Politik Identitas, istilah bodoh kaum buzzer

Ilustrasi politik identitas. (Foto: Diolah dari Google). Sumber : poskota.co.id

Sudah seperti menjadi perangai musiman, setiap menjelang penyelenggaraan pemilihan Presiden, para pendukung masing-masing calon semakin gencar saling bermanuver, bahkan ada yang bernuansa kampanye meski belum waktunya itu tiba. Tidak sedikit diantara pendukung calon yang akan melenggang, mereka berusaha menjatuhkan lawan politiknya dengan cara yang "menjijikan". Bisa jadi karena electabilitas para pesaingnya yang dianggap semakin menguat dan popularitasnya yang terus menanjak. 

Mengungkit politik balas budi, juga gencar dibuat manuver, terkesan "ngambek" dan menuntut untuk tetap loyal berada dalam barisannya, demi sebuah ambisi meloloskan dirinya yang selalu gagal dalam pilpres sebelumnya, meski akhirnya masuk dalam lingkaran lawan main, menciderai pemilihnya yang akhirnya garang dan gahar karena merasa ditinggalkan dan merasa terhianati.

Tampaknya upaya penjegalan terhadap pesaing pun dalam pandangan kaum "hasadin" seolah menjadi salah satu cara yang paling jitu, alih-alih berdalih hukum, oleh lawan politiknya dicoba untuk dikriminalisasi lewat buah prestasinya yang dinilai berhasil dan gemilang menuai pujian, lagi-lagi karena kehabisan akal demi untuk tidak merelakannya melenggang penuh optimisme yang dirisaukannya bakal menjadi penghuni baru Istana. Hasutan kebencian seolah menjadi alat efektif guna menjegal lawan dari persaingan, yang seharusnya sama-sama tampil di arena dengan sportif dan demokratis.

Tentu saja fenomena perangai tengik politisi semacam itu dapatlah disayangkan, karena demokrasi yang berazaskan pancasila dan berbudaya, siapapun seharusnya dapat sama-sama menumbuhkan iklim berpolitik secara positif, akhlak yang terpuji dan dengan dukungan kecerdasan intelektual, seharusnya bersama-sama pula ikut bertanggung jawab untuk melahirkan estafeta kepemimpinan bangsa Indonesia yang berkualitas dan maju. 

Kampanye harus menjadi sarana bagi peserta pemilu untuk dapat meyakinkan para pemilihnya dengan menawarkan visi, misi dan program sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum, tanpa harus menggunakan isu rasisme demi meraih kemenangan

Isu rasisme itu kini kembali mencuat dalam suhu politik Indonesia menjelang bursa kandidat presiden yang tengah dan sudah mulai ramai dibicarakan publik. Terlebih lagi partai terbilang besar pemiliki quota untuk mengusung, Partai NASDEM sudah secara resmi mendeklarasikan Anis Baswedan sebagai calon PRESIDEN BARU INDONESIA. Satu diantara isu rasisme itu adalah adanya para penyerang yang lantas memberinya label "Politik Identitas", dan itu bahkan terus digulirkan menjadi alat penyerangan sebagai jargon yang dimainkan.

Mencuatnya istilah politik identitas yang ditujukan kepada Anis Baswedan itu tidak kemudian, membuat siapapun harus phobia, karena sejatinya setiap politisi memang sudah seharusnya memegang teguh identitas sebagai sebuah prinsip, dan bahkan patut mengemuka guna mempertegas jati dirinya sebagai identitas perjuangan, dan pantas untuk dipresentasikan kepada konstituen, bahwa identitas adalah ciri dari karakter sebuah bangsa.

Kebebasan dalam menjalankan kehidupan beragama berdasarkan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah Identitas Nasional bangsa Indonesia yang memiliki peran penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip beragama itulah yang memberi jaminan sebagai alat pemersatu bangsa, dan itu sudah teruji sejak awal terbentuknya republik ini yang telah mampu menciptakan ciri khas bangsa, dalam bentuk yang dapat dikenali oleh bangsa-bangsa lain di muka bumi ini melalui lambang negara, semboyan, bahasa, bendera, lagu kebangsaan, dasar falsafah bangsa, bentuk negara dan adanya pengaturan pembagian wilayah yang kesemua itu adalah sebagai sebuah IDENTITAS NASIONAL.

Oleh karena itulah, sangat menjadi aneh dan cermin pembodohan massal, jika istilah Politik Identitas dijadikan momok sebagai alat penyerangan untuk memfitnah lawan-lawan politik pada setiap pertarungan demokrasi yang bertanggung jawab, dimana sejak tahapan perivikasi dapat terpenuhinya sebagai syarat mutlak yang sudah ditentukan oleh adanya dasar dan acuan bernegara dan berbangsa yang telah disepakati secara bersama-sama, sebagai sebuah Identitas Nasional.

Penggunaan istilah politik identitas itu sudah tepat dan benar, justru itu baik individu, kelompok, termasuk politik dan politisi memang harus memiliki sebuah identitas yang jelas. Siapapun dan apapun itu, tanpa adanya identitas maka langkah dan arahnya menjadi tidak jelas, tidak memiliki tujuan, sesat dan menyesatkan. Karenanya menjadi salah kaprah jika penggunaan istilah "Politik Identitas" bahkan tidak tepat dijadikan sebagai "isu penyerangan" dipakai oleh para buzzer diberbagai media sosial. Munculnya istilah itu akhirnya menjadi sebuah identifikasi untuk memberi kesimpulan ide yang melontrakan istilah tidak tepat tersebut, merupakan ciri dari mulut orang yang disebut sebagai bahlul murrokab, alias manusia yang dungunya sudah totalitas.

Belum ada Komentar untuk "Politik Identitas, istilah bodoh kaum buzzer"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel