Surat Terbuka ; Pokok-Pokok Pikiran dan Pendapat untuk Masjid Agung Empang Bogor

Masjid Agung Empang 1910

Menelisik polemik seputar permasalahan perubahan pada DKM Masjid Agung Empang yang belakangan entah sejak kapan ada tambahan nama baru yang disematkan yaitu At-Thahiriyah. Demikian pula Badan Hukum yang menaungi masjid itu sendiri, sekarang ini sudah terbentuk sebuah Yayasan dengan nama yang sama.

Ada tiga aspek yang dapat kita tinjau dan menjadi pertimbangan dalam mensikapi polemik dalam permasalahan Masjid Agung Empang tersebut yaitu; aspek legal menurut perundang-undang-an yang berlaku, aspek historis (sejarah) yang melatar belakangi didirikannya Masjid tersebut, dan yang ketiganya adalah aspek syariat yang berkaitan dengan hukum wakaf sebagaimana yang sudah menjadi ketentuan dalam tuntunan ajaran Islam.

ASPEK LEGAL

Berbicara tentang aspek yang pertama, yaitu tinjauannya menurut undang-undang yang berlaku mengacu kepada KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/802 TAHUN 2014 Tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid.

Pada BAB III dalam KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/802 TAHUN 2014 diatur tentang TIPOLOGI MASJID atau type Masjid dimaksud yang di dalamnya tertulis ketentuan-ketentuan tentang standar; Idarah, Imarah dan Ri'ayah.

Berdasarkan 9 (sembilan) TIPOLOGI Masjid dalam KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/802 TAHUN 2014, Masjid Agung Empang dapat dikategorikan pilihannya menurut TIPOLOGI tersebut adalah; Masjid Agung dan Masjid Bersejarah.

Maka untuk penyesuaian terhadap TIPOLOGI sesuai KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/802 TAHUN 2014, standar yang dapat diberlakukan pada Idarah dan Imarah dari point-point yang tercantum dalam undang-undang tersebut disimpulkan sebagai berikut;

a. Kepengurusan DKM ditetapkan dan dilantik oleh Walikota Bogor atau yang mewakilinya 
b. Struktur organisasi DKM merupakan representative dari perwakilan Pemerintah, Ormas dan Masyarakat setempat (jamaah masjid)
c. Memilki sistem administrasi perkantoran dan kesekretariatan ketatausahaan yang akuntable
d. Memiliki Imam Besar dan Imam Rawatib yang ditetapkan oleh Walikota Bogor atas rekomendasi Kepala Kantor Kementerian Agama
e. Menerima kritik dan saran dari Jamaah Masjid

ASPEK SEJARAH

Di dalam buku Sejarah Bogor yang ditulis almarhum Saleh Danasamita, disinggung tentang keberadaan Kampung Empang. Di dalam bab Purwacarita pada buku itu disebutkan, “Dalam tahun tersebut (1754) kedudukan Bupati Bogor pindah dari Tanah Baru ke Sukahati yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Empang. Sejak  saat itu Kota Bogor mulai tumbuh sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan masyarakat kota meliputi pemukiman, perekonomian, perdagangan, keagamaan dan lain-lain.

Pada tahun 1754 Demang Rd. Wiranata mengajukan permohonan untuk menempati tanah sewa di bekas "palagan" atau alun-alun luar Kerajaan Pakuan Pajajaran, sebagai pusat pengganti pemerintahan Bogor yang sebelumnya berada di Tanah Baru. Permohonan Demang Rd. Wiranata untuk menempati tanah sewa sebagai PUSAT PEMERINTAHAN itu kemudian dikabulkan pada tahun yang sama (1754) oleh Gubernur Jenderal-Hindia Belanda ke-28, Jacob Mossel (masa berkuasa 1750 - 1761).

Kepindahan pusat pemerintahan Bogor itu dimungkinkan untuk memudahkan jarak birokrasi dengan pemerintah kolonial (penjajah) yang terpusat di Groote Post Weg atau Jalan Raya Pos, yang mulai dibangun pada abad ke-18 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels atau Jalan Juanda sekarang. 

Sejak kepindahan itulah mulai ditata dan dibangun infrastruktur pusat pemerintahan lokal oleh Demang Wiranata dan penerusnya yang secara topografis sama dengan pusat-pusat pemerintahan lokal di Jawa termasuk kota-kota di Bumi Priangan seperti Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Bandung, Ciamis, Garut, Tasikmalaya yaitu keberadaan Masjid Agung, Kauman, Alun-Alun dan Pohon Bicara (Beringin), Rumah dan Pendopo Bupati, Kantor Penghulu, Makam dan sebagainya

Dari kedudukan Rd. Wiranata sebagai DEMANG dan adanya infrastruktur pemerintahan tersebut, menunjukan landscape dalam pusat pemerintahan itu bersifat fungsional baik kedudukan Rd. Wiranata sebagai Demang maupun pemanfaatan sarana serta prasarananya sebagai fasilitas umum bagi pemerintah dan masyarakat.

Hal itu berlaku pula sebagaimana kota-kota di Jawa dimana keberdaan Masjid Agung, Alun-Alun, Pendopo Bupati menjadi bagian dari aset dan fasilitas Pemerintah Kota ataupun Kabupaten. 

Dari uraian aspek historis (sejarah) di atas dapat disimpulkan bahwa keberdaan alun-alun, masjid agung merupakan warisan cagar budaya, sejarah, benda kepurbakalaan sebagai pusaka dan warisan kota/masyarakat dan bukan warisan yang diturunkan secara turun temurun kepada ahli waris orang perorangan milik pribadi.

Sebagai apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap para pendahulu seperti kepada Rd. Wiranata peletak dasar pemerintahan feodal Kabupaten Bogor bersama penerusnya menjadi kebangaan sejarah dan patut kiranya nama-nama mereka diabadikan sebagai nama-nama monumental baik itu nama sebuah Masjid, Jalan dan sebagainya. 

Demikian pula yang terutama sejak para pendahulu H Rd Muhammad Thohir (Auliya Thohir Al Bughuri) sebagai Penghulu Kampung Baru yang menyebarkan dan mengembangka dakwa Islam di Kota Bogor dan diteruskan oleh puteranya H Rd Toemenggoeng Adipati Aria Wiranata (Mbah Dalem Seupuh) yang berkedudukan sebagai Bupati Bogor ke 15 (1815-1849), dan terakhir dalam masa kejayaan H Rd Adipati Aria Suriawinata (H Rd Muhammad Sirodz/Mbah Dalem Sholawat) sebagai Bupati ke-16 (1849-1872) yang wafat di tanah suci Makkah Almukaromah pada tahun 1872.

Keturunan Dalem Sholawat sudah tidak lagi dapat dihitung dengan jumlah jari karena keturunannya yang sekarang ini sudah berkembang dan menyebar bukan saja ada di kota Bogor. Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas yang mempersunting puteri/keturunan Dalem Sholawat, menandakan anak keturunan "wali qutub" ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari anak keturunan Raden Wiranata. Demikian pula asimilasi melalui perkawinan dimana Kampung Sukahati dengan ikon kampung Arabnya, tidak sedikit dari keturunan para pendatang (hijrah) Hadharim mereka menjadi bagian dari anak keturunan Dalem Sholawat. Pun para pendatang lainnya termasuk dari etnis India.

H Rd Toemenggoeng Adipati Aria Wiranata (Mbah Dalem Seupuh) dan keturunannya telah membentuk sebuah peradaban dan sejarah dan perkembangan Kota dan Kabupaten Bogor yang tidak dapat terwakili oleh segelintir orang perorangan dan komunitas.

ASPEK SYARIAT

Ibadah wakaf dalam Islam dikategorikan sebagai salah satu amal jariyah seorang hamba dalam rangka Taqarrub yang memiliki makna mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam spirit Islam, seseorang yang telah bersedakah dan mewakafkan hartanya maka tidak akan berkurang nilai yang diberikan. Demikian pula dalam prinsip Islam, seseorang yang telah bersedekah dan berwakaf maka apa yang sudah diberikannya tersebut tidak dapat ditarik kembali, dijual dan tidak boleh diwariskan kepada para ahli waris pewakif karena wakaf pada hakikatnya telah menyerahkan kepemilikan hartanya menjadi milik Allah atas nama umat (orang banyak).

Orang yang mewakafkan hartanya atau pihak nazhir (pemegang wakaf) dibebani tanggung jawab untuk melaporkan penguruaan harta wakaf, terutama jika yang diwakafkan itu adalah tanah, kepada pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar diakui negara sebagai tanah wakaf dan bukan untuk di klaim sebagai milik ahli waris dan keturunannya.

Hal ini disebabkan harta yang diwakafkan, khususnya tanah wakaf seringkali menimbulkan sengketa karena selisih paham ahli waris atas tanah orang tuanya. Padahal orang tuanya sudah melakukan ikrar tersirat atas sedekah jariyah untuk mewakafkan harta, yang dalam hal ini tanah bagi kepentingan umat banyak.

Tentunya, pihak pewakaf tidak ingin memantik masalah keduniaan. Meskipun perkara wakaf adalah hubungan antara hamba dan Allah, di sana juga terdapat kepentingan umat yang diatur pihak negara agar urusannya lancar tidak hanya kepada Tuhan, namun juga antarmanusia di lingkungan masyarakat.

Wallahu'alam bishowab

Bogor, 19 Muharram 1443.H/28 Agustus 2021

ABDULLAH ABUBAKAR BATARFIE,
Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor

Belum ada Komentar untuk "Surat Terbuka ; Pokok-Pokok Pikiran dan Pendapat untuk Masjid Agung Empang Bogor"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel