Ma Ara & Anthony Quinn Yang melegenda, Dan Galohgor Ka Jetun di Empang
Ma Ara
Judul film "Dukun Beranak" pernah tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada tahun 1977, dibintangi oleh aktor dan aktris kenamaan tanah air di zamannya, film ini menampilkan kepiawaian Sofia WD dalam memerankan karakter "Mak Odah".
Dalam film berlatar belakang horor ini, kita disajikan dengan adegan mencekam di mana "Mak Odah" terlibat dalam proses persalinan seorang wanita di tengah malam yang gelap gulita, hanya untuk kembali ke rumahnya saat matahari terbit. Di Jawa Barat, profesi ini dikenal dengan sebutan mabeurang, yang diambil dari kata "beurang" yang artinya siang dalam bahasa Sunda. Meskipun demikian, kehadiran seorang mabeurang tidak hanya terbatas pada pagi hari, tapi juga bisa terjadi di siang atau bahkan menjelang senja. Istilah lain yang sering digunakan untuk profesi ini adalah Paraji. Dengan segala nuansa misteriusnya, film ini membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan rahasia dan ketegangan.
Sebelum maraknya klinik bidan dan rumah bersalin seperti sekarang, kita bisa menyaksikan sejarah panjang profesi serupa dengan "Mak Odah" dalam film "Dukun Beranak". Salah satu contohnya terjadi di kampung Arab Empang Bogor, di mana satu individu cukup terkenal karena profesi ini hampir menangani empat generasi di kampung Arab Empang. Mulai dari jidah (nenek), umi (anak nenek), cucu, dan bahkan hingga ke cicit, mereka semua ditangani oleh keahlian seorang mabeurang. Ini adalah bukti nyata bagaimana kebudayaan dan tradisi bisa terus bertahan dan berkembang dari generasi ke generasi.
Di Empang, hampir semua kaum hawa mempercayakan proses persalinan mereka kepada Mak Ara, seorang mabeurang yang telah mengabdikan hidupnya pada pekerjaan mulia ini. Meskipun ada yang memilih melahirkan di rumah sakit, Mak Ara selalu siap memberikan bantuan dan dukungan sebelum dan sesudah persalinan. Mulai dari memijat perut ibu hamil hingga memandikan bayi baru lahir, dia tak pernah absen untuk mendampingi mereka dalam momen yang begitu berharga ini.
Mak Ara memang terkenal mahir memeriksa kehamilan seorang wanita hanya dengan sentuhan tangannya. Dia mampu menentukan dengan tepat kapan saatnya bayi akan lahir dari perut ibunya. Dengan keahliannya, dia bahkan dapat mengetahui posisi bayi dalam rahim ibunya. Oleh karena itu, seringkali perut wanita hamil harus rutin dipijat oleh tangan lembut Ma Ara dengan penuh kehati-hatian, agar proses persalinan berjalan lancar dan bayi bisa lahir dengan selamat dan normal. Keahliannya dalam melakukan pijatan ini tidak hanya memberikan kenyamanan fisik, tetapi juga memberikan ketenangan dan harapan bagi para ibu hamil.
Di masyarakat Jawa, proses kelahiran sering kali dipercaya memiliki makna simbolis, terutama terkait dengan posisi bayi saat lahir. Misalnya, jika bayi lahir dengan posisi kaki terlebih dahulu, yang dalam bahasa Sunda disebut "sungsang", seringkali dikaitkan dengan mitos-mitos yang menggambarkan sifat dan watak yang dimiliki oleh anak tersebut saat dewasa nanti.
Dalam legenda epik Jawa Barat, terdapat seorang tokoh yang lahir dengan posisi yang tidak lazim, dan itulah yang memberinya julukan Pangeran Walangsungsang. Dia adalah putra dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang, yang merupakan raja Islam pertama di Tanah Sunda dengan gelar Sri Mangana Cakrabuana. Setelah mendirikan Kerajaan Cirebon, dia dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuana. Kisahnya menjadi keyakinan pada sebagaian masyarakat, bahwa keberadaan dan nasib seseorang dapat ditentukan bahkan sejak awal kehidupannya.
Proses kelahiran Pangeran Walangsungsang dari rahim Nyai Subang Larang, yang juga merupakan ibu dari Puteri Rara Santang atau yang lebih dikenal sebagai Syarifah Mudaim, tentu saja berlangsung pada masa yang berbeda dengan Ma Ara, karena keduanya hidup pada zaman yang berbeda. Namun, tidak jarang wanita-wanita bergelar syarifah di kampung Arab Empang memilih untuk mempercayakan kelahiran mereka kepada keahlian Ma Ara sebagai mabeurang yang terampil.
Ma Ara semasa hidupnya tak pernah lepas dari busana nasional, khas wanita zaman dulu, berkebaya dan berkain batik, termasuk berkebaya putih polos khas seorang paraji, hobi mengunyah sirih yang dalam bahasa Sunda disebut "nyeupah". Di hari tuanya, dia tetap setia dengan kebiasaannya itu, dengan postur tubuh yang sedikit membungkuk, selalu menggendong tas yang selalu menemaninya ke mana-mana. Mungkin kebiasaan itu sudah dia lakukan sejak pertama kali dia menjadi mabeurang. Tasnya selalu berisi perlengkapan penting, mulai dari kinangan perlengkapan sirih hingga persalinan dan perawatan bayi dan ibu yang melahirkan, termasuk ramuan-ramuan tradisional.
Ma Ara adalah contoh nyata kebaikan hati sejati sebagai seorang mabeurang. Dia menjalankan profesinya dengan penuh kesukarelaan dan tanpa mengharapkan imbalan. Tak pernah ada penentuan harga dalam bantuannya, dan dia selalu siap membantu tanpa memandang waktu dan status sosial. Bahkan ketika pintu rumahnya diketuk di tengah malam, dia tetap sigap dan siap membantu, tanpa memandang apakah yang meminta pertolongannya berasal dari keluarga miskin atau tidak. Baginya, memberikan pertolongan adalah panggilan batin dengan tidak memandang status yang ditanganinya atau pun imbalan materi.
Ma Ara dikenal dengan pendekatan uniknya dalam membantu ibu melahirkan, yang dikenal dengan pola subsidi silang. Ini terjadi jauh sebelum pemerintah menerapkan program jaminan sosial persalinan atau jampersal. Dia terutama membantu keluarga-keluarga tidak mampu, baik yang tinggal di kampung Arab Empang maupun di sekitarnya seperti Kampung Muara dan Ampera. Dengan pendekatan ini, Ma Ara memastikan bahwa setiap ibu, tanpa memandang latar belakang ekonominya, dapat mendapatkan perawatan dan dukungan yang mereka butuhkan selama proses persalinan.
Caranya adalah dengan mengumpulkan bahan-bahan bantuan keperluan persalinan dan kebutuhan bayi seperti bedak, minyak kayu putih, popok, baju bayi, dan perlengkapan untuk ibu bayi. Di antara sumbangan tersebut, terdapat derma uang yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap mampu di komunitas Kampung Arab di Empang. Uang tersebut digunakan oleh Ma Ara untuk membeli bahan-bahan ramuan tradisional dan menyediakan jamuan bagi ibu hamil secara cuma-cuma, seperti paparem, pipilis, beras kencur, dan "galohgor". Para pembuat dan penjual ramuan yang juga berasal dari keturunan Arab diberikan harga khusus, bahkan seringkali turut membantu secara sukarela.
Bagi warga peranakan Arab di Empang, Ma Ara tidak hanya dikenal sebagai mabeurang, tetapi sudah seperti menjadi bagian dari anggota famili. Hampir setiap rumah di kampung Arab Empang menjadi tempat singgahnya, bahkan hanya untuk beristirahat dan berbincang-bincang ringan. Sifat dan karakter Ma Ara mencerminkan watak umum peranakan Arab: lugas, tegas, dan terkadang terkesan temperamental karena peduli pada apa yang ia lihat dan dengar, khususnya jika ada hal yang tidak disetujuinya.
Ma Ara di Empang, namanya kini sudah diabadikan sebagai nama sebuah lorong atau gang, tempat dia mukim hingga di masa tuanya, di bilangan Lolongok. Tanggal dan hari wafatnya Ma Ara ternyata bersamaan dengan kematian aktor legendaris terkenal, Anthony Quinn, pada 3 Juni 2001, Quin pernah sukses memerankan sebagai tokoh "Sayidina Hamzah" dalam film "The Message" yang dirilis tahun 1977, serta perannya sebagai "Omar Mochtar" dalam film "Lion of The Desert" tahun 1981.
Selain kedua film yang sukses dan disutradarai oleh Moustapha Akkad, Anthony Quinn juga pernah membintangi film "Si Bongkok dari Notredame" pada tahun 1956. Namun, tentu saja film tersebut tidak memiliki hubungan dengan ciri khas Ma Ara yang membungkuk di penghujung akhir hidupnya.
Anthony Quinn, seorang aktor berkebangsaan Meksiko, telah berhasil memenangkan dua Academy Award, salah satunya berkat perannya yang luar biasa dalam film "Zorba the Greek". Begitu juga dengan Ma Ara, yang meraih penghargaan sebagai "Paraji Teladan" se-kota Bogor. Piagam penghargaannya diserahkan langsung oleh Bapak Walikota, Eddy Gunardi saat itu, di Balaikota Bogor. Meskipun sudah uzur di penghujung hidupnya, Ma Ara tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, termasuk rutin mengikuti jalan sehat dan senam pagi bersama warga kota.
Kini, profesi mabeurang berada di ambang kepunahan. Sulit untuk menemukan para penolong ibu hamil seperti "Mak Odah" dalam film "Dukun Beranak", Ma Ara di Empang, Ma Ijah dari "gang Rodan", dan emak-emak paraji lainnya. Bahkan pada tahun 1990-an, kita masih dapat menemukan papan nama yang bertuliskan "Paraji Berijazah", namun kini semakin jarang ditemui, atau bahkan sudah tidak ada sama sekali.
Untuk mengakhiri profesi Paraji, pemerintah secara bertahap membuat aturan melalui program kementerian kesehatan dengan membatasi peran mereka hanya sebagai pendamping pra dan pasca persalinan. Hal ini dilakukan karena dipandang oleh pemerintah pada tingginya angka kematian ibu hamil, akibat penanganan yang tidak memenuhi persyaratan medis.
Lambat laun, profesi paraji, dukun beranak, atau mabeurang secara perlahan-lahan musnah di tengah arus modernisasi dan penanganan persalinan yang semakin mengedepankan pendekatan medis. Meskipun demikian, metode persalinan "medis" juga tak luput dari "eksploitasi rumah sakit", dengan banyak kasus persalinan melalui operasi sesar yang tidak perlu. Bahkan, ada yang mengatur tanggal persalinan bayi melalui operasi serupa. Bersamaan dengan hilangnya praktik "dukun beranak", tradisi pemakaian beubeur untuk ibu hamil setelah melahirkan dan baju gurita untuk bayi baru lahir, atau bedong juga akan turut menghilang.
Demikian juga, berbagai ramuan dari bahan alami yang dahulu sering digunakan oleh ibu hamil baik sebelum mapun setelah melahirkan, juga turut menghilang, seperti pipilis yang berkhasiat untuk mencegah peningkatan sel darah putih ke otak. Begitu pula dengan ramuan cemilan berbahan rempah lainnya, seperti galohgor, yang sekarang hanya diproduksi oleh satu orang saja sebagai generasi ketiga di kampung Arab Empang, dikenal dengan sebutan "galohgor ka jetun".
Ka Jetun, yang bernama lengkap Zaitun binti Salman Sungkar, merupakan generasi kedua dari penerus usaha yang dirintis oleh ibu mertuanya, Fatimah binti Salim Mahdami, yang akrab disapa oleh penduduk setempat dengan "Bu Empat Jahe", karena keahliannya dalam membuat manisan jahe yang sangat terkenal pada masa lalu. Dari mertuanya pula, atau ibu dari suaminya, Sayyid Ali Al-Jufri, Ka Jetun mempelajari keahlian membuat bedak dingin dalam dua bentuk, yaitu bedak bangkuang dan bedak tikotok. Dinamai demikian karena bentuknya yang menyerupai buah bengkuang dan tikotok, nama tikotok diambil dari bahasa sunda yang artinya adalah "tahi ayam".
Ibu Empat Jahe adalah kakak perempuan A.Hadi Mahdami, maestro gitar musik melayu berirama gambus yang terkenal, atau yang di Bogor akrab disapa Ami Adun Hulu. Selain merajut lagu pantun Janda, musisi legendaris kelahiran Empang ini juga pernah melambungkan popularitasnya lewat tembangnya yang terkenal "Laki Durhaka". Dalam liriknya, tergambar dengan penuh haru kisah seorang ibu yang mengandung, menjalani kesakitan selama sembilan bulan, hanya untuk kemudian ditinggalkan tanpa belas kasihan oleh suaminya.
Galohgor atau ada yang menyebutnya kekerid, adalah semacam nutrasetikal atau jenis cemilan, dikenal secara tradisional memiliki manfaat untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) yang telah digunakan secara turun-temurun, khususnya oleh masyarakat Sunda di Jawa Barat.
Ramuan yang berkhasiat ini terdiri dari bahan-bahan alami yang telah dikeringkan dan disangrai dengan telaten, lalu ditumbuk dengan halus serta sebagian lagi dibiarkan sedikit kasar. Semua bahan-bahannya terpilih dari dedaunan, beras hitam, dan kacang-kacangan, menghadirkan semua unsur alami dan natural.
Galohgor selain membantu meingkatkan produktivitas ASI sambil menjaga kekentalannya, juga membantu menghilangkan aroma yang tidak sedap. Tak hanya itu, keajaiban galohgor juga dipercaya dapat merawat rahim pasca kelahiran atau keguguran, memberikan kesembuhan dan kekuatan pada tubuh setelah persalinan.
Dulu, para ibu hamil sering kali memanfaatkan ragam ramuan tradisional untuk menjaga kesehatan mereka. Salah satunya adalah paparem, yang digunakan setelah mandi untuk mengurangi pembengkakan pasca melahirkan dengan cara dioleskan atau dilumuri seperti lotion pada bagian tertentu dari tubuh, terutama tangan dan kaki.
Selain itu, mereka juga mengonsumsi minuman racikan dari bahan beras dan kencur, yang memiliki manfaat sebagai antibiotik alami untuk mengobati luka-luka dalam tubuh akibat proses persalinan. Selama tujuh hari pasca melahirkan, ibu juga diberikan minuman godogan yang terbuat dari rempah-rempah, yang berfungsi untuk membersihkan darah kotor dalam tubuh.
Tradisi ini merupakan bagian dari perawatan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, membantu ibu melewati masa-masa penting dalam proses kehamilan dan persalinan.
Kehadiran dan keberlangsungan tradisi-tradisi seperti ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan kehidupan masyarakat, terkhusus tradisi dalam adat Sunda.
Tulisan lama yang diperbaharui kembali pada 9 Maret 2024.
Abdullah Abubakar Batarfie
2 komentar untuk "Ma Ara & Anthony Quinn Yang melegenda, Dan Galohgor Ka Jetun di Empang"