Menguak Jejak Sejarah di Kampung Empang: Menyusuri Little Arab di Bogor Bersama JAPAS
Pagi itu, Sabtu, 13 Juli 2024, ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, sebanyak 26 pegiat sejarah dari berbagai usia dan komunitas berkumpul dengan semangat membara di Masjid Agung Empang. Mereka siap untuk mengikuti JAPAS (Jalan Pagi Sejarah) bersama Om Pinot, sebuah petualangan yang akan membawa mereka menelusuri 14 lokasi bersejarah di Kampung Empang, yang dikenal sebagai Little Arab di Bogor.
Ayunan langkah pertama dimulai setelah sarapan Nasi Uduk Kaum 58 yang legendaris, dan petualangan mereka dimulai tepat pukul 7.30 pagi. Masjid Agung Empang Ath-Thohiriyah menjadi titik awal, sebuah bangunan megah yang telah berdiri sejak 1815, saksi bisu dari perjalanan panjang sejarah kota ini. Para peserta disuguhi pemandangan arsitektur kuno dan nuansa spiritual yang masih kental terasa. Masjid Agung Empang Ath-Thohiriyah masih memancarkan pesona kemegahannya di tengah hiruk pikuknya Empang yang kini semakin ramai.
Destinasi kedua membawa mereka ke komplek pemakaman Dalem Sholawat, tempat bersemayamnya para bupati dan bangsawan Sunda. Di sana, mereka merenungi jejak-jejak masa lalu yang terpatri di batu nisan kuno, seakan mendengar bisikan cerita dari zaman yang telah lama berlalu.
Petualangan berlanjut ke lokasi ketiga, griya antik milik Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened, seorang saudagar Arab dan kepala Kampung Arab pertama di Bogor. Rumah ini, dengan arsitektur khasnya, seakan membawa peserta kembali ke masa kejayaan perdagangan Arab di Nusantara. Tidak hanya itu, di sini, cerita-cerita tentang kejayaan masa lalu dan kehidupan sehari-hari para tokoh ternama Arabieren begitu hidup.
Peserta JAPAS disambut hangat dan ramah oleh Bapak Hisyam Bajened dan Ibunya dan menjadikannya kesan indah sebagai sebuah rajutan tali silaturahim penuh keberkahan yang ditampilkan oleh warga peranakan Arab oleh Keluarga Bajened di Empang.
Dipandu oleh Kang Dolah Batarfie, Lokasi berikutnya adalah rumah panggung berdinding bilik milik keluarga al-Hirid yang telah berusia lebih dari 100 tahun, sebuah peninggalan yang menakjubkan dari masa lampau. Di sana, mereka merasakan suasana rumah panggung yang sarat dengan sejarah dan budaya.
Qubah Al-Attas
Di destinasi kelima, mereka berziarah ke makam yang dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas, seorang tokoh yang dihormati dan wafat pada 26 April 1933. Satu tahun sesudahnya, didirikan Qubah untuk menutupi makamnya, sejak itulah kemudian dikenal orang dengan sebutan Qubah Al-Attas dan ramai diziarahi umat Islam, sepanjang waktu tiada henti. Para peserta juga diajak untuk mengagumi kemegahan Masjid An-Noer, yang telah berdiri sejak 1897. Keindahan arsitektur khas Hadramaut ini memukau para peserta, menambah kekaguman mereka akan kekayaan warisan budaya di kota Bogor. Kaca-kaca kristal bernuasa merah dan biru pada daun pintu kristal masjid itu, seolah kilauannya menembus cahaya yang terpancar bagaikan manikam lapis lazuli dan batu permata ruby.
Perjalanan semakin menarik saat mereka memasuki lorong sempit Kampung Tibong atau Bong di Lolongok Empang, destinasi keenam. Lorong-lorong ini menyimpan bekas area pemakaman warga Tionghoa yang sudah ada sejak 1800-an. Di sini, mereka menyelami cerita-cerita tersembunyi di balik setiap jejak kaki dan nisan yang hilang.
Anak tangga curam membawa mereka ke lokasi ketujuh, makam Raden Saleh, perintis seni rupa Indonesia berdarah Arab yang dimakamkan di Buitenzorg bersama istrinya pada tahun 1880. Kisah tentang pemugaran makam oleh Bung Karno pada tahun 1953 menambah kesan mendalam tentang pentingnya menghargai sebuah sejarah dan menghormati para pahlawan kusuma bangsa yang bertabur bintang dan jasa.
Tidak jauh dari situ, di lokasi kedelapan, peserta mengunjungi situs batu dakon, peninggalan prasejarah masa megalitikum yang telah berusia lebih dari 5000 tahun. Setiap goresan di batu ini seolah menceritakan kisah dari zaman yang sangat lampau, menghubungkan peserta dengan nenek moyang mereka dan juga merasakan keajaiban dan misteri dari masa lampau yang begitu jauh.
Lokasi kesembilan adalah makam warga peranakan Arab Los di Lolongok, yang sudah ada sejak 1898. Dalam pemakaman ini, tersimpan jasad tokoh dan ulama terkemuka, termasuk seniman ternama dan pejuang kemerdekaan dari kalangan keturunan Arab di Bogor. Senandung syair dari satu bait lagu Bunga Nirwana yang diciptakan oleh musisi legendaris Munif Bahasuan, yang jasadnya pun tertanam di pemakaman wakaf Syaikh Abdurrahman Bajened ini, para peserta tergugah untuk merenungi jasa-jasa para pendahulu yang telah memberikan kontribusi besar bagi kota ini.
Setelah menyeberangi jembatan penyeberangan sungai Cisadane, yang mempertemukan dua aliran sungai, Cisadane dan Cipinang Gading, para peserta yang tetap bersemangat tiba di lokasi berikutnya kampung Muara. Di sini, tersimpan jasad pelukis besar Ernest Dezentje dan istrinya Nyai Siti Rasmani. Karya-karya Ernest hingga kini menghiasi Istana Kepresidenan di berbagai kota, menjadi warisan seni yang tak ternilai. Dokumentasi penting dari tumpukan foto-foto tua sang pelukis yang dibawa oleh kerabat dekatnya, Bapak Jhoni dan istrinya, menjadi penutup yang manis untuk destinasi kesepuluh.
Selanjutnya, para peserta menapaki jembatan ledeng peninggalan kolonial Belanda buatan tahun 1922 sebagai tujuan kesebelas. Jembatan ini membentang di atas sungai Cisadane, tepat di atas Leuwi. Dalam tradisi lisan masyarakat Sunda, kata Leuwi juga dipakai sebagai peribahasa untuk menggambarkan sikap dalam filosofi kehidupan sehari-hari seperti ungkapan "Ka Cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak" yang berarti dalam hidup kita harus selalu bersama-sama, karena manusia tidak dapat hidup sendirian. Di sepanjang sungai Cisadane yang melintasi kawasan Empang, terdapat dua Leuwi yang populer dengan sebutan Leuwi Ceuli dan Leuwi Kuda. Leuwi dalam bahasa Melayu dikenal dengan istilah Lubuk.
Setelah menempuh lorong sempit dari makam Ernest, para peserta tiba di tujuan kedua belas, Gang Banjar di Jalan Sedane. Gang Banjar adalah saksi bisu dari jejak perjuangan di Kalimantan dalam perang Banjar yang berlangsung hampir setengah abad. Di sini, para peserta menikmati kuliner khas Banjarmasin, kue puti balenggang sambil mengenang perjuangan keluarga Gusti Muhammad Arsyad dan Ratu Zaleha.
Galeri foto tentang sejarah Gang Banjar
di plaza SLB Al-Irsyad
Gusti Muhammad Arsyad dan istrinya Ratu Zaleha, sebagai sosok yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai penerus para pejuang dalam perang Banjar, diasingkan ke Empang pada 1904 dan 1906. Gang ini menyimpan sejarah panjang "Urang Banjar" lewat sederetan foto tua yang terpampang sambil mendengarkan presentasi tentang Sekolah Luar Biasa (SLB) Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bogor.
Lokasi ketiga belas adalah gedung megah Sekolah Dasar Al-Irsyad Al-Islamiyyah hasil rancangan arsitek ternama Indonesia F. Silaban yang keberadaan sekolahnya di kota Bogor sudah ada sejak tahun 1928, sebagai cabang kedelapan dari induk semangnya, Jumiyyah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang didirikan oleh Tokoh Pembaharu Islam Indonesia, Syaikh Ahmad Surkati di Jakarta pada 6 September 1914.
Sebagai penutup perjalanan, peserta sampai di destinasi keempat belas, rumah produksi Ka Nung Bogor, dan menikmati santapan lezat Nasi Kebuli serta kopi jahe dan aneka kudapan khas Timur Tengah lainnya yang di produksi oleh Ka Nung Bogor, pionir olahan Midle East dalam bentuk frozen yang sudah berdiri sejak 1974, memberikan pengalaman kuliner yang mengesankan.
Dengan antusiasme tinggi, para peserta berhasil menyelesaikan perjalanan penuh sejarah ini, menambah wawasan dan memperkaya perbendaharaan mereka tentang kekayaan sejarah dan budaya kota Bogor. JAPAS bersama Om Pinot hari ini berhasil membawa mereka menapak jejak sejarah yang tak ternilai harganya.
Selama hampir 10.000 langkah, para peserta JAPAS tidak hanya menapaki jalan-jalan sempit dan berliku di Empang, tetapi juga menyusuri lorong-lorong waktu yang penuh dengan cerita dan kenangan. Setiap destinasi yang dikunjungi menyimpan sejuta kisah yang memperkaya perbendaharaan sejarah kota Bogor, sebuah kota pusaka yang multikultural dan kaya akan pesonanya yang memikat hati.
Bogor, 13 Juli 2024
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Menguak Jejak Sejarah di Kampung Empang: Menyusuri Little Arab di Bogor Bersama JAPAS"
Posting Komentar