Diaspora Hadrami di Nusantara dan kontribusinya terhadap Kemerdekaan Indonesia


Menjelang penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) presiden, para pendukung peserta pemilu semakin gencar melakukan kampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung, tidak sedikit pula untuk memenangkan calon yang akan dijagokan mereka menjatuhkan lawan-lawan poltiknya secara kasar dan kotor akibat electabilitasnya yang dianggap semakin menguat dan populer.

Hal itu sangat kita sayangkan, karena demokrasi yang berbudaya sudah seharusnya dapat sama-sama ditumbuhkan iklim berpolitik yang baik serta akhlak yang terpuji dan kecerdasan intelektual, agar dapat melahirkan estafet kepemimpinan Indonesia yang berkualitas dan maju.

Karena itu kampanye seharusnya menjadi sarana bagi peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilihnya dengan menawarkan visi, misi dan program sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan bukan dilakukan dengan cara kampanye hitam (black campaign), terutama menggunakan isu rasisme dalam meraih kemenangan. 

Isu rasisme itu kini kembali mencuat dalam suhu politik Indonesia menjelang bursa kandidat presiden yang tengah mulai ramai dibicarakan, padahal nama-nama yang muncul kepermukaan belum tentu dapat dipastikan maju sebagai calon yang diusung dalam Pemilu 2024 mendatang. Anis Baswedan merupakan salah satunya, ia mulai di zholimi menjadi "korban" dari jari jemari orang yang merasa risau dan gelisah dengan membuat tulisan yang isinya jelas hoaxs dan memutar balikan fakta sejarah, yang jika tulisan itu dibaca oleh orang faham sejarah dan sedikit berpendidikan, maka dengan mudahnya akan mengetahui bahwa itu adalah tulisan sampah.

Seperti yang ditulis dalam historia.id dan dari berbagai sumber ilmiah menyebutkan bahwa, sudah sejak lama jauh sebelum orang-orang Arab (baca; Hadrami) berimigrasi, mereka sudah dikenal sebagai pedagang dan pelaut, mirip dengan bangsa Phoenicia kuno (sekarang Lebanon dan Suriah). Karenanya, menurut Natalie Mobini Kesheh, orang-orang Hadramaut dikenal sebagai “orang Phoenicia dari Timur Tengah”.

Perdagangan maritim mereka sudah mulai aktif sejak sekira lima abad sebelum masehi. Sempat mengalami kemunduran, mereka bangkit kembali setelah masuknya agama Islam. Mereka berdagang sembari menyebarkan agama Islam. Rute perdagangan orang-orang Hadrami dengan Nusantara tampaknya telah ada sejak abad ketujuh. Mereka berniaga dan kembali dengan membawa hasil bumi yang akan diperdagangkan di tempat lain.

Kedatangan bangsa Arab terkait erat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam dan ada juga yang kemudian berasimilasi melalui pernikahan dengan puteri bangsawan di Nusantara, karena itulah banyaknya raja-raja terutama di tanah Melayu yang berasal dari bangsa Arab seperti Kesultanan Siak Inderapura dimana penerusnya, yaitu Sultan Syarif Kasim II (1893-1968) telah menjadi pendukung perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan bahkan secara sukarela meletakan kekuasaan monarkinya demi memilih menjadi penasihat presiden pertama RI Ir. Sukarno. 

Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian dari wilayah NKRI dan bahkan menyumbangkan harta kekayaannya berupa uang sebanyak 13 juta gulden atau jika dirupiahkan menjadi sekitar 1000 Triliun untuk Modal Indonesia Merdeka. Bersama Sultan Deli Serdang, beliau juga berusaha membujuk Raja-Raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak serta bergabung dengan Republik Indonesia.

Catatan sejarah berdirinya Kerajaan Perlak I atau Peureulak (Aceh Timur) pada tanggal 225 Hijriyyah (840.M) yang menobatkan Abdul Aziz Syah sebagai Sultan Perlak pertama, merupakan anak yang lahir dari rahim puteri pendahulu Kesultanan Perlak sebelumnya yang dipersunting oleh Sayid Maulana Ali Al-Muktabar asal Hadramaut, Yaman. Kerajaan Perlak dengan masa pemerintahan yang cukup panjang mengakhiri masa kekuasaannya setelah bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai untuk membangun kekuatan imperium baru yang lebih besar. 

Sejak itu Aceh dikenal sebagai kerajaan besar yang tak pernah mau tunduk dan menyerah kepada pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat Aceh juga dikenal patriotik dengan telah berhasil memberikan dukungan kepada pemerintahan baru Republik Indonesia melalui penggalangan dana untuk pembelian sebuah pesawat "seulawah, pesawat angkut pertama yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

Tidak sedikit pula dari para pendatang Arab ini yang juga mendirikan Kerajaan baru di tanah Melayu, dari sebelumnya hutan belantara ditepian arus sungai yang tidak berpenghuni seperti Kesultanan Al-Kadiriyah di Pontianak dan Sayyid Idrus bin Sayyid Abdurrahman Al-Idrus yang menobatkan dirinya sebagai Tuan Besar Kubu di Kalimantan Barat. 

Penerus Kesultanan Pontianak, Sultan Hamid II yang dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia dengan nama lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie, dikenal sebagai Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. 

Sultan Hamid II (Sjarif Abdul Hamid Alkadrie) bersama Bung Karno

Pengaruh Arab itulah yang kemudian memberi khazanah pada istilah-istilah politik sebagai sistem kekuasaan dan pemerintahan yang tetap digunakan, dan resmi dipakai pada masa modern sekarang ini seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demikian pula dengan istilah-istilah lainnya seperti Maklumat, Hukum, Keadilan, Kewajiban, Hak, Badan dan sebagainya.

Secara umum bahasa Arab telah memberi serapan kedalam bahasa Melayu yang kini resmi diadopsi sebagai bahasa Indonesia, bahasa kesatuan NKRI yang di dalamnya diperkirakan lebih dari 3000 ribu kosa kata yang berasal dari bahasa Arab, baik itu nama hari dan bilangan tanggal dalam kalender, penyebutan istilah dalam kedudukan pada undang-undang seperti Bab dan Pasal, hingga kepada nama busana resmi Indonesia yang digunakan oleh wanita Indonesia yaitu Kebaya yang akar katanya berasal dari Abayah.

Dalam masa awal pergerakan Nasional Indonesia, perkumpulan Jamiatul Kher sebagai sebuah organisasi modern pertama yang didirikan oleh orang-orang Arab, dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi dan jendela informasi dari dunia luar yang mempengaruhi pola berfikir kaum intelektial Muslim Indonesia untuk bangkit dan memiliki kesadaran berjuang berlepas diri dari Kolonialisme. 

Lahirnya Syarekat Islam yang kelak dimotori oleh HOS Tjokroaminoto sebagai Guru Bangsa, guru politik sekaligus bapak mertua pertama Bung Karno, gagasan perjuangannya bersama tokoh pergerakan Islam lainnya sedikit banyak tersentuh dan dipengaruhi oleh gagasan perjuangan Jamiatul Kher yang resmi berdiri pada tahun 1901.

Kedatangan Syaikh Ahmad Surkati ke Indonesia pada tahun 1911 sebagai pengajar dan penilik pada perguruan Jamiatul Kher dan kemudian menjadi tokoh central organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang didirikannya di Jakarta, 6 September 1914, telah memberinya pengaruh kuat terhadap pembinaan serta kaderisasi aktivis-aktivis pergerakan Kemerdekaan Indonesia. 

Kader-kader yang dibina oleh Syaikh Ahmad Surkati terutama pada perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) itulah yang kelak kemudian melahirkan para pemimpin bangsa seperti DR.Mohammad Natsir, tokoh pencetus Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat mosi integralnya, Mr.Mohammad Roem yang terkenal dengan ketokohannya dalam perundingan Indonesia-Belanda atau Roem-Roijen, Mr. Kasman Singodimedjo, Sjamsurijal, AM Sangadji, dll.

Dari rahim lembaga pendidikan Al-Irsyad ini pula melahirkan sejumlah tokoh yang kelak tampil sebagai tokoh itelektual penggerak perjuangan Kemerdekaan Indonesia seperti Abdurrahman (AR) Baswedan, Prof.DR.HM Rasyidi, HM Sholeh Syuaidy, HM Yunus Anis, Iskandar Ideris, dll.

Menurut budayawan Betawi H.Ridwan Saidi, Syaikh Ahamd Surkati yang oleh Birsi Affandi dalam disertasi Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1945): Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (1999) dilabeli sebagai guru kaum reformis, Syaikh Ahmad Surkati merupakan pembuka jalan jaringan Indonesia dengan dunia Arab, karena itulah pengakuan Indoenesia Merdeka untuk pertama kalinya diperoleh dari Negara-Negara di Timur Tengah.

Diantara anggota delegasi dan diplomat yang berhasil meyakinkan dukungan dan bantuan finansial Negara-Negara Arab di Timur Tengah atas Kemerdekaan Indonesia tersebut itu adalah A.R Baswedan yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia. Misi Haji pertama Indonesi atau disebut pula sebagai "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri", salah satu anggotanya terdapat pemuka Arab asal kota Surakarta, yaitu Syaikh Awad Syahbal.

Syaikh Awad Syahbal bersama Misi Haji  Indonesia Pertama (Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri)

Sebelum Indonesia merdeka, persisnya pada 4 Oktober 1934 di Semarang, lima tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, yang secara alamiah memang sudah menjadi pribumi seutuhnya, sejumlah kaum muda keturunan Arab berkomitmen mendukung gagasan tanah air Indonesia dan tidak lagi mengaitkan dengan asal-usulnya yaitu Hadramaut, Yaman.

Langkah revolusioner yang dipilih oleh AR Baswedan untuk "meleburkan" diri dalam cita-cita bersama bangsa Indonesia bersama kaum peranakan Arab di Hindia Belanda, merupakan titik klimaks pencarian identitasnya untuk bersumpah bertanah air Indonesia ditengah bangsa ini masih kuat dalam cengkraman kuku penjajah.

Dalam buku AR Baswedan, Membangun Bangsa, merajut Keindonesiaan (2014), "Sumpah Pemuda keturunan Arab" itu memiliki tiga butir pernyataan:

Pertama, Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri); Ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan merupakan kakek dari Anis Baswedan telah membentuk suatu kekuatan yang melahirkan perjuangan Kemerdekaan Indonesia dalam semangat kebangsaan dan nasionalisme, dimana Indonesia adalah tanah air para peranakan Arab. 

Pilihan kader muda peranakan Arab yang dimotori oleh AR Baswedan pada 1934 itu, telah mendudukan mereka sebagai bagian dari barisan pejuang kemerdekaan yang puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945, dimana dwitunggal Sukarno-Hatta berdiri tegap dihadapan rakyat Indonesia membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah yang dihuni oleh Bung Karno bersama keluarganya sejak sebelum kemerdekaan pemberian, atau hibah dari Sjaich Faradj Awad Martak, saudagar Arab kelahiran Hadramaut, Yaman.

Di rumah itu pula bendera merah putih dijahit oleh Ibu Fatmawati sebelum di kibarkan. Bendera yang kemudian dinamai sebagai Sang Saka Merah Putih itu sempat diselematkan dan dilepaskan jahitannya oleh Hussein Muthahar saat ibu kota berpindah sementara waktu dari Jakarta ke Yogyakarta. 

Hussein Muthahar atau yang lebih dikenal dengan nama H.Mutahar (lahir di Semarang, 5 Agustus 1916 – meninggal di Jakarta, 9 Juni 2004 pada umur 87 tahun), adalah tokoh negarawan keturunan Arab dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Namanya paling dikenal sebagai seorang komponis musik Indonesia, terutama untuk kategori lagu nasional dan kepanduan. 

Mars Hari Merdeka menjadi lagu wajib yang setiap tahun dinyanyikan secara serentak oleh seluruh rakyat Indonesia pada setiap hari dirgahayu Kemerdekaan Indonesia.

Penerbit Bulan Bintang, 1980


Belum ada Komentar untuk "Diaspora Hadrami di Nusantara dan kontribusinya terhadap Kemerdekaan Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel