SIDDIK SURKATI, Pushing Power Al-Irsyad

Siddik Surkati


Siddiq Surkati, satu diantara kerabat dekat Syaikh Ahmad Surkati yang ikut memilih untuk menetap di Indonesia dan tinggal bersama sepanjang hayatnya di chaulan weg No.25. 

Siddik yang lahir di Sudan dan dibesarkan di Indonesia, adalah kemenakan Syaikh Ahmad Surkati, anak dari saudara sepupunya yang tinggal di udfu, Dunggulah - Sudan. 

Siddik muda tiba di Batavia pada 24 November 1928. Ia diajak serta oleh pamannya Surkati, saaat lawatannya ke Sudan sepulang dari tanah suci mekkah dan Mesir. 

Kunjungan Surkati ke tanah kelahirannya di Sudan adalah yang pertama dan juga yang terakhir, sejak beliau memutuskan untuk berhijrah ke Indonesia pada bulan Maret 1911, setelah lulus dan berkiprah di al Haromain - Makkah. Perjalanannya itu ditemani oleh Abdul Halim bin Haji Abdul Hamid, salah seorang muridnya yang berasal dari Lampung. 

Selama mukim di kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, Surkati menyempatkan diri menjadi tamu kehormatan Kerajaan Saudi Arabia dan disambut dengan hangat oleh Raja Abdul Azis ibn Saud di istananya. Demikian pula ketika lawatannya ke Mesir, Ia menjadi tamu kehormatan Universitas Al-Azhar dan disambut dengan hangat oleh Imam Besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Mushtafa al-Maraghi dan sahabatnya Syaikh Muhammad al-Ahmadi azh-Zhawahiri di kota Cairo. 

Di Indonesia, Siddik muda tumbuh menjadi dewasa dalam asuhan dan bimbingan pamannya Syaikh Ahmad Surkati yang telah menjadi pelipur laranya, karena meski beberapa kali menikah, Surkati ditakdirkan tidak memiliki keturunan. 

Berkat didikannyalah, Siddik dikemudian hari mengikuti jejaknya sebagai pendidik, dan pernah mengajar sebagai guru di perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dirintisnya. Mengelola asramanya, dan menemani hari-harinya dalam berbagai aktivitas dakwahnya. Sejak saat itu pula, orang-orang disekitarnya, akrab menyapanya dengan panggilan Ustadz Siddik Surkati. 

Ustadz Siddik Surkati telah tampil sebagai seorang tokoh terkemuka Al-Irsyad, bahkan oleh H.Hussein Badjerei, disebutnya sebagai tulang-punggung dan pushing power Al-Irsyad di tingkat pusat maupun di Jakarta. Jabatan formal baginya dalam struktur organisasi Al-Irsyad tidaklah dianggap penting, tapi apa saja yang dibebankan padanya ia akan terima. 

Karena itu meski kemudian Ustadz Siddik tidak pernah duduk dalam jabatan formal, tapi disetiap pertemuan harian pada Dewan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah dan dalam-forum strategis organisasi seperti congres, beliau hampir tidak pernah absen untuk menghadirinya. 

Selain pernah menjadi seorang pendidik, Ustadz Siddik terbilang sukses dalam usaha perniagaan dan menjadi seorang pengusaha yang dikenal akan sifat kedermawanannya. Bantuan untuk Al-Irsyad selalu mengalir tiada henti dari koceknya dan selalu tanggap dalam memberikan bantuan, saat aktivis Al-Irsyad sedang menghadapi masa-masa yang sulit. Menurut H.Hussein Bajerei, yang dikutip dari bukunya; Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, “tidak ada janda para pemimpin Al-Irsyad yang hidup susah setelah ditinggal wafat suaminya, semua disantuni cukup oleh Siddiq Surkati”.

Di kediamannya chaulan weg 25, Ustadz Siddik Surkati sering bertemu dengan sejumlah ulama Islam terkemuka Indonesia, maupun dengan para pemuka bangsa dari kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Termasuk menjalin persahabatan yang sangat erat dengan Bapak Mohammad Natsir, Prof. KH.Farid Ma’ruf dan KH.Abdul Wahid Hasyim. Persahabatan yang erat antara GF. Pijper dengan Surkati, hubungan itu terus berlanjut dengannya. Bahkan dikala Pijper sudah berada di negeri Belanda, setelah Indonesia Merdeka. 

Kedekatan Ustadz Siddik Surkati dengan G.F.Pijper, diberikan kesaksiannya oleh Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh, saat kedua pakar sejarah sahabatnya tersebut saling bertemu di Negeri Belanda. Pijper merasakan kesedihan dan kerinduannya untuk bertemu dengan Ustadz Siddik yang tersiar kabar akan sakitnya dan meminta kepada rekannya Abubakar untuk segera mengirimkan foto terkininya, sekembalinya ke tanah air. 

Ustadz Siddik pernah ditunjuk sebagai Konsul kehormatan Pemerintah Sudan untuk Indonesia dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden Republik Sudan, Ja’far Muhammad Numayri. Saat kunjungannya ke Sudan, Ia bahkan disambut sebagai tamu kehormatan oleh pemerintah Republik Sudan di ibu kota Khartoum.

Pengangkatannya sebagai Konsul Kehormatannya itu merupakan bagian dari upaya pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Sudan yang menjadi misi penting diplomasi pemerintah RI kepada dunia internasional, pasca Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika disingkat KAA yang berlangsung di kota Bandung tahun 1955. 

Saat berlangsungnya KA, kala itu Sudan belum resmi menjadi sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat. Atas jasa Bung Karno, disela acara KAA menyatakan kepada Ismail Al-Azhari, ketua delegasi yang mewakili utusan perjuangan kemerdekaan rakyat Sudan bahwa; "Surkati sebagai seorang ulama kelahiran Sudan, memiliki andil dan kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia, bahkan dinyatakannya telah ikut mendorong lahirnya kemerdekaan Indonesia".

Karena itu Indonesia sangat berhutang budi untuk mendudukan Sudan sebagai peserta penuh dalam konperensi tersebut dan sebagai bentuk pengakuan dimata dunia untuk mendorong dan mempercepat Kemerdekan Sudan. Bahkan setibanya di tempat acara penyambutan para peserta, Kedatangan Ismail Al-Azhari beserta rombongan disambut langsung oleh PM RI Ali Sastroamidjojo diiringi gegap gempita marching band dan 29 bendera negara peserta KAA.

Hingga hari ini, persitiwa bersejarah di Gedung Merdeka, tempat yang kini menjadi Museum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika tersebut, bendera perwakilan Sudan, sebagai sebuah rancangan hasil diplomasi bathin antara Surkati dan Sukarno, secarik "bendera darurat" yang hanya bertuliskan nama Sudan yang ditulis pada selembar kain putih polos, masih tersimpan dan menjadi saksi keikutsertaan Sudan sebagai peserta penuh dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Afrika di Bandung. 9 bulan sesudahnya, Sudan pun kemudian resmi menjadi sebuah Negara yang Merdeka serta Berdaulat pada 1 Januari 1956. 

Ustadz Siddik saat menghadiri peringatan 
DASA WARSA KE-I KAA Di Istana Negara RI
(duduk ditengah berbincang dengan Menteri Keuangan RI Mr. Sumarno)

Ustadz Siddik Surkati sempat menghadiri peringatan Dasa Warsa ke-1 KAA yang diselenggarakan pada tahun 1965 di Istana Negara dan dibuka oleh Presiden RI Bapak Ir. Sukarno yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Negara peserta KAA-Bandung-1955. Bahkan selepas acara peringatan Dasa Warsa, mantan Perdana Menteri Sudan, Ismail al-Azhari, datang dan berkunjung ke kediaman Ustadz Siddik Surkati di chaulan weg 25.

Ismail al-Azhari merupakan kerabat dekat Syaikh Hassan Al-Anshari, rekan seperjuangan Surkati, baik sejak masih bersamanya menjadi pengajar di Jamiatul Khair maupun setelah ikut bergabung dengannya dalam perguruan Al-Irsyad, yang sama-sama turut berjuang dan berdakwah untuk pemurnian dan pembaharuan Islam di Indonesia. Syaikh Hassan juga adalah ayah mertua Surkati, karena salah satu puterinya yang bernama Fatimah bt Hassan pernah dinikahinya. 

Ustadz Siddik Surkati menikah dengan Ibu Aisyah bt Said Baasir pada tahun 1941, dari pernikahannya itu kemudian dikaruniai sebelas orang putera puteri, mereka adalah Abdullah Siddik Surkati, Ahmad, Lutfi, Mustafa, Arsalan, Helmi, Nariman, Najib, Jamal, Fadhil dan Hani. Abdullah Siddik Surkati anak tertuanya, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4, anak dari sahabat ayahnya KH.Abdul Wahid Hasyim. Juga bersahabat karib dengan ulama-ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama, seperti KH Mustafa Bisri, dan yang lainnya, termasuk bersahabat dengan Prof.Dr.H.Alwi Abdurrahman Shihab, politikus yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

Isrtinya Aisyah bt Said Baasir adalah adik dari ustadz Muhammad Baasir, mantan ketua umum DPP Al-Irsyad periode 1965-1979. Dan menantu dari ustadz Abdul Fadhl Sati, adik kandung Surkati, yang menikah dengan puteri tunggalnya, Shofiyah. Salah seorang anak dari pasangan Sofiyah dengan Muhammad Baasir itu ialah Dr. Sofyan Basir, S.E., mantan Direktur Utama PLN sejak 2014 hingga 2019, dan Mantan Direktur Utama BRI. 

Ustadz Siddik Surkati wafat 16 Oktober 1981.Tanggal wafatnya sama dengan tanggal wafat ayah dzahirnya Surkati,16 (September) 1943 dan tanggal wafatnya Ustadz Abdul Fadhl Sati, saudara kandung Surkati pada 16 Oktober 1944. Pemakaman Ustadz Siddik Surkati dihadiri oleh seluruh Pimpinan Al-Irsyad tingkat nasional, Irsyadien di Jakarta dan dari beberapa cabang yang datang untuk menghadiri pemakaman tokoh terkemuka Al-Irsyad tersebut. Tokoh nasional yang tampak melayat ke rumah duka dan menghadiri pemakamannya adalah sahabatnya M.Natsir, mantan Perdana Menteri RI dan mantan Ketua Masyumi. Beberapa karangan bunga datang dari para pelayat untuk menyampaikan tanda duka cita, antaranya dari Wakil Presiden RI Bapak H.Adam Malik. 

Menurut H.Hussein Badjerei, kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi Al-Irsyad dan umat Islam. Kesan yang mendalam atas sosoknya sebagai tokoh Al-Irsyad pernah dilukiskan oleh salah seorang aktivis Al-Irsyad dari Surabaya, “kalau beliau sebagai ayah, maka ia seorang ayah yang berwibawa. Kalau beliau seorang guru, maka ia adalah guru yang arif. Kalau beliau seorang kawan, maka ia seorang kawan yang paling setia. Beliau adalah Raja, dan memang ia raja di negeri asalnya. Pintu rumahnya selalu terbuka 24 jam untuk siapapun, dan kini, kita telah kehilangan milik kita yang paling berharga, Allahyarhamuh Ustadz Siddik Surkati”.

Bagi aktivis Al-Irsyad hingga di era tahun 80-an, rumah eks Surkati yang juga menjadi kediaman Ustadz Siddik Surkati di gang solang, tentunya akan memiliki kenangan tersendiri. Karena di salah satu bagian rumah itulah, pernah dijadikan sebagai kantor DPP Perhimpunan Al-Irsyad, sejak masih dikenal dengan nama Jalan KH Hasyim Asy’ari No.25, bahkan jauh sebelumnya, saat masih bernama Jalan Kemakmuran. Segala aktivitas organisasi pernah dipusatkan disana, termasuk kantor sekretariat Badan-Badan otonom.

Rumah kediaman Syaikh Ahmad Surkati di chaulan weg, yang pernah berkali-kali ganti nama dari Jalan Kemakmuran dan sekarang menjadi Jalan KH Hasyim Asy’ari No.25 ini, memang memiliki sejarah yang amat panjang. Kejayaan Al-Irsyad yang pernah gemilang dan persoalan pelik yang pernah menimpanya pada masa lalu, rumah ini menjadi saksi bisu atas semua peristiwa yang pernah dialami oleh Al-Irsyad. Peristiwa demi peristiwa penting yang pernah di alami Al-Irsyad di rumah tersebut, akan selau dikenang, semuanya akan diingat dan dicatat dalam sejarah.

Belum ada Komentar untuk "SIDDIK SURKATI, Pushing Power Al-Irsyad"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel