ASYIDAH, DODOL ARAB BERCITA RASA NUSANTARA



Dodol, salah satu kudapan manis khas Nusantara, terutama populer di Indonesia bagian barat. Terbuat dari beras ketan dicampur dengan pemanis gula aren, santan, sedikit garam, dan daun pandan sebagai pewangi. Di Jawa, dodol juga dikenal sebagai jenang, diproses menjadi padat melalui memasak di atas tungku api dengan cara diaduk.

Tolong tulisan berikut di bawah ini di revisi dan ditulis lebih ringkas dengan penulisan yang bagus dan menarik

Di Betawi suku asli yang mendiami kota Jakarta, ada tradisi khusus dalam pembuatan dodol terutama menjelang hari raya Iedul Fitri yang melibatkan orang sekampung secara mengelompok, biasanya berdasarkan tetangga terdekat dalam sebuah kekerabatan dengan membuat tungku dan wajan besar di pekarangan rumah dan secara bergotong royong dari penyiapan bahan baku dan mengaduk adonan secara bersama-sama, hingga dodol matang dan dibagi secara merata yang nantinya menjadi sajian andalan saat hari saling mengunjungi itu tiba di hari Lebaran.

Penganan mirip dodol juga populer di Timur Tengah, khususnya di Hadramaut, Yaman Selatan, negara asal para pendatang Arab yang berdiaspora di Nusantara. Penganan ini disebut Asyid, dan cara pembuatannya serupa dengan dodol, yaitu dengan mengaduk adonan mentah hingga padat dan matang di atas tungku api menggunakan wajan besi.

Di Hadramaut, bahan dasar pembuatan penganan mirip dodol berbeda dari Nusantara. Mereka menggunakan tepung gandum atau terigu dicampur dengan pemanis dari sari air kurma atau madu, serta bahan pendukung lainnya seperti minyak samin untuk kelembutan adonan saat dimasak, dan rempah seperti kapulaga dan kayu manis untuk pewangi.

Asyid, atau dikenal sebagai Asyidah, merupakan hidangan wajib untuk sarapan pagi atau kumpul sore di Hadramaut. Berbeda dengan dodol Nusantara yang tahan lama, Asyid disajikan saat baru matang dan langsung disantap sebagai hidangan rutin yang disajikan oleh kaum wanita di Hadramaut.

Keturunan Arab telah memainkan peran yang sangat penting dalam di Nusantara, tidak hanya dalam aspek pembangunan fisik dan sosial, tetapi juga dalam peleburan budaya yang kaya dan beragam. Seiring dengan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, kontribusi mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. Namun, lebih dari sekadar kontribusi politik dan ekonomi, mereka juga telah menanamkan akar yang kuat dalam kehidupan sehari-hari dan identitas budaya Nusantara.

Salah satu aspek yang paling mencolok dari warisan budaya Arab di Nusantara adalah di bidang kuliner. Melalui proses akulturasi budaya yang berlangsung selama berabad-abad, kuliner Arab telah menyatu dengan cita rasa lokal, menciptakan hidangan-hidangan yang unik dan menggugah selera. Dari masakan tradisional hingga camilan ringan, jejak kehadiran Arab dapat ditemukan dalam cita rasa "icip-icip" makanan di Nusantara.

Tidak hanya memberikan variasi rasa dan tekstur yang menarik, masakan Arab juga membawa cerita dan sejarah yang kaya. Setiap hidangan menjadi sebuah titik temu antara masa lalu dan masa kini, mengingatkan kita akan perjalanan panjang budaya yang saling mempengaruhi antara Arab dan Nusantara. Dengan setiap suapan, kita tidak hanya menikmati kenikmatan kuliner yang lezat, tetapi juga merasakan kekayaan warisan budaya yang telah kita bagikan.

Jadi, ketika kita menikmati sajian kuliner Arab di Nusantara, kita sebenarnya ikut merasakan bagian dari perjalanan sejarah yang mengikatkan dua budaya yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam setiap hidangan, terdapat cerita yang menarik dan nilai-nilai yang menginspirasi, mengingatkan kita akan pentingnya keragaman budaya dan persatuan dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Salah satu makanan yang mencerminkan perpaduan budaya yang menarik adalah Asyid atau Asidah. Melalui proses akulturasi budaya, hidangan ini menjadi bukti dari pertemuan yang harmonis antara kekayaan kuliner Timur Tengah dan rempah-rempah Nusantara.

Asyid atau Asidah, hidangan yang mencerminkan akulturasi budaya, mengalami variasi dalam pengolahannya di Nusantara. Di sini, gula aren menggantikan kurma atau madu sebagai pemanisnya, tetapi rempah seperti kapulaga, kayu manis, dan minyak samin tetap menjadi bagian penting. Beberapa juga menambahkan pewangi dari daun pandan, yang biasanya digunakan saat tepung terigu disangrai (digongseng) sebelum dicampur dengan bahan-bahan lainnya.

Asyid atau Asyidah, yang berasal dari bahasa Arab, mengandung arti mengaduk. Ini karena hidangan khas Hadramaut tersebut diproses dengan cara diaduk, mirip dengan pembuatan dodol atau jenang, camilan khas Nusantara.

Sebagaimana di tempat asalnya Hadramaut, makanan khas kaum peranakan Arab di Nusantara ini pun disajikan pada pagi hari sebagai kudapan pengganti sarapan, atau teman minum teh atau kopi di sore hari, baik disajikan  sebagai sajian rutin anggota keluarga, ataupun kudapan yang menjadi suguhan di rumah-rumah warga di kampung Arab.

Sebagaimana di tempat asalnya Hadramaut, makanan khas kaum peranakan Arab di Nusantara ini biasanya disantap sebagai kudapan pagi atau teman minum teh atau kopi di sore hari. Baik sebagai hidangan rutin keluarga maupun suguhan di rumah-rumah warga di kampung Arab, hidangan ini menjadi pilihan yang menggugah selera dan mengenyangkan.

Para wanita peranakan Arab, termasuk istri-istri wulaiti (Arab yang lahir di Hadramaut) dan perempuan pribumi, ahli dalam membuat Asyidah. Mulai dari subuh, setelah menunaikan shalat fajar, mereka rutin mengolah hidangan ini untuk kudapan pagi atau sore. Selain rempah, minyak samin selalu menjadi bahan utama, bahkan beberapa membuatnya sendiri.

Dikutip dari buku "Masakan Arab Rumahan", penulis Balqies Batarfie yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama 2014;

"Minyak Samin terbuat dari kepala susu sapi segar. Di masa lalu, saat penulis masih kanak-kanak, ibunya membuat sendiri minyak samin di rumah yang terbuat dari 3 liter susu sapi dalam panci dan diberi perasan jeruk nipis. Kepala susu itu kemudian dimasukan ke dalam botol dan botolnya digantung diambang pintu. Siapapun yang berlalu melewati pintu tersebut akan menyenggolnya hingga bergoyang, maksudnya adalah agar kepala susu mengental dan berubah menjadi minyak samin".

Tidak masalah, saya akan mengubahnya menjadi lebih terstruktur dan menarik. Berikut ini versi yang telah diperbaiki:

"Di atas meja Asyidah, terhamparlah hidangan yang menggugah selera: minyak samin, diletakkan dengan indah di tengah hidangan yang telah matang dan siap disantap. Bagian tengahnya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah kawah misterius di puncak gunung. Cara nikmati hidangan ini pun tak kalah menarik: cukup celupkan asyidah yang dicolek oleh jari ke dalam minyak samin yang kaya akan cita rasa."


Asyidah produksi Kanung Bogor


Kanung Bogor yang menjadi pionir industri makanan khas Timur Tengah, dan bahkan sekarang sudah menjadi makanan khas Bogor, salah satu dari banyak olahan yang diproduksinya adalah Asyidah. Dalam perkembangannya kemudian, lewat popularitas pada event kuliner yang tidak pernah absen diikutinya oleh perusahaan keluarganya yang sudah berdiri sejak tahun 1974 ini, Asyidah menjadi kian terkenal dengan sebutan Dodol Arab.


Bogor, 18 Ramadhan 1444 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 8 April 2023. Diperbaharui kembali 3 Maret 2024


Abdullah Abubakar Batarfie




 

Belum ada Komentar untuk "ASYIDAH, DODOL ARAB BERCITA RASA NUSANTARA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel