Tiga Tokoh Keturunan Arab, Pelaku Utama Dalam Persistiwa disekitar Proklamasi


Sumber ilustrasi foto dari Suara Hidayatullah.com

Dua momentum dalam setiap peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, selalu dan acap kali dibicarakan orang. Yang pertama peristiwa di Rengasdengklok (16-08-1945), dan yang kedua adalah puncak hari kemerdekaan Indonesia pada 17-08-1945 di Jakarta. Kedua peristiwa tersebut di atas dikenal sebagai "peristiwa-peristiwa disekitar Proklamasi.

Peristiwa Rengasdengklok atau disebut pula dengan Dengklok yaitu sebuah dusun yang berada di Kabupaten Karawang, atau berjarak 94.2 KM dari kota Jakarta yang kini dapat ditempuh selama 1 jam 48 menit menggunakan jalur jalan Layang Sheikh Mohammed Bin Zayed.

Peristiwa di Dengklok dikatakan oleh sebagian orang sebagai sebuah peristiwa "kelam" akibat salah kaprah segelintir para pemuda pejuang yang memiliki semangat nasionalisme anti Jepang. Peristiwa yang terjadi satu hari sebelum tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah "penculikan" terhadap dwitunggal Soekarno - Hatta yang memiliki keterkaitan terhadap pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Salah satu lokasi yang paling dianggap bersejarah dalam peristiwa di Dengklok itu ialah rumah seorang warga Tionghoa yang dijadikan tempat bermalamnya Bung Karno, Hatta dan Fatmawati bersama anaknya Guntur yang saat itu masih dalam gendongan ibundanya.

Diantara tokoh utama yang jarang dan bahkan namanya hampir tidak pernah disebut-sebut sebagai pelaku sejarah dalam peristiwa penting di Dengklok itu ialah seorang pemuda keturunan Arab bernama Oemar Bahsan. Padahal ia merupakan satu-satunya saksi kunci tempat dimana tokoh yang diculik diinapkan oleh para pemuada pejuang.

Pemuda keturunan Arab yang menjadi saksi kunci di Dengklok itu bernama Oemar Bahsan. Bahkan sebagai pelaku sejarah, beliau merupakan satu-satunya orang yang pernah menulis berdasarkan fakta dan data yang akurat dalam peristiwa penting ini dalam bukunya "PERISTIWA RENGASDENGKLOK".

Buku yang ditulis Oemar Bahsan dan selesai diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1 Januari 1955, sepuluh tahun setelah peristiwa itu berlangsung diberikan kata sambutan oleh Gatot Mangkoepradja, salah seorang tokoh yang berjasa dalam pembentukan Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air atau disingkat PETA.

Gatot Mangkoepradja yang pernah di jebloskan kedalam Penjara Banceuy - Bandung oleh Pemerintan Hindia Belanda bersama-sama dengan Ir.Sukarno dan terkenal dalam pledoinya "Indonesia Menggugat" ini, merupakan tokoh yang meneruskan informasi keberadaan dwitunggal Sukarno - Hatta dari Oemar Bahsan kepada Achmad Soebardjo, berkat laporannya itulah Achmad Soebardjo berhasil membawa kembali pulang Bung Karno dan Hatta dari dusun Bojong di Rengasdengklok ke Jakarta.

Pemuda keturunan Arab Oemar Bahsan adalah seorang perwira Pembela Tanah Air (PETA) berpangkat Shodanco dan menjadi pemimpin peleton di pasukan itu. Keberadaan Oemar Bahsan di Rengasdengklok disebut-sebut sebagai pemimpin gerakan fasis anti Jepang yang kelompoknya dinamakan dengan "SAPU MAS". 

Diduga kuat Oemar merupakan salah seorang pengikut Gatot Mangkoepradja yang pernah ditahan oleh Kempeitei karena penolakannya dalam menjalankan propaganda Jepang untuk menjalankan Gerakan 3 A yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia dan Nippon Pemimpin Asia.

Sebagai pemimpin "SAPU MAS" yang bermarkas di Dengklok, Oemar yang mengetahui dwitunggal "diculik" dan diinapkan di desa itu, berkat inisiatifnya telah memindahkan tempat penginapan awal di markaz Sapu Mas yang dianggap kurang layak ke salah satu rumah terbaik di desa itu milik seorang petani Tionghoa Djiauw Kie Siong. Melalui anak Djiauw yang dikenal baik oleh Bahsan, rumah itu dipinjaminya untuk ditempati oleh Bung Hatta, Bung Karno, istrinya Fatmawati dan anaknya Guntur.

Konon ketika dipinjam, Kie Siong sendiri tidak tahu menahu untuk apa dan bagi siapa rumah itu dipergunakan. Ia hanya menurut permintaan para pemuda pejuang pimpinan Oemar Bahsan, dan untuk sementara waktu pemilik rumah diungsikan ke rumah anaknya, yang juga tidak terlalu jauh dari rumahnya berada.

Penulis (Abdullah Abubakar Batarfie) bersama Tim Pusdok Al-Irsyad Bogor (Bapak Zeyd Amar & Mansyur Alkatiri) saat napak tilas ke rumah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok

Oemar Bahsan seorang pemuda keturunan Arab sebagai pemimpin Tentara Pembela Tanah Air di Dengklok, menurut Gatot Mangkupradja adalah seorang pelaku utama dalam peristiwa-peristiwa disekitar Proklamasi. 

Bersamanya pula (Oemar Bahsan), sebagai informan utama yang memberitahukan keberadaan tempat penculikan Sang Dwitunggal, Ia menemani Achmad Soebardjo membawa kembali pulang Sukarno dan Hatta ke rumahnya masing-masing. Keesokan harinya, pada hari Jum'at tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di sebuah rumah hibah dari pengusaha Keturunan Arab yaitu Faradj bin Said bin Awadh Martak di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.

Peristiwa penting momentum hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 ini, sejak peristiwa bersejarah itu berlangsung kemudian dijadikan sebagai Dirgahayu Hari Kemerdekaan RI yang diperingati dengan gegap gempita oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Sebagai pelengkap, sejak itu pula sebuah Mars Hari Merdeka diciptakan oleh seorang pemuda keturunan Arab A.Muthahar untuk mengiringi hari bahagia bangsa Indonesia, setelah lebih 350 tahun lamanya terbelenggu dalam kekuasaan para penjajah.

A.Muthahar juga merupakan pejuang keturunan Arab yang tercatat sebagai penyelemat Sang Saka Bendera Merah Putih. Kain berwarna merah dan putih yang sempat dilepaskan jahitannya untuk menghindari intaian dan ancaman penjajah pada agresi keduanya yang ingin kembali berkuasa itu, berhasil diselamatkannnya dan dijahit kembali. Bendera kebangsaan itu kini masih tersimpan sebagai benda pusaka bangsa Indonesia.

Belum ada Komentar untuk "Tiga Tokoh Keturunan Arab, Pelaku Utama Dalam Persistiwa disekitar Proklamasi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel