan "Sang Kaisar" keluarga Thung. Julukan ini diberikan bukan tanpa alasan; Thung Ho Boen adalah sosok yang luar biasa dan berpengaruh dalam perkembangan keluarga mereka.
Thung Ho Boen lahir di Ciampea pada 23 Januari 1837, dan sepanjang hidupnya, ia dikenal sebagai tokoh terkemuka di Bogor. Dengan kerja keras dan visi yang tajam, ia berhasil membangun kerajaan bisnis di bidang perkebunan yang hampir menguasai seperempat wilayah perkebunan di Jawa Barat. Keberhasilannya dalam dunia bisnis tidak hanya membawa kekayaan materi, tetapi juga memperkuat nama dan pengaruh keluarga Thung di masyarakat.
Namun, pencapaian terbesar Thung Ho Boen mungkin bukan hanya dalam bidang ekonomi. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menginspirasi dan menjadi pilar utama dalam keluarga. Ketika ia wafat pada 15 April 1896, semangat dan dedikasinya tidak ikut terkubur. Sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta yang mendalam, sembilan orang dari ketiga belas anaknya pada tahun 1900 telah bersepakat untuk membangun sebuah rumah yang monumental. Rumah ini selesai dibangun pada tahun 1904, dan menjadi simbol dedikasi mereka kepada sang ayah yang mereka hormati dan kagumi.
Sembilan orang yang bersepakat itu, awalnya adalah untuk membuat rumah Abu dengan nama Kioe Seng Tong yang bermakna Kioe adalah sembilan, Seng itu saudara dan Tong berarti ruang sembahyang atau aula pemujaan leluhur. Pada tahun 2002, ketiga photo saudari perempuan mereka dimasukan kedalam ruangan spiritual tersebut. Jauh sebelum perkumpulan itu didirikan, anak ke empat Thung Ho Boen yaitu Thung Tjoen Siang sudah terlebih dahulu meninggal dunia pada tahun 1894 dalam usia 29 tahun, sebelum perkumpulan Kioe Seng Tong terbentuk.
Rumah bersejarah ini tidak hanya berdiri sebagai bangunan fisik, tetapi juga sebagai pengikat silaturahmi di antara keturunan Thung Ho Boen. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Keluarga Serumpun Tirta yang menjadi bukti nyata komitmen mereka untuk tetap bersatu dan menjaga warisan serta nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh Thung Ho Boen.
Melalui perkumpulan ini, keturunan Thung Ho Boen berkomitmen untuk terus melestarikan dan merawat warisan sejarah serta budaya keluarga mereka. Rumah bersejarah itu menjadi tempat berkumpul, tempat berbagi cerita, dan tempat memperkuat ikatan kekeluargaan. Seiring berjalannya waktu, kisah keluarga Thung Ho Boen terus hidup dan berkembang, menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya.
Demikianlah, melalui dedikasi dan komitmen yang kuat, keluarga besar Thung Ho Boen mampu menjaga dan melestarikan warisan yang telah dibangun oleh nenek moyang mereka. Kisah ini bukan hanya tentang kekayaan materi, tetapi juga tentang kekayaan hati, semangat kebersamaan, dan nilai-nilai keluarga yang abadi.
Ketiga belas anak-anak Thung Ho Boen dilahirkan dari satu rahim yang sama, seorang ibu yang menjadi sumber inspirasi kehidupan dalam keluarga mereka, yaitu Tan Tjoen Nio. Tan Tjoen Nio adalah wanita yang berasal dari keluarga Tionghoa berpengaruh di Ciampea, anak dari pasangan Tan Goan Tjeng dan Phoa Ka Nio. Pernikahan antara Thung Ho Boen dan Tan Tjoen Nio menyatukan dua keluarga besar yang memiliki warisan budaya dan sejarah yang kaya.
Tan Tjoen Nio tidak hanya dikenal sebagai istri dari seorang pengusaha sukses, tetapi juga sebagai ibu yang penuh kasih dan dedikasi. Ia membesarkan ketiga belas anaknya dengan nilai-nilai kekeluargaan yang kuat dan semangat kebersamaan yang kokoh. Anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, di mana mereka diajarkan untuk saling menghormati, bekerja keras, dan menjaga nama baik keluarga.
Ketiga belas anak itu adalah Thung Bouw Lim, Thung Taij Tjoan, Thung Bouw Kiat, Thung Tjoen Siang, Thung Tjoen Yoe, Thung Tjoen Ho yang dikenal sebagai "Luitenant der Chinezen" dari tahun 1895 hingga 1911, Thung Tjoen Goan, Thung Kip Nio yang mendapat julukan "Ratu Oewit," Thung Tjoen Pok, Thung Tjoen Pauw, Thung Tjoen Hoeij, Thung Djie Nio, dan Thung Sha Nio. Masing-masing dari mereka memiliki karakter dan perjalanan hidup yang berbeda, namun semuanya membawa warisan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua mereka.
Kisah hidup ketiga belas anak Thung Ho Boen dan Tan Tjoen Nio adalah cerminan dari kekuatan dan ketahanan sebuah keluarga yang terikat oleh cinta, penghormatan, dan komitmen yang mendalam. Melalui berbagai tantangan dan pencapaian, mereka tetap bersatu dan menjaga warisan yang telah dibangun oleh orang tua mereka, memastikan bahwa nilai-nilai keluarga yang mereka pegang teguh akan terus hidup dan menginspirasi generasi-generasi mendatang.
Thung Ho Boen ayah ketiga belas anak-anaknya, menurut dari salah satu sumber, beliau memiliki nama Tubagus Muhammad Hidayat, menunjukan asal usulnya dalam kekerabatan keluarga bangsawan Banten. Dedikasinya untuk kemaslahatan masyarakat tanpa melihat latar belakang agama dan etnis, diakui oleh banyak kalangan. Monumen penting dari jejaknya itu antaranya adalah klenteng tua Hok Tek Bio di Ciampea, Bogor, yang didirikan oleh leluhur keluarga mereka di wilayah itu.
Thung Ho Boen dan Tan Tjoen Nio telah melahirkan banyak orang sukses. Selain Thung Tjoen Ho yang menjadi Chinese Lieutenant penting di Bogor, ada juga Thung Tjoen Pok, yang namanya melegenda hingga kini dan diabadikan sebagai nama pasar Cumpok atau Cunpok, berdiri di atas lahan yang dia hibahkan.
Thung Tjoen Pok dikenal memiliki kepribadian yang tenang dan karismatik. Bagi para pekerjanya, ia adalah sosok yang penyabar, seseorang yang jarang sekali menunjukkan kemarahan, bahkan ketika ada kesalahan yang dilakukan oleh para pekerjanya. Sifat sabarnya ini membuatnya sangat dihormati dan dicintai oleh semua orang di sekitarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Thung Tjoen Pok adalah contoh dari disiplin dan keteraturan. Setiap aspek dari hidupnya dijalani dengan penuh ketelitian. Kebiasaannya dalam hal makan sangat sederhana namun terstruktur dengan baik. Dalam keseharian Ia hanya makan sayur atau Ciacay. Kebiasaan ini mencerminkan kedisiplinan dan kesederhanaan yang menjadi ciri khasnya. Meskipun ia mampu menikmati makanan yang lebih mewah, Thung Tjoen Pok memilih pola makan yang sederhana dan sehat, menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya.
Yang menarik dari kebiasaan makannya adalah bahwa ia hanya mengonsumsi daging sekali dalam sebulan, tepatnya setiap tanggal 1 Januari. Kebiasaan ini bukan sekadar rutinitas, tetapi merupakan bagian dari disiplin diri dan komitmen terhadap gaya hidup sehat yang ia jalani. Dengan memilih satu hari dalam setahun untuk menikmati daging, Thung Tjoen Pok mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan keseimbangan dalam hidup.
Kehidupan Thung Tjoen Pok adalah bukti nyata bahwa disiplin, kesederhanaan, dan ketenangan dapat membawa kedamaian dan rasa hormat dari orang-orang di sekitar kita. Dalam setiap tindakannya, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik tidak selalu datang dari ketegasan atau kekuasaan, tetapi dari kebijaksanaan dan kasih sayang. Melalui ketenangan dan sikap sabarnya, Thung Tjoen Pok mampu membangun hubungan yang harmonis dan penuh rasa hormat dengan para pekerjanya.
Semasa hidupnya, ia tidak hanya meninggalkan jejak sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, tetapi juga sebagai teladan hidup yang sederhana dan disiplin. Warisan yang ditinggalkannya bukanlah kekayaan materi semata, tetapi nilai-nilai kehidupan yang menginspirasi banyak orang. Thung Tjoen Pok menunjukkan bahwa dengan ketenangan, kesabaran, dan disiplin, kita dapat menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis, serta menjalani kehidupan yang bermakna dan penuh kebijaksanaan.
Perhatian Thung Tjoen Pok pada perekonomian masyarakat sebagai urat nadi kehidupan rakyat, dan gagasannya untuk menghibahkan lahannya bagi kepentingan masyarakat, menunjukkan dedikasi dan cita-cita mulianya. Selain pasar Cumpok atau Cunpok, jejaknya juga terlihat dalam sejumlah lembaga pendidikan yang ia dirikan, termasuk Lembaga Pendidikan Kesatuan.
Mengutip tulisan Ari Wibowo dan sketsa dalam narasi sejarah yang tersimpan di Galeri Bumi Parawira, dedikasi Thung Tjoen Pok dalam kemajuan anak bangsa diberi judul "Thung Tjoen Pok dan Pendidikan Lintas Zaman."
Pendidikan merupakan barang mewah sebelum dan sesudah kemerdekaan, khususnya bagi masyarakat Tionghoa di Kota Bogor pada masa itu. Melihat kegelisahan ini, Thung Tjoen Pok mendirikan sekolah gratis di sekitar Jalan Surya Kencana pada tahun 1920-an. Sekolah yang kemudian dikenal dengan nama De Hollandsch Chineesche Vereeniging School atau Perkumpulan Sekolah Belanda Tionghoa ini, sebagian besar muridnya adalah putra-putri masyarakat Tionghoa.
Saat Jepang menduduki Indonesia, sekolah ini terpaksa ditutup hingga kondisi di Indonesia stabil kembali. Setelah agresi militer Belanda berakhir pada tahun 1949, banyak anak yang kembali merasakan sulitnya mendapatkan pendidikan yang layak. Berlandaskan kondisi ini, anak dan keponakan Thung Tjoen Pok, Ir. Thung Tjeng Louw dan Prof. DR. Ir. Thung Tjeng Hiang, membuka kembali sekolah yang pernah ditutup ini dan membukanya untuk semua kalangan masyarakat. Sekolah ini masih berdiri hingga hari ini dengan semangat yang sama, dikenal sebagai Sekolah Kesatuan Kota Bogor.
Abdullah Abubakar Batarfie
2 komentar untuk "Thung Ho Boen dan Jejak Thung Family di Pecinan Bogor"