"Seribu Kisah" yang tercecer dari sklumit sejarah panjang Masjid Agung Empang


Masjid Agung Empang, merupakan salah satu masjid tertua dan terbilang paling bersejarah di kota Bogor yang berada ditengah keberagaman masyarakatnya, yang tumbuh dan berkembang disekelilingnya. Patut disyukuri karena sampai dengan hari ini masih menampilkan coraknya tersendiri dengan membawa keberkahan bagi umat Islam di kota Bogor, yaitu sebagai masjid yang NETRAL. Tapi meski demikian, tidak kemudian masjid Agung Empang kehilangan jati dirinya yang berdiri di atas dasar ahlussunnah wal jama’ah, berdasarkan ketetapan awal yang memang dibuat oleh para pendahulu dan pendirinya, pemahaman yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.

Masjid Agung Empang telah tumbuh dan berkembang sebagai masjid bersejarah yang kental dengan nilai-nilai persatuan. Masjid ini merangkul siapa saja dari kelompok manapun. “Tidak ada pihak manapun yang akan memberi warna" asal berdiri di atas landasan ahlussunnah wal jama’ah. Karena itu seyogianya, selain jamaahnya, para pengurusnya pun merangkul dari semua golongan.

Citra Masjid Agung Empang bersesuaian dengan identitas kawasan Empang itu sendiri, tempat dimana masjid ini berdiri di tengah semua komunitas yang bisa hidup berdampingan dalam sebuah harmoni, tanpa ada perbedaan yang tersulut, terpicunya gesekan walaupun berbeda faham dan pandangan. 

Empat Tiang penyanggah, simbol khulafaurrasyidin, cikal bakal masjid yang dulu masih berukuran musholla

Pendirian Masjid tak lepas dari keberadaan pusat pemerintahan awal kota Bogor, sejak kota ini masih dipimpin oleh seorang Demang setingkat Bupati yang telah memindahkan pusat permerintahannya dari Tanah Baru ke Sukahati (Kampung Empang sekarang) pada tahun 1754. Adalah Jacob Mossel, pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-28 yang telah mengabulkan permohonan Demang Wiranata untuk menggunakan TANAH SEWA di Sukahati sebagai tempat tinggal barunya, sekaligus berfungsi untuk menjalankan roda pemerintahan yang dipimpinnya.

Selain mendirikan rumah, oleh Demang Wiranata didirikan pula sebuah masjid yang lokasinya berada disamping sebelah barat dari kediamannya dan berhadapan dengan alun-alun, sebagaimana pada umumnya keberadaan tata letak pusat pemerintahan di pulau Jawa. Demikian pula dengan tempat tinggal para pengelola masjid, yang berhubungan dengan takmir disediakan disekitar lingkungan masjid yang lazim disebut Kaum. 

Kaum atau kauman di Jawa, kata itu diambil dari bahasa Arab yaitu Qaum yang berarti dan bermakna Pejabat Keagamaan dari asal kata Qoumuddin, yang artinya adalah para Penegak Agama. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan mulai ramainya kampung Sukahati yang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari Hadramaut dan bermukim secara tetap setelah menikahi wanita-wanita setempat, antaranya dengan puteri keturunan Demang Wiranata itu sendiri, telah ikut mengembangkan dakwah dan syiar Islam, yang bukan saja terpusat disekitar empang saja, tapi hingga kemudian meluas kedaerah sekitarnya, memberi corak dan peradaban baru terhadap norma, adat dan kebudayaan setempat.

Para keturunan Arab itu selain menyemarakan dakwah, turut pula dalam usaha perluasan lahan masjid yang semula kecil menjadi luas. Empat pilar sebagai ruang utamanya tetap dipertahankan dan dilestarikan hingga kini, dimana keempat pilar tersebut bahkan dikaitkan dengan simbol keempat sahabat Rasul yang oleh umat Islam disebut sebagai khulafa'urrasyidien.

Perluasan dan pembangunan Masjid tahap ke-2 menjadi bangunan permanen dan indah, kembali dilakukan sejak setelah tahun 20-an, setelah kebakaran cukup besar yang pernah melanda. Berkat bantuan para saudagar keturunan Arab di Empang, mereka mendesain ulang masjid, menyerahkan pengerjaannya pada seorang arsitek dan membiayai pengerjaannya.

Perluasan selain diperoleh dari wakaf lahan milik perorangan dari beberapa saudagar Arab seperti dari Al-Idrus dan Assegaff, juga berkat pembebasan beberapa rumah penduduk yang terbakar yang danannya diperoleh scara kolektif dari para donatur, terutama dari Syaikh Salim bin Awab Balweel dan Syaikh Ahmad bin Said Alwahdi Badjened. Demikian pula dalam proses pembangunannya, yang menelan biaya sangat besar pada masanya.



Masjid Agung Empang dalam peran Kebangsaan

Sebagai masjid Agung, Masjid Agung Empang mengambil perannya dalam pergerakan nasional. Peran ini berawal dari keterlibatan pengurus masjid dalam kancah pergerakan nasional untuk perjuangan kebangsaan. Sejarah mencatat, Masjid Agung Empang menjadi pusat mobilisasi Lasykar Hisbullah saat perjuangan revolusi kemerdekaan tengah bergejolak. Demikian pula ketika jasad para pejuang dikuburkan kembali secara layak tanda penghormatan, prosesi jenazahnya sebelum dimakamkan dalam Taman Makam Pahlawan (TMP) Dreded, mereka disiapkan, dikafani dan diberangkatkan dari masjid Agung Empang.

Masjid Agung Empang sebagai masjid "besar" kota Bogor, menjadi pusat ditandainya hari besar Islam sejak dahulu kala. Umat Islam di kota Bogor akan berbondong-bondong dari segala penjuru menantikan waktu penentuan hari besar itu tiba, sebagai barometer, terutama dalam penentuan untuk awal berpuasa ramadhan dan berlebaran yang diumumkan oleh pejabat berkompeten yang berurusan dengan penanggung jawab kemasjidan dan keumatan dibawah kendali Hofd Penghoeloe, atau yang setelah kemerdekaan dinamai orang sebagai Kepala Penghoeloe Bogor.

Kelak setelah kepulangan mendapatkan informasi awal penentuan hari lebaran itulah yang melahirkan tradisi malam takbiran secara berkeliling, hal itu sebagai penanda hari raya iedul fitri akan jatuh esok hari, karena alat kemonikasi dimasa lalu belum semutakhir seperti yang sekarang kita alami.

Dari Masjid Agung Empang ini pula siaran langsung pelaksanaan ibadah shalat Hari Raya dan shalat Jum'at, berikut azan dan khutbah disemua pelaksanaan ibadah tersebut dikumandangan secara mengudara lewat corong Radio Republik Indonesia kota Bogor. 


Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno salah satu tokoh dan pemimpin bangsa, yang kerap melaksanakan ibadah shalat Jum'at secara protokoler saat beliau sedang berada di Istana Bogor. Termasuk mendampingi tamu-tamu kenegaraannya dari kalangan pemimpin muslim dunia yang datang bertandang ke Istana Bogor yang waktunya bersamaan di hari jum'at tiba. Tercatat di antaranya adalah Gamal Abdul Nasser presiden kedua Mesir dan merupakan salah seorang negarawan Arab yang paling terkemuka dalam sejarah. Termasuk pula antaranya sesudah kunjungan Nasser, Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Mahmoud Syaltut yang berangkat dari istana Bogor. 

Syaikh Qari' Abdul Basith Abdush Shamad adalah seorang qari sangat terkenal di Mesir yang mendunia, disebutkan pernah pula bershalat jum'at di masjid Agung Empang saat kunjungannya sebagai tamu kehormatan presiden Sukarno di istana Bogor. Bisa jadi ada sederet nama lain bertaraf internasional yang pernah datang sebagai _jamaah transit_ sekedar beribadah di masjid Agung Empang, karena statusnya sebagai "Masjid Besar" yang berjarak paling dekat dengan istana kepresidenan. 

Selain pemimpin dunia, terbilang tidak sedikit dari tokoh-tokoh nasional lainnya yang berulang kali mengunjungi masjid Agung Empang, sebut saja diantaranya adalah prokalamator kemerdekaan RI dan wakil presiden pertama Drs. Muhammad Hatta (Bung Hatta), mantan perdana menteri DR. Mohammad Natsir, wakil presiden ke-3 RI Adam Malik, dan lain sebagainya. Dari kalangan ulama yang datang berjamaah shalat, berkhutbah dan bertabligh tercatat seperti Buya Hamka, Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito dan Haji Mas Mansyur. Tentu saja ulama kharismatik se kota Bogor seperti KH Abdullah Bin Nuh (Mama Abdullah), KH Tubagus Muhammad Falak (mama falak pagentongan), Mualim Maksum, KH Muhamamd At-Thayib, mereka semuanya bahkan telah menjadi bagian dari masjid Agung Empang. Demikian pula dengan KH Soleh Iskandar dan tokoh ulama pejuang lainnya. Bahkan dai kondang yang terkenal kali terakhir bertabligh akbar di Masji Agung Empang tiga diantaranya yang dapat diingat adalah KH Kosim Nurseha, Ustadz Abubakar Ba'asyir dan Ustadz Abdul Shomad.

Salah satu peninggalan yang sampai dengan hari ini dapat dilihat jejaknya akan kehadiran tokoh nasional yang menjadi jamaah masjid tetap adalah, adanya jam jounghans yang beridiri tegak dimuka mimbar peninggalan dan wakaf dari Dr. Marzoeki Mahdi, Dokter Pejuang Ahli Penyakit Jiwa lulusan sekolah kedokteran Stovia di Batavia yang pernah menjadi anggota BOEDI OETOMO dan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Di masjid Agung Empang ini pula pernah memiliki corong radio yang mengudara dan cukup terkenal di kota Bogor dan sekitarnya. Namanya 'Radio Bilal' yang dirintis dan dikelola oleh para pemuda Empang. Masih dalam ruang yang saling bersebalahan, sebagai kelanjutan dari keberadaan Kantor Urusan Agama, pengganti Kantor Penghulu Bogor yang terpusat di Masjid Agung Empang, pernah berdiri sekolah Taman Kanak-Kanak Perwanida yang dirintis dan berada di bawah pengelolaan Persatuan Wanita Departemen Agama Republik Indonesia kota Bogor.

Masjid Agung Empang, keberadaannya sejak dahulu telah menjadi magnet dalam meneyebarkan gagasan Islam dan kebangsaannya secara lebih luas kepada penduduk. Penggunaan khotbah dalam bahasa Melayu turut mendorong persebaran gagasan tersebut, karena sejatinya Masjid Agung Empang bukanlah masjid desa ataupun masjid kampung, atau masjid milik satu kelompok elit tertentu yang bertalian nasab, tapi merupakan masjid nasional yang telah menjadi pusat kegiatan dakwah masyarakat di kota Bogor pada umumnya.

Keberadaan dalam memakmurkan dan memajukan Masjid Agung Empang harus melibatkan semua pihak atau semua golongan agar netralitasnya tetap terpelihara sebagai masjid pemersatu umat Islam tanpa melihat latar belakang dan golongan namun tetap berlandaskan pada identitas aslinya yaitu ahlussunnah wal jama’ah yang diterima oleh semua elemen umat Islam di kota Bogor, khususnya di Empang sebagai masjid yang membawa nilai-nilai ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin.

Syarat regulasi dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu keharusan warga sekitar masyarakat di lingkungan Empang sebagai jamaah masjid tetap lima waktu, umaro sebagai pelindung, pembina dan pengawas, harus mutlak dijadikan dasar dalam pembentukan kepengurusan Takmir Masjid atau DKM, agar citra dan jati dirinya sebagai Masjid "Besar" Agung tetap berkesinambungan dan dipertahankan secara bertanggung jawab dengan pengelolaan yang profesional, memiliki kemampuan manajerial dan visi misi yang terpogram serta membangun. 

Bogor, 26 Rabiul Awal 1443 Hijriyah atau bertepatan dengan 2 November 2021.

2 Komentar untuk ""Seribu Kisah" yang tercecer dari sklumit sejarah panjang Masjid Agung Empang"

  1. Terima kasih tulisan-tulisan ini mengenalkan saya dengan Bogor masa silam, terutama daerah Empang dan Pakojan, tempat saya main waktu kecil dulu. Banyak hal baru tentang Bogor yang saya dapat dari situs ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah atas atensinya dan semoga bermanfaat, masih perlu banyak referensi dan pencerahan. Ditunggu saran dan masukannya, salam takzim

      Hapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel