Teko dan Cucing Antik dalam keranjang cina peranakan, dan asal usul Patekoan di Batavia

Koleksi pribadi : Fore Sale IDR.2.500.000 (belum termasuk ongkos kirim)

Selain di Timur Tengah dan di kawasan bangsa asia tengah lainnya, hidangan minum teh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi masyarakat Tionghoa. 

Tradisi inilah yang telah menginspirasi para pengrajin tembikar pembuatan alat dan perlengkapan untuk minum teh di negeri asalnya Cina dalam berbagai bentuk dan corak yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk sajian teh yang akan dihidangkan. Ada yang memang dibuat dengan disain khusus sebagai perlengkapan jamuan istimewa tamu-tamu kehormatan, hingga yang dipergunakan untuk kebiasaan minum teh sehari-hari di rumah.

Ada dua perlengkapan utama untuk meminum teh yang dalam perkembangannya kemudian lazim dipakai oleh semua bangsa di dunia, yaitu teko dan cawan. Ada banyak nama dan bentuk yang dipakai, tapi di nusantara kedua nama itu berasal dari negeri Tiongkok yaitu teko dan cawan. Di pulau jawa orang-orang menyebutnya dengan ceret dan cangkir. Tapi nama-nama itu semua meski sudah menjadi bahasa lokal, tapi sepertinya merujuk pada unsur pengaruh cina seperti te-ko, ce-ret, cu-cing, ca-wan, le-pek, pi-sin dan pi-ring. (Wallahu'alam)

Tradisi serupa berupa sajian minum teh juga pernah ada di Batavia (Jakarta) yang penyajiannya diperuntukan bagi khalayak orang ramai dalam tempat yang terbuka dengan menyajikan teh yang disediakan pada delapan buah teko. 

Teko-teko berisi teh itu disimpan berjejer di atas meja yang tersaji di depan sebuah beranda toko milik seorang cina dan siapa saja yang melintas di depannya makan akan dipersilahkan untuk meminumnya secara gratis. Tentunya diperuntukan bagi semua kalangan baik itu para pedagang asongan, kuli panggul, para pekerja toko dan perkantoran, hingga aparat lokal marsose dan upas yang sehari-hari mengawasi dan menjaga pusat keramaian di tempat itu.

Tradisi menyediakan teko-teko yang berjejer di atas meja berisi minuman teh itulah kelak kemudian nama kawasan ramai di Batavia dekat pecinan tersebut dinamakan oleh orang-orang dengan Patekoan. Pat dalam bahasa cina artinya adalah delapan, sedangkan Patekoan dalam pengucapan dialek lokal berarti delapan teko.

Pedagang Cina yang yang menghidangkan teh secara gratis untuk masyarakat itu adalah Kapiten Gan Djie yang merangkap menjadi seorang kapiten Cina atau Kapitein der Chineezen ketiga di Batavia. Ia dan istrinya memang dikenal sebagai seorang yang murah hati dan dermawan dimasanya.

Beranda Antik tempat penyajian minum teh gratis milik Kapiten Gan Djie yang terintegrasi pada sebuah bangunan  berarsitektur Tionghoa miliknya itu kini masih tetap menampakan keaslianya hingga sekarang, meski sudah berubah fungsi yang dahulunya adalah Apotheek Chung Hwa, sekarang menjadi gedung Pancoran Tea House,.

Nama Pancoran Tea House diambil untuk mengenang dan melestarikan tradisi minum teh yang tersedia di Beranda Antik milik Kapiten Gan Djie di Petekoan dahulu, meski warga Betawi masih tetap menyebut nama lamanya yaitu Patekoan, tapi nama jalan yang melintasi bekas Apotheek Chung Hwa itu sekarang orang mengenalnya sebagai Jalan Perniagaan di kawasan KOTA, dekat glodok yang kita kenal. (Abdullah Batarfie)

Apothek Chung Hwa pada zaman dulu

Pancoran Tea House di Jalan Perniagaan Jakarta

9










Belum ada Komentar untuk "Teko dan Cucing Antik dalam keranjang cina peranakan, dan asal usul Patekoan di Batavia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel