Peneleh dan Kampung Arab Ampel, Dua Kampung Tua di Surabaya yang melahirkan banyak tokoh Bangsa


Rumah yang dibeli oleh HOS Tjokroaminoto dari seorang Arab di jalan Peneleh kota Surabaya, selain dihuni bersama anggota keluarganya, dijadikannya pula sebagai rumah indekos kaum terpelajar yang kelak dikemudian hari menjadi para pejuang kemerdekaan Indonesia, meski ada beberapa diantaranya ada yang di cap sebagai kelompok "kiri" dan kaum "pemberontak".

Dikutip dari banyak sumber, mereka yang datang indekost di rumah itu memang datang dari berbagai latar belakang serta ideologi yang berbeda-beda, sebut saja antaranya adalah Sukarno (Bung Karno), Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso hingga Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Maka tidak mengherankan jika HOS Tjokroaminoto yang digelari sebagai "Raja Jawa Tanpa Mahkota" ini, dilabeli pula sebagai sang "Guru Bangsa".

Peneleh pun dijuluki Kampung Bapak Bangsa, karena setidaknya ada tiga tokoh bangsa yang berasal dari kampung ini, salah satunya adalah Prof. Dr.H.Roeslan Abdulgani, negarawan dan politisi senior Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI (1956-1957). 

Bung Karno sendiri disebut-sebut lahir di Peneleh, tidak seperti yang disangkakan orang, dimana sering kali banyak yang mengira tempat kelahirannya adalah di Blitar. Kelahiran Bung Karno di kawasan itu, terkait erat dengan masa tugas ayahnya sebagai seorang pegawai pemerintah yang selalu berpindah kota karena tugas yang diembannya.

Masjid tertua di Surabaya juga ada di Peneleh yang didirikan oleh Sunan Ampel, saat beliau singgah di kampung itu sebelum akhirnya menetap dan mendirikan Masjid Agung Sunan Ampel yang berada di daerah Semampir. Sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa, Semampir kemudian bekembang pesat menjadi pemukiman relegius, dan semenjak itulah sebutan nama Ampel mengekalkan diri pada nama di wilayah itu, Ampel pun tumbuh memiliki corak baru menjadi pemukiman para pendatang Arab asal Hadramaut, bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda telah secara resmi menetapkannya sebagai Kampung Arab di Surabaya sejak abad ke-18.

Salah seorang pemuka dan pendakwah Islam asal kota Khola al Rasyid, Hadramaut Yaman yang pernah menetap di Ampel adalah Sayyid Muhammad Bin Idrus Al-Habsyi. Karena keluasan ilmu dan keluhuran budi pekertinya, bersama dengan menantunya Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, kedua makamnya hingga kini dikeramatkan orang yang lokasinya berada di Jalan Ampel Gubah Kidul. 

Sebagai zona khusus akibat pengawasan yang ketat kepada warga Arab, karena dianggap ancaman oleh penjajah, terutama Islam dan arab culture yang saling terikat, Belanda pernah pula memberlakukan sistem kependudukan yang dinamainya dengan passen stelsel dan wijken stelsel di kampung Ampel. Kebijakan passen stelsel dan wijken stelsel  ini bukan saja menempatkan warga Arab dalam sebuah pemukiman khusus yang disebut dengan Koloni Arab, juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah Ampel. 

Tercatat nama-nama para kepala koloni Arab dengan pangkat kapiten yang mengepalai kampung Arab Ampel adalah; Muhammad bin Abdullah Bobsaid (1895-1911), Ahmad bin Abdullah Bobsaid (1911-1937) dan Ali bin Muhammad Bobsaid (1937-1942). Tercatat pula beberapa orang asisten yang ditunjuk untuk membantu tugas-tugas Kapten Arab tersebut yaitu Ahmad bin Muhammad bin Nabhan, Salim bin Said Basumaileh, Awab bin Ali Bala'masy dan Abdullah bin Khaled Alamudi.

Dari kampung Arab Ampel inilah roda perekonomian umat Islam menjadi kekuatan baru dan dianggap sebagai pemantik para pejuang.  Banyak sumber yang menyebutkan, bahwa pendanaan Sjarekat Islam yang menjadi motor gerakan awal kesadaran nasionalisme Indonesia yang digerakan oleh sang guru bangsa HOS Tjokroaminoto di Kampung Peneleh, sedikit banyak dananya dialirkan dari para saudagar Arab dari Kampung Ampel. Pemilik toko Kitab Nabhan yang terkenal dan tertua di kota itu, syaikh Abdullah Nabhan, selain sebagai donatur utama, ia juga disebut-sebut sebagai bendahara di organisasi Sjarekat Islam yang berhasil maju dan berkembang pesat sejak masa kepemimpinan HOS Tjokroaminoto.

Dari kampung Ampel ini pula muncul dan berkembang berbagai perkumpulan dan organisasi Islam, baik yang bercorak tradisional maupun modern. Pada awal tahun 1900 antaranya berdiri Madrasah Alkhairiyah yang lokasinya dekat dengan Masjid Ampel di Surabaya. Salah seorang dari alumnusnya adalah Abdurrahman Baswedan (1908-1986), yang dikemudian hari sejak setelah melanjutkan studinya di perguruan Al-Irsyad Batavia, dirinya kian menonjol sebagai tokoh peranakan Arab yang turut membentuk gagasan tentang persamaan rasa keindonesiaan. 

Masih dilingkungan yang sama, ada tokoh lainnya yaitu Ali Ahmad Bakatsir (1910-1969), seorang penyair, pengarang drama dan novelis Mesir yang lewat dramanya menyuarakan Indonesia merdeka dan menggalakan perjuangan diplomasi Indonesia di Jazirah Arab. Audatul Firdaus karya Ali Ahmad Bakatsir dijadikannya naskah drama yang sukses dipentaskan di Cairo dalam rangka propaganda mendulang dukungan kemerdekaan Indonesia dari rakyat dan pemerintah Mesir. Audatul Firdaus yang berarti "Kembalinya Surga Yang Hilang" dimaknai akan kembalinya Tanah Air Indonesia ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 17 Agustus 1945.

Sech Albar (1908-1947) musisi gambus kenamaan tanah air di masanya yang menjadi cikal bakal musik Arab modern di Indonesia ini juga lahir dari kampung Arab Ampel dan alumnus madrasah Alkhairiyah di kampung itu. Karirnya sebagai sebagai seorang seniman gambus yang melambungkan namanya, berhasil dia raih setelah lulus dari Madarasah Al-Irsyad di Batavia sejak setelah ayah rocker kenamaan Indonesia Ahmad Albar ini merilis albumnya bersama Orkes Gambus Al-Wathon yang dipimpinnya.

Tokoh penting lainnya yang tercatat lahir di kampung Ampel adalah Salim Ali Maskati (1907-1983), ia bersama dengan Abdurrahman Baswedan menumbuhkan kesadaran berbangsa orang Indonesia keturunan Arab melalui wadah PAI (Persatuan Arab Indonesia) yang dirintisnya pada tahun 1934 di kota Semarang. Sebagai organisasi modern yang telah merubah cakrawala berfikir kaum muda keturunan Arab seperti AR Baswedan dan Salim Maskati, Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang berdiri di Batavia, empat tahun setelah berdirinya pun membuka cabangnya di kota Surabaya di tahun 1919 yang letak sekolahnya juga berada di kampung Arab Ampel. Dari perguruan inilah lahir tokoh-tokoh yang ikut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Ustadz Oemar Salim Hoebeis

Dua diantara para tokoh yang pernah memimpin perguruan Al-Irsyad Surabaya sejak awal berdirinya di kampung Arab Ampel ini antaranya ialah Ustadz Umar Salim Hubeis dan Ustadz Abdullah Salim Al-Attas atau ayah dari mantan menlu Ali Alatas. Ustadz Umar Salim Hubeis yang kelahiran Betawi itu bahkan telah menjadi figur central Irsyadi Surabaya hingga pada akhir hayatnya dan menjadi salah satu tokoh yang turut membidani lahirnya Majelis Islam A'la Indonesia disingkat MIAI di kota Surabaya. Selain itu beliau pun aktif aktif sebagai anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dari unsur MIAI. Tahun 1947 ia tercatat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (KNP), dan sepuluh tahun kemudian terpilih sebagai anggota Konstituante, juga anggota Parlemen (DPR) RI (1959) bersama tokoh-tokoh lainnya dari satu almamater yang sama di Madrasah Al-Irsyad, antaranya adalah al-Ustad Ahmad bin Mahfoudz, satu diantara tokoh terkemuka Al-Irsyad yang berasal dari Kampung Arab Ampel di Surabaya.

Masih di kota yang sama, bersama Gubernur Jawa Timur Bapak Samadikun kala itu, Ustadz Umar Salim Hubeis terlibat secara aktif dalam mendirikan Yayasan Perguruan Tinggi Surabaya yang merupakan cikal bakal dari lahirnya Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya. Pada Fakultas Hukum yang dibidaninya itulah belaiu aktif mengajar sebagai Guru Besar dan pernah menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya di kota itu, antaranya adalah di Institut Teknologi Surabaya (ITS), Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah (PTDI) dan Fakultas Hukum Agama Jurusan Da’wah (FIAD) di Universitas Muhammadiyah.

Pada bidang dakwah yang dilakoninya sebagai seorang mubaligh, ustadz Umar Salim Hubeis pernah menduduki jabatan sebagai wakil ketua Dewan Dakwah Indonesia (DDII) Provinsi Jawa Timur dan menjadi anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur. Dalam lingkup pemerintahan, beliau merupakan staf ahli untuk bidang Bimbingan Perkawinan di Provinsi Jawa Timur. Sebagai seorang dai dan pengajar, beliau telah banyak melahirkan banyak tokoh yang kelak kemudian tampil sebagai orang-orang terkemuka di Indonesia, sebut saja antaranya adalah Prof. DR. T.M. Hasbi Ashshiddiqie, Laksamana Muda TNI Dr. dr. Tarmizi Taher, K.H. Bey Arifin, dan sederet panjang nama lainnya.

Masih dari kampung Arab di Ampel, melalui perguruan Al-Irsyad di kota Surabaya, sederet panjang alumnus yang dihasilkan dari lembaga pendidikan Islam bercorak tajdid tersebut, telah pula melahirkan sejumlah tokoh yang ikut mewarnai pertumbuhan dan pembangunan bangsa Indonesia, salah satunya adalah Dr. H. Mar'ie Muhammad, M.Si., mantan Menteri Keuangan yang dijuluki sebagai Mr. Clean, karena kejujuran dan integritasnya dalam perjuanngannya untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dari Peneleh dan Ampel, dua diantara kawasan bersejarah yang ada di kota Surabaya, telah menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dalam pembentukan identitas kota Surabaya sebagai kota yang mendapatkan julukan sebagai kota Pahlawan. Dari sejumlah tokoh pejuang di kota itulah, satu sama lain saling bergumul bersama dalam arus perjuangan hingga Indonesia berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan di Jakarta.

Belum ada Komentar untuk "Peneleh dan Kampung Arab Ampel, Dua Kampung Tua di Surabaya yang melahirkan banyak tokoh Bangsa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel