"Tuan Mukhtar Bogor: Warisan Ilmu di Gudang Penerbitan Kuno Cairo, Jejaknya dari Bogor hingga Mekkah"

 
Tuan Mukhtar Bogor

Raden Natanagara adalah sebuah cerminan hidup dari sosok yang luar biasa dalam kalangan bangsawan Sunda, dengan karakteristik yang begitu unik dan memikat. Dia tak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin feodal yang bijaksana, tetapi juga memiliki pesona yang mengagumkan: ramah, humoris, dan suka bergurau. Sifat-sifat ini membuatnya dengan mudah diterima oleh masyarakat dan disayangi oleh rakyatnya. Namun, terkadang sikapnya yang santai dan gemar bercanda itu menimbulkan keraguan dari para pemimpin adat dan pejabat Belanda. Mereka merasa ragu akan kemampuannya sebagai penerus dinasti bangsawan Sunda yang teguh dan serius.

Raden Natanagara akhirnya berhasil menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya di hadapan para elit politik, baik di dalam keluarganya maupun di mata Belanda, sehingga tidak ada lagi keraguan pada dirinya untuk diberi gelar Demang. Menurut catatan dari Endang Suhendar alias Idang, momen penting ini terjadi ketika kakaknya, Raden Ariawiranaga, memutuskan untuk mundur dari jabatannya. Setelah melalui serangkaian evaluasi dan pertimbangan yang matang, pada tanggal 20 Januari 1807, Raden Natanagara akhirnya resmi dilantik menjadi seorang Demang dengan jabatan sebagai Cutak Jampang.

Dengan tekad yang bulat dan semangat yang menyala-nyala, Raden Natanagara terus berupaya membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Dia mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki citranya di mata publik, menunjukkan kecerdasannya dalam menangani berbagai tantangan pada masa kepemimpinannya.

Melalui kerja kerasnya dan komitmen yang tidak goyah, Raden Natanagara berhasil memenangkan kepercayaan rakyat dan penguasa Belanda. Kesuksesannya sebagai Cutak Jampang tidak hanya mengubah pandangan banyak orang yang sebelumnya meragukan kemampuannya, tetapi juga membuka jalan bagi pencapaian yang lebih gemilang dalam karirnya. Pada tahun 1813, Raden Natanagara diangkat sebagai Bupati Bogor ke-14, sebuah posisi yang sangat prestisius. Pengangkatannya sebagai bupati menandai puncak perjalanannya dalam hierarki kepemimpinan di kalangan keluarga bangsawan Sunda.

Raden Natagara adalah anak laki-laki kedua dari empat bersaudara dari putera puteri Wira Tanu Datar VI, keturunan Wira Tanu terakhir yang memerintah Cianjur. Hal ini terjadi karena tidak ada anaknya yang dapat dijadikan regent karena disebabkan oleh beberapa faktor. Di awal masa pemerintahannya, ayahnya Wira Tanu Datar VI yang juga dikenal dengan sebutan Dalem Noh, membentuk sebuah Kepatihan bernama Kepatihan Tjikole yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Sukabumi saat ini.

Meskipun begitu, informasi tentang kehidupan pribadi Raden Natanagara, atau yang nama sebenarnya adalah Raden Mohammad Tobri, masih banyak yang belum terungkap. Detail tentang pernikahannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan dengan jelas, termasuk informasi jumlah anak dan keturunannya. Tapi dari yang berhasil diketahui, Raden Mohammad Tobri memiliki satu orang anak laki-laki bernama Raden Mohammad Muchtar yang dilahirkan saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati Bogor ke-14.

Selain menjadi seorang umaro, Raden Mohammad Tobri memiliki reputasi yang luas sebagai seorang ulama dan pendakwah yang terkenal, terutama dengan sebutannya sebagai Mama Ajengan Atharid karena keahliannya dalam bidang keilmuan agama Islam yang sungguh mengesankan, hal itu tidaklah mengherankan mengingat latar belakang garis keturunannya yang langsung terhubung pada para penyebar agama Islam di Jawa Barat. Leluhurnya adalah Eyang Dalem Cikundul, Bupati pertama Cianjur.

Puteranya, Raden Mohammad Muchtar, kelak mewaris keilmuan ayahnya, memiliki tingkat intelektual dan spiritual yang kuat, mewarisi pengetahuan dan kepemimpinan dari para leluhurnya. Keturunan dari keluarga yang telah lama mengabdikan diri dalam pembelajaran agama Islam dan pengabdiannya pada  masyarakat. Raden Mohammad Muchar tidak menerjukan diri dalam arus kekuasaan leluhurnya, tapi beliau telah mendedikasikan hidupnya untuk memperluas dan mendalami pengetahuan agama, serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat yang popularitasnya bukan hanya berskala nasional, tapi sudah mendunia.

Puteranya, Raden Mohammad Muchtar, diwarisi keilmuan dari ayahnya dengan penuh kemantapan. Dia memiliki tingkat intelektual dan spiritual yang luar biasa, yang diperoleh dari warisan pengetahuan dan kepemimpinan para leluhurnya. Sebagai keturunan dari keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam dan pelayanan pada masyarakat, Raden Mohammad Muchtar mewarisi semangat pengabdian tersebut.

Meskipun memiliki warisan kekuasaan dari leluhurnya, Raden Mohammad Muchtar tidak tertarik untuk terlibat dalam dunia kekuasaan. Sebaliknya, ia memilih untuk menekuni jalan dakwah dan pendidikan agama. Dengan tekad yang kuat, ia mendedikasikan hidupnya untuk memperluas dan mendalami pengetahuan agama Islam, serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat. Berkat upayanya yang gigih, popularitasnya pun merambah hingga skala internasional, mengharumkan nama Bogor di dunia Islam.

Raden Muhammad Mukhtar lahir pada hari Kamis, tanggal 14 Sya'aban 1278 H atau bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1862 M, di Bogor. Sejak kecil, pendidikan awalnya telah diperoleh melalui didikan yang cermat dari ayah kandungnya, Mama Ajengan Atharid. Dalam suasana yang penuh kasih sayang, ia belajar tentang Al-Qur'an dan berhasil menjadi seorang huffaz, atau penghafal Al-Qur'an.

Selain belajar dari ayahnya, Raden Muhammad Mukhtar juga menuntut ilmu kepada para ulama terkemuka di Bogor. Kecerdasannya sejak dini sudah terlihat jelas, tercermin dari banyaknya kitab-kitab salaf yang berhasil dihafalnya. Kitab-kitab tersebut meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti Nadzam al-Jurumiyyah, Nadzam al-Fiyah Ibnu Malik, serta beberapa kitab syarah lainnya seperti Fath al-Qarib al-Mujib dan Syarah Fath al-Muin. Dengan penuh semangat, Raden Muhammad Mukhtar menggali ilmu agama Islam dari berbagai sumber, menjadikannya seorang yang berpengetahuan luas dalam berbagai aspek keislaman.

Pada tahun 1299 H/1881 M, perjalanan ilmiah Raden Muhammad Mukhtar membawanya ke Tanah Betawi, yang kini dikenal sebagai Jakarta. Di sana, ia memperdalam pengetahuannya dengan belajar dari para ulama terkemuka. Dengan tekad yang bulat, Raden Muhammad Mukhtar mengkhatamkan berbagai kitab dalam berbagai bidang keilmuan yang sangat beragam.

Salah satu guru terkemuka yang membimbingnya di Tanah Betawi adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya, yang dihormati sebagai Mufti Betawi. Dari beliau, Raden Muhammad Mukhtar memperoleh ilmu dan menghafal berbagai macam matan ilmu, termasuk Matn al-Milhah, Matn al-Alfiyah, dan Matn al-Qathar. Di samping itu, dalam bidang akidah dan fikih, ia juga mempelajari dan menguasai kitab-kitab penting seperti Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, Matn al-Irsyad, dan Matn az-Zubad.

Perjalanan Raden Muhammad Mukhtar di Tanah Betawi menjadi salah satu tonggak penting dalam pembentukan keilmuannya yang kokoh dan luas. Dengan kegigihannya dalam menuntut ilmu, ia mampu menyerap pengetahuan dari berbagai sumber, memperkaya wawasannya, dan menjadi sosok yang dihormati di kalangan ulama dan masyarakat.

Dikutip dari buku Masterpiece Islam Nusantara, karangan Zainul Milal Bizawie, 2005, Sayyid Usman Betawi, seorang Mufti di Batavia, memegang peran penting sebagai guru bagi Syekh Mukhtar, serta salah satu mentor dari Habib Ali Kwitang. Dalam perjalanan spiritualnya, Syekh Mukhtar kemudian memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan meneruskan studinya di Hijaz. Di tanah suci, ia meraih kesempatan emas untuk menimba ilmu dari para ulama di al-haromain.

Dengan kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa, Syekh Mukhtar dengan cepat menyerap ilmu dari para guru terkemuka di Mekkah. Keistimewaan intelektualnya bahkan menjadi sorotan di antara rekan-rekannya sebaya, sehingga ia dikenal sebagai Tuan Mukhtar Bogor di tanah suci. Prestasinya yang gemilang terus bertambah selama masa belajarnya di Haromain.

Dalam karya tulisnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warid fi Asanid Ibn ‘Atharid, Tuan Mukhtar Bogor mencatat dengan rapi daftar nama-nama para guru yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya. Karya tersebut menjadi saksi bisu dari perjalanan intelektualnya yang luar biasa dan konsistensi dalam menuntut ilmu agama Islam.

Di Mekkah terkadang orang menulis namanaya Syekh Haji Raden Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Mukhtar Bogor, atau juga sering disebut dengan Syekh Atharid saja. Gabungan nama tersebut menggambarkan identitasnya yang menghormati warisan ayahnya dan kota kelahirannya.

Tuan Mukhtar Bogor adalah salah satu ulama terkemuka dari Nusantara yang memperoleh ketenaran dan pengaruh di Makkah pada zamannya. Meskipun tidak ada catatan biografi resmi dalam literatur Indonesia, namun kehidupannya telah terdokumentasi dalam literatur Arab, menegaskan prestasi dan pengaruhnya yang luas di dunia keilmuan Islam.

Tuan Mukhtar Bogor menjadi salah satu figur terkemuka di dunia keilmuan Islam, terutama dalam bidang hadis. Ia dikenal sebagai seorang Syekh, Mudarris, atau guru besar di Masjidil Haram Makkah, serta seorang Musnid dan Muhaddits yang ulung. Keahliannya dalam ilmu hadis begitu diakui, hingga mencapai taraf yang mengagumkan.

Menurut catatan yang diabadikan oleh Syekh Abul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa Al-Fadani Al-Makki, dalam keterangan tambahan untuk kitab Kifayah Al-Mustafid Lima ‘Ala Lada At-Tarmasi min Al-Asanid, disebutkan bahwa ada sekitar 130 ulama pakar hadits riwayah yang berasal dari Nusantara. Dari sekian banyak ulama tersebut, hanya tujuh yang memiliki periwayatan hadits paling banyak, dan kebetulan, semua berasal dari Indonesia. Tuan Mukhtar Bogor adalah salah satu dari tujuh ulama tersebut, yang menegaskan keunggulannya dalam tradisi keilmuan Islam. Keberhasilannya ini tidak hanya mengangkat nama Indonesia di kancah internasional, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu hadis di dunia Islam secara luas.




Tuan Mukhtar Bogor merupakan salah satu konsultan dan poros utama dalam jaringan intelektual Ulama Nusantara di Haramain pada awal abad ke-20, mengikuti jejak gurunya, Syekh Nawawi Al-Bantani.

Tuan Mukhtar Bogor berada dalam satu generasi dengan beberapa ulama besar Nusantara lainnya yang juga aktif dan memiliki karier di sana. Di antara mereka adalah Syekh Mahfuzh ibn Abdullah al-Tarmasi (Tremas), Syekh Baqir ibn Nur al-Jukjawi (Jogja), dan Syekh Muhammad Shalih ibn ‘Umar al-Samarani (Soleh Darat). Selain itu, beberapa cendekiawan Sunda sezamannya dengan Mukhtar 'Atharid yang berkiprah dan berkarya di Haramain antara lain adalah Hasan Mustapa (Garut), Abu Bakar Djayadiningrat, Muhammad Ahyad ibn Idris (Bogor), dan Tubagus Bakri (Mama Sempur).

Biografi lengkap Syekh Mukhtar bin ‘Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki banyak disebutkan dalam kitab-kitab biografi (tarâjim) Ulama besar dunia Islam yang mengajar di Masjidil Haram pada abad ke-20 M. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Nats al-Jawâhir wa al-Durar karya Yûsuf al-Mar’ashlî, Tasynîf al-Asmâ’ karya Mahmud Mamduh al-Syâfi’î, dan al-Jawâhir al-Hisân karya Zakariyyâ Billâ.

Salah satu kitab karangan Tuan Muchtar Bogor


Mencari harta karun karya ulama Jawi & Nusantara di salah satu percetakan tertua di Kairo Mesir bersama Mas Miftah Wibowo, 
direktur Pojok Perdaban



Dari salah satu konten youtube dalam vlog Mas Miftah Wibowo, seorang mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Mesir, kita dapat menemukan banyak sekali beberapa karya Tuan Mukhtar Bogor di antara tumpukan buku-buku langka di gudang penerbitan kuno "Mustafa Al-Halaby" yang berada di kota Cairo, Mesir. Melihat hal ini, tidaklah mustahil jika pemerintah dan masyarakat Bogor yang berniat untuk menghargai warisan intelektual ulama mereka, berupaya untuk memperoleh karya-karya Tuan Mukhtar Bogor tersebut sebagai sumber referensi dan penelitian, sekaligus sebagai koleksi berharga bagi umat Islam di kota Bogor. Ini menjadi langkah nyata dalam melestarikan dan menghargai warisan intelektual dari tokoh agama yang berjasa bagi masyarakat Bogor dan umat Islam pada umumnya.

Bogor, 14 Maret 2024, sumber penulisan diambil dari berbagai sumber


Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk ""Tuan Mukhtar Bogor: Warisan Ilmu di Gudang Penerbitan Kuno Cairo, Jejaknya dari Bogor hingga Mekkah""

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel