Kontribusi Al-Irsyad dalam membangun "Peradaban" bagi kemajuan Bangsa

 


6 September 2021, Al-Irsyad Al-Islamiyyah telah memasuki usianya yang ke 107 tahun apabila merujuk ke tanggal pembukaan sekolah tersebut di Jakarta 6 September 1914. Satu tahun kemudian, pada 11 Agustus 1915, barulah mendapatkan izin dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berdasarkan besluit yang diterbitkan oleh Gubernur-Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg di Batavia.

Saat mendirikan Al-Irsyad, ide dan pemikiran tentang konsep al-Musawa menjadi salah satu jargon perjuangan dakwah yang di usungnya. Al-Musawa merupakan pemikiran Syaikh Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam kerangka tajdid  di bidang keagamaan (syariat Islam) terhadap diskriminasi dalam masyarakat yang dijumpainya pada masa Hindia Belanda di abad ke 20. Konsep Al-Musawa ini bermakna keseteraan derajat, menandakan betapa pentingnya kemerdekaan individu untuk membangun jiwa-jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku sebagai dasar kemajuan dan hakekat kemerdekaan sebuah bangsa.

Dalam padangan Syaikh Ahmad Surkati, Islam sebagai agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan tampak jika dilihat dari sudut pandang Ibadah mahdhoh saja atau ritual semata, akan tetapi harus dilihat pula sebagai fakta sosial, karena al-Islam sudah mengatur tata hubungan antar sesama manusia. Pelembagaan kehidupan sosial yang didasarkan pada ajaran agama inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah. 

Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (al-musawa). Menurut Syaikh Ahmad Surkati,  "Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah" (Darmansyah, dkk. 2006, hal. 10-11).

Masih dalam abad ke 20, saat dimana tengah tumbuh suburnya sikap patriotisme dan nasionalisme "rakyat Indonesia" sebagai respon terhadap diskrimani dan kontrol politik yang ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam waktu yang hampir bersamaan sejak kedatangan Syaikh Ahmad Surkati (Oktober 1911) dan lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah (September 1914), dianggap sebagai start point adanya kesadaran umat Islam Indonesia tentang perlunya berorganisasi dan perjuangan umat dalam bentuk kebersamaan.

Birsi Affandi dalam disertasi Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1945): Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (1999) berhasil mengumpulkan pengakuan terhadap ketokohan Ahmad Surkati. A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis), menuturkan bahwa Surkati adalah gurunya. Begitu pula dengan para reformis Islam seperti pendiri Persis Haji Zamzam dan pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan adalah sahabat sekaligus murid dari prinsip dan pemikiran Surkati 

Gagasan pertama dalam membangun  kebersamaan yang telah dimainkan oleh Syaikh Ahmad Surkati sebagai tokoh central di Al-Irsyad adalah, turut diprakarsainya penyelenggaraan Al-Islam Congres di kota Cirebon pada tahun 1922. Bahkan dalam congres umat Islam pertama itu Surkati menjadi tokoh utama dalam sebuah sesi perdebatan yang berhadap-hadapan dengan Semaoen. mengangkat topik tentang konsepsi dasar yang akan dicapai dalam memerdekakan Indonesia.

Di kongres berikutnya, Syaikh Ahmad Surkati menyampaikan makalah yang disebut sebagai lezing Soerkati  dengan mengangkat tema; Hak Soeami Isteri  yang dibacakan dihadapan para peserta kongres oleh Abdoel Moethalib Sangadji, lebih dikenal dengan nama A. M. Sangadji dan dijuluki Jago Tua  yang dianugerahi pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Surkati juga dikenal sebagai tokoh umat yang mengedepankan ukhuwah Islamiyyah. Ia menghormati tokoh-tokoh Islam yang berbeda paham dan pendapat dengannya, dan tetap mengedepankan kesantunan sebagai modal menjalin ukhuwah. Maka ia pun menyeponsori pelaksanaan forum diskusi di Surabaya pada tahun 1929, yang melibatkan para ulama tradisional dan para ulama reformis. Forum ini bertujuan untuk menjalin hubungan yang baik antara dua kelompok itu.

Di forum itu Syeikh Ahmad Surkati bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari, seorang kyai besar dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang, kyai yang paling dihormati saat itu oleh kalangan Muslim tradisional, dan juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Setelah pertemuan itu Syekh Surkati melemparkan pujian kepada Kyai Hasyim,  “Saya baru pertama kali bertemu dengan beliau (Kiai Hasyim Asy’ari) dalam satu jamuan. Melihat bawaan badannya, saya tertarik. Beliau seorang ulama yang zahid. Dan dari tulisan-tulisannya, kelihatan pemahamannya dalam mazhab Syafi’i amat dalam dan luas.”

Al-Irsyad dulu juga aktif dalam pembentuan Majlis Islam ‘A’laa Indonesia atau MIAI, sebuah badan federasi bagi ormas Islam yang dibentuk dari hasil pertemuan 18-21 September 1937 di Surabaya. Federasi ini dibuat sebagai upaya penyusunan kekuatan umat Islam yang terkenal dengan jargon heroiknya samen bundeling van alle Islamic Krachten. Di federasi ini Ahmad Surkati duduk sebagai Dewan Penasihat dan Oemar Hoebeis ditunjuk sebagai sekretaris II MIAI.

Kini dalam usianya yang sudah mencapai 107 tahun, Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang tetap dan akan consen menjaga akidah umat, kontribusinya pada bidang dakwah melalui sikap, serta program-program yang berbasis pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi senantiasa menanamkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, faham Islam wasathiyah. Islam yang moderat, dan religius yang penuh tasamuh dan toleransi (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Konsistensi sebagai ormas yang mengedepankan ukhuwah Islamiyyah itu ditunjukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah melalui forum-forum nasionalnya yang melibatkan berbagai tokoh ormas Islam sebagai nara sumber kegiatan. Sebut saja antaranya adalah;  KH Hasyim Muzadi (NU), KH Said Aqil Siradj (NU), KH Ma'ruf Amin, DR Machfudz MD, dll. (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Bersama Rabithah Alawiyah, Al-Irsyad Al-Islamiyyah membangun kerjasama ukhuwah yang erat dan terus akan terbina. Bahkan pucuk pimpinan kedua ormasnya pernah menjadi nara sumber dalam kegiatan silaturahmi bersama, terutama pada tingkat nasional. Dinamika yang pernah dialami dalam sejarah panjang keduanya, menjadi khazanah sejarah sebagai peristiwa dan pelajaran dalam rangka menumbuhkan sikap kedewasaan berfikir serta berlimu yang dibingkai indah melalui ikatan ukhuwah Islamiyyah, bekerjasama untuk kebaikan dan kemashlahatan umat, bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Demikian pula peran Al-Irsyad Al-Islamiyyah sebagai himayatul ummah atau penjaga ummah dan shadiqul hukumah atau patner pemerintah, tetap dan akan konsisten dilakukan di dalam menjaga keutuhan umat dan bangsa. "Namun tetap menegakkan amar dan nahi anil munkar dengan cara yang bijak dan baik,"  (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Lebih  dari itu bahwa Al-Irsyad adalah ormas yang tidak berafiliasi kepada partai politik manapun dan tidak terlibat dalam politik praktis. Tetapi dalam rangka menyatukan umat dan bekerja sama di dalam rangka izzatul Islam wal Muslimin, Al-Irsyad akan selalu menjadi yang terdepan. "Kita berada dalam wadah MUI bersama-sama ormas yang lain, karena visi, misi MUI sesuai dengan Al-Irsyad Al-Islamiyyah"  (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Belum ada Komentar untuk "Kontribusi Al-Irsyad dalam membangun "Peradaban" bagi kemajuan Bangsa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel